Mohon tunggu...
KOMENTAR
Analisis Pilihan

Pilkada Jakarta: Gerakan Tusuk Tiga Calon tidak Langgar Konstitusi?

16 September 2024   09:51 Diperbarui: 16 September 2024   10:02 91 0



Di sela menghadiri forum bersama mahasiswa di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan pernyataan yang menarik perhatian. Dalam forum bertajuk "Anies Baswedan Kembali ke Jogja," ia menanggapi fenomena gerakan golput (gerakan tidak memilih) dan kampanye untuk tidak memilih dalam Pilkada Jakarta. "Sebenarnya semua adalah hak konstitusi, jadi kita hormati, kita hargai setiap pilihan," kata Anies pada Senin, 9 September 2024.

Pernyataan Anies ini menimbulkan pertanyaan penting: Benarkah ajakan untuk tidak memilih, atau gerakan golput, adalah bagian dari hak konstitusi yang harus dihormati? Atau justru tindakan ini melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan undang-undang pemilu?

Apakah Golput Melanggar Konstitusi?

Secara teknis, tidak memilih dalam pemilu adalah hak warga negara. Hak pilih memang termasuk hak dasar yang dijamin oleh konstitusi, namun tidak ada aturan yang secara eksplisit memaksa warga negara untuk menggunakan hak tersebut. Dalam sistem demokrasi, setiap warga negara bebas untuk menentukan pilihannya, termasuk tidak memilih sama sekali.

Namun, kampanye untuk tidak memilih adalah isu yang berbeda. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa mengajak orang lain untuk tidak memilih, atau yang dikenal sebagai kampanye golput, dapat dikenakan sanksi. Kampanye semacam ini dianggap merusak semangat demokrasi yang mendorong partisipasi aktif dari seluruh warga negara dalam memilih pemimpin. Dalam demokrasi yang sehat, warga negara tidak hanya diberi hak untuk memilih, tetapi juga diharapkan menjalankan kewajiban moral untuk berpartisipasi dalam proses pemilihan.

Golput, ketika dijadikan sebagai gerakan kampanye, dapat melanggar semangat Undang-Undang Pemilu karena mengganggu proses demokrasi yang seharusnya mendorong partisipasi aktif. Selain itu, konstitusi kita juga menekankan pentingnya membangun demokrasi yang sehat dan inklusif, di mana setiap suara berkontribusi pada pemilihan pemimpin yang akan mewakili kepentingan rakyat.

Bagaimana Seharusnya Anies Bersikap?

Sebagai tokoh politik yang memiliki banyak pengikut, Anies Baswedan memegang tanggung jawab besar untuk memberikan contoh dan teladan dalam menghormati demokrasi. Setiap politisi yang merasa memiliki dukungan kuat dari rakyat seharusnya tidak hanya menghormati hak konstitusi untuk memilih atau tidak memilih, tetapi juga mendorong partisipasi yang lebih luas dalam pemilu.

Anies, sebagai mantan gubernur dan pemimpin dengan karier politik yang panjang, seharusnya mengedepankan sikap yang menunjukkan kedewasaan politik dan semangat demokrasi. Dengan mendukung golput, Anies berisiko menyebarkan ketidakpuasan dan apatisme di kalangan pendukungnya, yang justru bisa merusak semangat demokrasi yang ia harapkan bisa diperjuangkan.

Kekecewaan karena tidak bisa ikut berkompetisi dalam Pilkada bukanlah alasan untuk menyetujui gerakan yang dapat merusak demokrasi. Justru, dalam situasi seperti ini, Anies seharusnya menunjukkan keteguhan seorang negarawan yang menghargai proses demokrasi, meskipun hasilnya tidak sesuai dengan harapan pribadi.

Tantangan Demokrasi: Tanggung Jawab Pemimpin dan Masyarakat

Demokrasi yang sehat memerlukan partisipasi dari semua elemen masyarakat, termasuk pemimpin, politisi, dan rakyat biasa. Pemilihan kepala daerah, seperti Pilkada Jakarta, adalah ajang penting untuk memilih pemimpin terbaik. Namun, tantangan demokrasi kita saat ini adalah bagaimana para pemimpin politik memberikan contoh yang baik, terutama dalam mengedukasi masyarakat untuk menghargai proses pemilu.

Kampanye golput, meskipun berangkat dari kebebasan memilih, tidak memberikan solusi bagi permasalahan demokrasi kita. Sebaliknya, kampanye ini hanya memperbesar ketidakpercayaan terhadap sistem politik dan merusak proses yang sebenarnya bertujuan untuk memilih pemimpin yang bisa membawa perubahan. Pemimpin politik seharusnya mendorong diskusi yang sehat tentang calon-calon terbaik, menawarkan pilihan yang jelas kepada masyarakat, dan tidak menyarankan abstain sebagai solusi.

Bagaimana Membangun Politik yang Sehat?

Kedewasaan Politik Pemimpin: Pemimpin dan tokoh politik harus menunjukkan keteladanan dalam sikap dan tindakan mereka. Mereka harus mengedepankan kepentingan demokrasi dan memastikan bahwa ajang pemilu adalah kesempatan untuk memilih pemimpin terbaik. Sikap yang mendukung golput menunjukkan ketidakdewasaan dalam berpolitik dan bisa merusak citra politikus sebagai negarawan.

Pendidikan Politik bagi Masyarakat: Masyarakat harus diedukasi tentang pentingnya partisipasi dalam pemilu. Mengajak orang lain untuk tidak memilih hanya memperlemah demokrasi dan mengurangi peluang perubahan yang diinginkan terjadi. Peran media dan lembaga pendidikan dalam memberikan pemahaman ini sangat penting.

Ajang Pilkada yang Sehat: Pemilu harus menjadi ajang politik yang sehat dan bertanggung jawab. Partai politik, calon, dan pendukungnya harus fokus pada perdebatan ide dan kebijakan, bukan sekadar ajang untuk meluapkan kekecewaan. Ajakan untuk golput hanya mengaburkan esensi dari pemilu itu sendiri sebagai sarana untuk memperbaiki kondisi pemerintahan.

Gerakan golput, meskipun bisa dilihat sebagai hak pribadi, tidak sepantasnya didorong atau dijadikan kampanye oleh pemimpin politik. Anies Baswedan, sebagai tokoh yang memiliki banyak pengikut, memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik pengikutnya agar tetap menghargai demokrasi. Kekecewaan karena tidak bisa berpartisipasi dalam kontestasi politik tidak boleh menjadi alasan untuk mendukung gerakan yang berpotensi merusak proses demokrasi itu sendiri.

Pemilu, termasuk Pilkada, adalah kesempatan untuk memilih pemimpin terbaik bagi masyarakat. Oleh karena itu, baik pemimpin politik maupun masyarakat harus memastikan bahwa proses ini berlangsung secara sehat, dewasa, dan bertanggung jawab.***MG


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun