Mohon tunggu...
KOMENTAR
Hukum Pilihan

Bjorka, Peretas yang Tak Bisa Diberantas

20 September 2024   18:55 Diperbarui: 20 September 2024   18:57 118 3


Belum lama ini, publik Indonesia kembali dikejutkan oleh aksi peretas terkenal yang menggunakan alias Bjorka. Kali ini, ia mengklaim telah meretas dan menjual 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di pasar gelap, termasuk data milik Presiden Joko Widodo dan keluarganya. Meski pemerintah membantah klaim tersebut, ketidakpercayaan publik mencuat, mempertanyakan sejauh mana keamanan data di Indonesia dijamin. Aksi Bjorka menambah daftar panjang serangan siber terhadap data penting negara, mengingatkan kita pada kelemahan besar yang masih ada dalam sistem keamanan siber nasional.

Siapa Itu Bjorka?

Bjorka pertama kali muncul di kancah siber global pada 2022, dengan serangkaian aksi peretasan yang mengguncang Indonesia. Identitas aslinya masih menjadi misteri, namun ia berhasil mencuri perhatian karena berani meretas data-data penting milik lembaga pemerintahan hingga tokoh-tokoh publik. Aksi-aksinya tak hanya sekadar meretas data, tetapi juga membangun narasi kritis terhadap lemahnya keamanan data pemerintah Indonesia. Ia meretas data pendaftaran SIM, data KPU, hingga dokumen rahasia pejabat pemerintah. Keberanian Bjorka tak hanya membuatnya populer di dunia maya, tetapi juga menciptakan ketakutan akan dampak dari setiap kebocoran data yang ia lakukan.

Aksi-Aksi Bjorka yang Mengguncang

Peretasan Data Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Salah satu aksi Bjorka yang paling menonjol adalah peretasan data pemilih dari KPU. Ia mengklaim memiliki data-data pemilih dari berbagai daerah di Indonesia dan siap menyebarkannya. Data ini mencakup informasi sensitif seperti nomor KTP, alamat, dan status pemilih.

Dokumen Rahasia Pejabat Pemerintah
Pada 2022, Bjorka juga mengklaim telah mengakses dokumen rahasia milik pejabat tinggi negara, termasuk korespondensi pribadi yang melibatkan diskusi kebijakan penting. Aksi ini tak hanya menunjukkan kemampuannya dalam menembus sistem keamanan negara, tetapi juga menyuarakan sindiran keras tentang ketidakmampuan pemerintah melindungi informasi rahasia.

Data Pengguna SIM dan BPJS
Selain data NPWP, Bjorka juga pernah mengklaim menjual data pengguna SIM dan BPJS di forum-forum gelap. Kebocoran ini berpotensi mempengaruhi jutaan warga negara, yang datanya bisa disalahgunakan untuk berbagai tindakan kriminal.

Mengapa Bjorka Tak Bisa Dibendung?

Keberhasilan Bjorka dalam meretas dan menyebarkan data-data penting mengungkap kelemahan mendasar dalam sistem keamanan siber Indonesia. Hingga saat ini, respons pemerintah terhadap ancaman siber masih terbilang lambat. Beberapa faktor yang berperan dalam lemahnya perlindungan data Indonesia antara lain:

1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia di Bidang Keamanan Siber
Indonesia masih kekurangan pakar keamanan siber yang terlatih dan berpengalaman. Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, kebutuhan akan tenaga ahli yang bisa menangani serangan siber menjadi sangat mendesak.


2. Belum Maksimalnya Infrastruktur Teknologi
Infrastruktur teknologi yang ada di Indonesia masih belum setara dengan negara-negara maju. Sistem keamanan siber yang digunakan oleh lembaga pemerintah sering kali sudah usang dan tidak mampu menahan serangan dari peretas canggih seperti Bjorka.


3. Minimnya Kesadaran akan Keamanan Data
Kesadaran akan pentingnya keamanan data juga masih rendah, baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat umum. Hal ini terbukti dari banyaknya kebocoran data yang terjadi tanpa tindakan preventif yang memadai.

Anti-Cybercrime: Antara Wacana dan Kenyataan

Pembentukan pasukan anti-cybercrime sering menjadi bahan pembicaraan, tetapi belum ada langkah konkret yang dapat dirasakan publik. Beberapa kali pemerintah menyatakan komitmennya untuk memperkuat pertahanan siber, namun hingga kini Indonesia masih belum memiliki lembaga yang benar-benar fokus pada pencegahan dan penanganan serangan siber. Di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Israel, unit cybercrime sudah sangat berkembang dan berperan penting dalam melindungi data publik dan pemerintah.

Sementara itu, serangan siber terus meningkat, seiring dengan pesatnya digitalisasi. Indonesia harus mulai memprioritaskan pengembangan infrastruktur keamanan siber dan memperkuat kerja sama dengan komunitas global untuk menangani ancaman ini. Kolaborasi antara sektor pemerintah, swasta, dan komunitas teknologi dalam negeri perlu segera dioptimalkan.

Merekrut Bjorka? Sebuah Gagasan Nyeleneh tapi Mungkin Berhasil

Ide untuk merekrut Bjorka sebagai kepala departemen anti-cybercrime mungkin terdengar nyeleneh, tetapi ada preseden di negara lain. Banyak negara maju yang telah merekrut mantan peretas untuk bekerja bagi pemerintah, dengan tujuan mengubah mereka menjadi 'white hat hackers'---peretas yang bekerja untuk kebaikan. Jika Indonesia mampu bernegosiasi dan memberikan tawaran yang tepat, Bjorka bisa jadi menjadi aset berharga dalam memperkuat sistem keamanan siber nasional.

Namun, apakah ide ini realistis? Rekrutmen peretas semacam ini tentunya melibatkan risiko yang tinggi, terutama dari segi kepercayaan. Indonesia harus terlebih dahulu membangun sistem yang kuat agar mantan peretas seperti Bjorka bisa bekerja dengan aturan yang ketat, tanpa ada risiko penyalahgunaan kekuasaan.

Meningkatkan Kesiapan Keamanan Siber

Kisah Bjorka merupakan cerminan dari tantangan yang dihadapi Indonesia dalam era digital. Serangan siber yang semakin canggih membutuhkan respons yang cepat dan tepat dari pemerintah. Pasukan anti-cybercrime bukan lagi sekadar wacana, tetapi menjadi kebutuhan mendesak untuk melindungi data rakyat dan negara. Dengan mengambil langkah-langkah strategis yang tepat, Indonesia bisa menjadi lebih siap menghadapi ancaman siber di masa depan---termasuk dari peretas sekelas Bjorka.***MG


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun