Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Hilangnya Nama Soeharto dalam TAP MPR: Melecehkan Korban Pelanggaran HAM?

28 September 2024   06:44 Diperbarui: 28 September 2024   06:44 127 0


Pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) memicu kontroversi besar. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa langkah ini melecehkan korban dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi selama rezim Orde Baru. Pernyataan Usman Hamid ini tidak bisa dianggap remeh, mengingat warisan kelam dari masa pemerintahan Presiden ke-2 RI, Soeharto, yang hingga kini masih menyisakan luka mendalam di benak banyak orang, khususnya mereka yang pernah menjadi korban atau kehilangan orang terkasih akibat kekerasan negara.Pertanyaannya, mengapa keputusan ini dibuat? Dan bagaimana seharusnya masyarakat serta Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menyikapi protes dari para aktivis dan korban pelanggaran HAM?

Mengapa Nama Soeharto Dicabut?

Pada dasarnya, Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 ditujukan untuk memastikan bahwa para pejabat negara menjalankan tugasnya dengan bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme---tiga dosa besar yang kerap dikaitkan dengan pemerintahan Soeharto. Pada saat itu, Tap ini menjadi simbol penting dari Reformasi 1998, sebagai penanda bahwa era otoritarianisme telah berakhir, dan pemerintahan yang bersih serta demokratis harus ditegakkan.

Namun, pada tahun 2024, pencabutan nama Soeharto dari Tap tersebut dilakukan oleh MPR, yang menurut penjelasan mereka, dimaksudkan untuk "menyamakan standar" terkait penghapusan nama-nama tokoh dari ketetapan-ketetapan serupa. Sebelumnya, nama Presiden Soekarno juga telah dihapus dari Tap yang menyatakan dirinya sebagai pengkhianat negara. Dalam upaya ini, MPR mungkin mencoba untuk menempatkan Soeharto dan Soekarno pada posisi yang setara dalam hal penghapusan dari Tap yang bersifat menyudutkan.

Namun, menyamakan kedudukan ini jelas mengundang protes keras. Soekarno, sebagai tokoh kemerdekaan, mungkin dicabut dari Tap pengkhianatan dengan alasan rekonsiliasi sejarah. Akan tetapi, tindakan mencabut nama Soeharto tanpa memperhitungkan dampak psikologis terhadap para korban Orde Baru menimbulkan luka baru bagi banyak pihak, terutama bagi mereka yang belum mendapatkan keadilan atas pelanggaran HAM yang terjadi di bawah rezim Soeharto.

Melecehkan Korban HAM: Suara Kekecewaan

Usman Hamid, dalam kritiknya, menekankan bahwa pencabutan nama Soeharto dari Tap ini bisa dianggap sebagai pelecehan terhadap korban pelanggaran HAM. Pasalnya, hingga saat ini, banyak kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di bawah rezim Orde Baru belum dituntaskan secara hukum. Korban Tragedi 1965, pembunuhan aktivis, penculikan mahasiswa, dan berbagai bentuk represi negara selama masa pemerintahan Soeharto masih belum mendapat keadilan. Pencabutan nama Soeharto dari Tap yang menyebutnya sebagai simbol KKN memberi kesan seolah-olah dosa-dosa besar masa lalu bisa dihapus begitu saja tanpa pertanggungjawaban yang jelas.

Sebagai contoh, banyak keluarga korban pelanggaran HAM selama Orde Baru masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan ganti rugi. Dengan keputusan MPR ini, rasa ketidakadilan mereka semakin diperparah. Bagi para korban, nama Soeharto dalam Tap tersebut bukan sekadar simbol, melainkan peringatan atas sebuah rezim yang penuh dengan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dengan pencabutan ini, mereka merasa bahwa penderitaan dan perjuangan mereka selama bertahun-tahun diabaikan begitu saja.

Ketergesa-Gesaan di Penghujung Masa Jabatan MPR

Keputusan MPR untuk mencabut nama Soeharto juga tampak diputuskan di penghujung masa jabatan mereka, yang sering kali menimbulkan kesan tergesa-gesa. Publik berhak mempertanyakan apakah proses pengambilan keputusan ini sudah melibatkan masukan dari berbagai pihak yang terdampak, terutama dari kalangan masyarakat korban dan aktivis HAM. Seharusnya, proses semacam ini tidak boleh diambil hanya karena kebutuhan untuk menyesuaikan standar hukum tanpa mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan sejarah yang lebih dalam.

