Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional: Sebuah Langkah Kontroversial yang Mengandung Banyak Pertanyaan

28 September 2024   18:43 Diperbarui: 28 September 2024   18:43 169 0


Setelah berpuluh tahun berlalu sejak reformasi 1998, nama Soeharto kembali muncul di ranah politik Indonesia. Kali ini, bukan hanya dalam konteks sejarah atau kritik atas masa Orde Baru, melainkan dalam wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional. Usulan ini disampaikan oleh Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet), yang menyebut bahwa sudah waktunya para mantan presiden seperti Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapatkan penghargaan yang layak atas jasa mereka dalam sejarah bangsa.Bamsoet beralasan, langkah ini adalah bagian dari upaya mewujudkan rekonsiliasi nasional dan menjaga persatuan bangsa. Namun, meskipun niat ini terdengar mulia, wacana ini segera memicu kontroversi, terutama terkait dengan sejarah Soeharto dan warisan pelanggaran HAM yang terjadi selama rezim Orde Baru.

Soeharto dan Warisan Orde Baru: Dua Sisi Mata Uang

Soeharto, yang menjabat sebagai presiden Indonesia selama lebih dari tiga dekade, tentu memiliki jasa yang besar dalam pembangunan ekonomi dan stabilitas politik di Indonesia. Pada masa pemerintahannya, Indonesia berhasil keluar dari keterpurukan ekonomi pasca kemerdekaan dan menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang mengesankan di Asia Tenggara.

Namun, di sisi lain, pemerintahan Soeharto juga diwarnai dengan pelanggaran HAM berat, pembungkaman oposisi, korupsi yang meluas, serta hilangnya kebebasan pers. Peristiwa seperti tragedi 1965, pembantaian orang-orang yang diduga sebagai komunis, penindasan terhadap aktivis pro-demokrasi, dan konflik di Timor Timur meninggalkan luka mendalam bagi korban dan keluarga mereka.

Untuk banyak kalangan, terutama para korban pelanggaran HAM di era Orde Baru, usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto adalah bentuk pelecehan terhadap penderitaan yang mereka alami. Mereka merasa bahwa negara seakan menutup mata terhadap masa kelam yang dialami oleh banyak rakyat Indonesia di bawah kekuasaan Soeharto.

Proses Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional: Ada Apa dengan MPR?

Usulan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto ini tidak hanya menuai kritik dari sisi moral dan historis, tetapi juga dari segi prosedural. Banyak yang mempertanyakan bagaimana proses pengusulan ini bisa berjalan tanpa ada diskusi terbuka dengan publik.

Bamsoet menyebut bahwa MPR berperan sebagai "rumah kebangsaan," tempat untuk merajut persatuan dan rekonsiliasi. Namun, apakah benar bahwa keputusan ini mencerminkan semangat musyawarah dan demokrasi?

Seperti diketahui, penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR tentang IKN juga dilakukan tanpa melibatkan dialog publik yang transparan. Keputusan tersebut tiba-tiba diumumkan tanpa adanya pemberitahuan sebelumnya atau konsultasi dengan masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana MPR menjalankan fungsinya sebagai perwakilan rakyat. Apakah keputusan-keputusan strategis seperti ini dapat diambil tanpa mendengarkan aspirasi dari berbagai pihak, termasuk keluarga korban pelanggaran HAM?

Apakah Gelar Pahlawan Nasional Sudah Tepat untuk Soeharto?

Dalam sejarah Indonesia, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada mereka yang dianggap berjasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa. Sukarno, sebagai proklamator, telah lama dianugerahi gelar ini. Gus Dur, yang dikenal sebagai tokoh pluralis dan pejuang HAM, juga dianggap layak menerima penghargaan tersebut.

Namun, Soeharto adalah figur yang jauh lebih kompleks. Di satu sisi, ia adalah tokoh militer yang berhasil mengonsolidasikan kekuasaan dan membangun Indonesia. Di sisi lain, masa pemerintahannya diwarnai dengan pelanggaran HAM, korupsi, dan otoritarianisme. Apakah seorang pemimpin dengan warisan yang begitu kontroversial pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional?

Mekanisme Pengkajian Ulang Keputusan MPR

Secara teori, keputusan MPR bisa dikaji ulang atau bahkan dibatalkan jika terdapat tekanan yang cukup kuat dari masyarakat atau jika ada alasan hukum yang mendasar. Masyarakat atau organisasi yang merasa dirugikan dapat mengajukan protes, baik melalui mekanisme formal maupun informal, seperti judicial review atau gerakan sosial. Namun, realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa keputusan-keputusan besar sering kali sulit diubah, terutama jika ada dukungan dari kekuatan politik yang dominan.

Seiring dengan wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, akan sangat penting bagi MPR untuk tidak terburu-buru mengambil keputusan. Sejarah tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Pendekatan yang lebih inklusif, dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat, terutama para korban pelanggaran HAM, akan sangat membantu dalam menjaga legitimasi MPR sebagai lembaga representatif yang benar-benar mencerminkan suara rakyat.

Kembali ke Fungsi Musyawarah MPR

MPR adalah singkatan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang secara harfiah berarti lembaga yang berfungsi untuk bermusyawarah, atau berdiskusi, dengan rakyat. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fungsi ini tampaknya semakin dilupakan. Keputusan-keputusan penting, seperti penghapusan nama Soeharto dari TAP MPR hingga usulan gelar Pahlawan Nasional, tampaknya diambil tanpa melalui proses konsultasi yang luas.

Masyarakat berhak menuntut agar MPR kembali menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mewakili rakyat secara utuh. MPR harus kembali membuka diri untuk mendengarkan aspirasi dari seluruh elemen bangsa, termasuk mereka yang telah lama terpinggirkan. Jika tidak, lembaga ini akan semakin kehilangan kepercayaan publik.

Revisi dan Rekonsiliasi Sejati

Jika rekonsiliasi nasional adalah tujuan utama dari usulan ini, maka langkah pertama yang perlu dilakukan adalah membuka ruang dialog yang lebih luas. MPR harus memastikan bahwa suara-suara yang selama ini terabaikan, seperti keluarga korban pelanggaran HAM, dapat didengar dan dipertimbangkan sebelum keputusan besar diambil.

Pemberian gelar Pahlawan Nasional tidak boleh sekadar menjadi alat politik untuk merajut kembali citra Soeharto atau mendukung kepentingan tertentu. Gelar ini harus mencerminkan nilai-nilai yang benar-benar membangun bangsa, baik dari segi perjuangan, keberanian, maupun pengorbanan.

Dalam konteks ini, mungkin sudah saatnya MPR merevisi caranya dalam mengambil keputusan penting. Rekonsiliasi sejati tidak bisa tercapai tanpa adanya keadilan bagi semua pihak. ***MG


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun