Sejak dulu aku selalu berandai-andai. Seandainya sekolahku menjadi seperti ini. Seandainya sekolahku menjadi seperti itu. Dan seandainya sekolahku dapat berubah menjadi lebih baik. Banyak sekali kata ‘seandainya’ yang berkecamuk di dalam pikiranku.
Hal pertama yang dapat dilihat secara langsung oleh mata adalah fasilitas dan lingkungan sekolah. Sebenarnya ini adalah satu-satunya hal yang sudah membuatku merasa puas. Sekolahku memiliki fasilitas yang bisa dibilang cukup lengkap. Ada laboratorium kimia, laboratorium fikika, laboratorium biologi, laboratorium komputer, lapangan outdoor, lapangan indoor, lcd projector dan pendingin ruangan di setiap kelasnya, ruang doa, dan yang paling penting bagiku adalah perpustakaan, karena di dalam perpustakaanlah kita bisa mendapatkan lebih banyak ilmu pengetahuan. Selain itu, sekolahku juga memiliki lingkungan yang bersih dan asri. Dan hal itulah yang membuatku semakin merasa puas dengan lingkungan dan fasilitas sekolah yang ada.
Namun, diluar semua itu masih banyak hal yang membuatku merasa kurang puas. Dan hal itulah yang menyebabkan banyak sekali kata ‘seandainya’ yang berkecamuk di dalam pikiranku.
Saat ini, banyak guru yang menganggap bahwa menjadi guru hanyalah sebuah profesi penghasil uang. Banyak yang tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemegang peran penting dalam dunia pendidikan. Dan pikiran seperti itulah yang menyebabkan cara mengajar mereka terkesan monoton, membosankan, dan hanya sebatas memberikan materi pelajaran tanpa mendidik murid-muridnya agar menjadi pribadi yang lebih baik.
Sebagian guru di sekolahku seringkali membuatku merasa jengkel. Misalnya saja guru yang selalu menganggap bahwa pengetahuan dan pendapatnya adalah yang paling benar dan tidak pernah mau menerima masukan dan pendapat dari murid. Ada juga guru yang dengan mudah meremehkan dan menghina murid-muridnya hanya karena murid itu mendapatkan nilai jelek dalam ulangannya. Ada pula guru yang selalu mendewa-dewakan dan menganggap penting materi pelajaran yang diajarkannya, seakan-akan jika seorang murid tidak bisa paham dan mengerti dengan materi yang diajarkannya maka murid itu dianggapnya sebagai murid bodoh. Dan yang paling parah adalah guru yang jarang masuk ke dalam kelas dengan alasan sedang sibuk. Kalaupun masuk ke kelas, ia hanya memberikan tugas dan tak pernah satu kali pun memberikan materi serta penjelasan kepada para muridnya. Namun, suatu ketika dengan tidak malunya ia berani memberikan ulangan dan menyuruh murid-muridnya belajar dari buku paket. Padahal, menurutku ulangan itu adalah pengulangan atas materi yang pernah seorang guru ajarkan kepada murid-muridnya. ulangan itu berguna untuk mengukur sejauh mana pemahaman murid pada materi yang telah diajarkan oleh seorang guru. Dan guru yang tidak pernah mengajarkan materi seharusnya tidak memiliki hak untuk memberikan ulangan.
Guru yang kuinginkan bukanlah guru yang sekedar menguasai bahan ajar. Tetapi, aku menginginkan guru yang peduli, pengertian, dan dapat memahami batas kemampuan murid. Dapat memahami batas kemampuan murid maksudnya, guru tersebut harus sadar bahwa beban mata pelajaran yang harus ditanggung oleh murid itu sangat berat. Dan kemampuan murid dalam sebuah pelajaran pastinya tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Guru seharusnya tidak boleh memaksa murid, apalagi menghina murid jika tidak bisa menguasai mata pelajaran yang diajarkannya. Bukan berarti guru tersebut tidak perlu menghiraukan muridnya, tetapi guru tersebut tidak boleh terlalu membuat muridnya tertekan.
Hubungan antara guru dan orang tua murid juga merupakan sesuatu yang sangat penting. Akan sangat baik jika guru dan orang tua murid memiliki hubungan yang baik. Guru bisa memberitahukan perkembangan belajar murid kepada orang tuanya. Orang tua juga bisa memahami perkembangan anaknya dan dengan mengetahui hal itu orang tua bisa lebih mendukung anaknya.
Hubungan antar siswa pun merupakan hal yang sangat penting. Namun, seringkali murid-murid membuat kelompok-kelompoknya sendiri, murid pintar berteman dengan murid pintar, murid dengan kemampuan akademik rendah juga berteman dengan sesamanya. Seharusnya pengelompokan-pengelompokan seperti ini diusahakan untuk dihilangkan. Jadi, murid bisa berteman dengan siapa saja tanpa memandang perbedaan. Dan perbedaan itu akan tertutupi jika dalam mata pelajaran sekolah murid-murid bisa saling membantu satu sama lain.
Yang paling sering kupikirkan dalam dunia pendidikan ini adalah mata pelajaran, tugas, dan pekerjaan rumah. Menurutku, beban mata pelajaran sekolah yang ada di negara kita ini terlalu berat. Banyak sekali jenis mata pelajaran yang harus dipelajari dan dikuasai oleh murid. Padahal, otak manusia itu bukanlah komputer yang dapat menyerap materi-materi tersebut dengan mudah. Bakat dan minat setiap orang itu juga berbeda-beda. Namun, mengapa otakku ini harus dijejali dengan beragam jenis mata pelajaran yang mungkin tidak akan berguna bagi masa depanku dan juga murid-murid lainnya? Jika aku selalu dituntut untuk menguasai dan mengerti dengan begitu banyaknya mata pelajaran, kapan aku bisa fokus dan memiliki waktu untuk mengembangkan bakat dan minatku?
Aku tidak menginginkan sekolah yang selalu membebani dan menjejaliku dengan belasan mata pelajaran yang sama sekali tak menarik minatku. Aku menginginkan sekolah yang bisa mendukung bakat dan minat yang kumiliki. Dan aku menginginkan sekolah yang mata pelajarannya bisa kupilih sendiri dan dapat disesuaikan dengan bakat dan minatku.
Tugas dan pekerjaan rumah juga merupakan salah satu hal yang membuatku merasa terbebani. Hal tersebut seringkali menyita sebagian besar waktuku di rumah. Biasanya, mata pelajaran yang paling banyak memberikan PR di sekolahku adalah matematika dan sejarah. Dan yang paling kuingat adalah ketika guru sejarahku memberikan begitu banyaknya soal yang harus dikerjakan hanya dalam waktu 2 hari. Aku terpaksa harus begadang sampai lewat dari tengah malam. Padahal masih banyak PR lain yang menumpuk. Sungguh kejam, menurutku.
Aku menginginkan tugas dan pekerjaan rumah tersebut tidak terlalu menyita banyak waktu seorang murid. Jadi, waktu luangku di rumah dapat aku manfaatkan untuk mengembangkan bakat dan minat yang akan menunjang cita-citaku.
Bentuk ujian kelulusan yang ada saat ini menurutku kurang efektif. Seperti yang orang-orang ketahui, bahwa bakat dan minat setiap orang itu berbeda-beda. Bagaimana mungkin kemampuan tersebut diukur hanya dengan matematika, bahasa Indonesia, bahasa inggris, ipa (biologi, fisika, kimia), dan ips (geografi, ekonomi, sosiologi)? Bagaimana jika bakat murid itu bukan merupakan salah satu pelajaran yang telah disebutkan dan diujikan dalam ujian kelulusan atau yang biasa disebut sebagai UN itu? Dan bagaimana jika jika bakat yang dimilki murid itu adalah bakat seni, olahraga, ataupun bidang lainnya yang tidak diujikan dalam UN? Apakah bisa mengukur kemampuan murid? Tidak, karena UN hanya mengukur kemampuan murid di mata pelajaran yang diujikan saja, bukan dalam mata pelajaran yang menjadi bakat dan minatnya.
Aku semakin merasa tidak suka dengan UN karena mendengar kabar bahwa di tahun 2013 ini sebanyak 8250 siswa tingkat SMA/SMK/MA tidak lulus dalam UN. Sungguh miris. Padahal sangatlah mungkin murid-murid tersebut memiliki bakat di bidang yang lain. Siapa yang tahu jika beberapa diantara mereka memiliki bakat sebagai seorang seniman, penulis, atlet, dan masih banyak lagi yang lainnya? Sangat menyedihkan karena langkah mereka harus tertenti dan terhambat untuk satu tahun ke depan hanya karena sesuatu yang tidak penting dan tidak sesuai untuk bakat mereka.
UN seharusnya disesuaikan dengan bakat dan minat murid. Aku ingin bisa memilih sendiri mata pelajaran yang akan diujikan. Dan sebenarnya pemerintah tidak perlu ikut ambil bagian dalam pelaksanaan ujian kelulusan, karena guru-guru di sekolahlah yang lebih mengerti tentang murid-muridnya.
Aku berharap suatu saat nanti pendidikan di Indonesia dapat lebih maju. Bukan menjadi pendidikan yang mengekang bakat, minat, kreativitas, dan kebebasan muridnya, tetapi menjadi pendidikan yang mendukung bakat dan minat agar murid dapat meraih cita-citanya.