MPR sebagai lembaga perwakilan rakyat seharusnya mendengarkan suara masyarakat, terutama mereka yang menjadi korban dari pelanggaran HAM di masa lalu. Sebelum mencabut nama Soeharto dari Tap ini, MPR seharusnya mengadakan diskusi publik yang melibatkan korban pelanggaran HAM, akademisi, dan aktivis. Keputusan yang diambil tanpa melibatkan para korban dapat menimbulkan kesan bahwa suara mereka tidak dihargai, dan bahwa penderitaan mereka tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

Apa yang Harus Dilakukan Masyarakat dan MPR?

Masyarakat memiliki peran penting dalam menyikapi keputusan ini. Pertama, penting bagi masyarakat untuk terus memperjuangkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Jika pencabutan nama Soeharto dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap korban, maka masyarakat harus bersuara dan mendesak MPR untuk mempertimbangkan ulang keputusan tersebut. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mendengarkan suara rakyatnya, terutama suara mereka yang termarjinalkan oleh kekuasaan.

Masyarakat juga dapat meminta MPR untuk mengambil langkah lebih lanjut dengan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR tidak boleh menjadi alasan untuk melupakan tanggung jawab negara terhadap para korban. Sebaliknya, ini harus menjadi momentum bagi MPR dan pemerintah untuk menunjukkan komitmen mereka dalam menegakkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM dengan menyelesaikan kasus-kasus yang belum tuntas.

Di sisi lain, MPR harus merespons protes dari masyarakat dengan cara yang konstruktif. Mereka seharusnya tidak hanya berfokus pada pencabutan nama dari Tap, tetapi juga pada langkah-langkah yang lebih konkret untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM dan KKN tidak lagi menjadi bagian dari sejarah bangsa ini. Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan membentuk komisi khusus yang berfokus pada penyelesaian kasus-kasus HAM masa lalu, serta menginisiasi dialog nasional yang melibatkan korban dan keluarga korban untuk membicarakan rekonsiliasi yang lebih bermakna.

Pencabutan Nama Tidak Harus Menghapus Keadilan

Langkah MPR untuk mencabut nama Soeharto dari Tap MPR Nomor 11 Tahun 1998 mungkin didasari oleh keinginan untuk "meluruskan" sejarah, namun harus diingat bahwa keadilan bagi korban pelanggaran HAM tidak bisa dihapus hanya dengan menghilangkan nama dari sebuah dokumen resmi. Apa yang diperlukan adalah komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara hukum dan memberikan pengakuan yang layak kepada para korban. Pencabutan nama tidak seharusnya menjadi akhir dari perjuangan keadilan.

Dalam konteks ini, masyarakat perlu waspada agar pencabutan nama tidak disalahgunakan sebagai cara untuk melupakan masa lalu. Justru, kita harus lebih keras memperjuangkan keadilan bagi para korban, mengingatkan bahwa dosa-dosa masa lalu tidak boleh dihapus begitu saja tanpa pertanggungjawaban. MPR dan pemerintah memiliki kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan bahwa pelanggaran HAM di masa lalu tidak dilupakan, dan bahwa keadilan benar-benar ditegakkan.

Pencabutan nama Soeharto dari Tap MPR menimbulkan perdebatan yang dalam terkait bagaimana bangsa ini memandang sejarah kelam masa lalunya. Meskipun MPR berusaha menyamakan langkah ini dengan penghapusan nama Soekarno dari Tap lainnya, pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Orde Baru tidak bisa begitu saja disamakan dengan peristiwa politik lainnya. Untuk para korban, nama Soeharto dalam Tap MPR adalah simbol pertarungan melawan impunitas, dan pencabutan nama ini terasa seperti pengkhianatan terhadap perjuangan mereka.

Sebagai bangsa, kita harus memastikan bahwa langkah apa pun yang diambil oleh lembaga-lembaga negara tetap menghargai hak korban dan berfokus pada keadilan yang substansial, bukan hanya simbolis. Hanya dengan demikian kita bisa bergerak maju sebagai masyarakat yang benar-benar demokratis dan berkeadilan.***MG


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun