Banyak sekali kisah menarik di balik cerita “keren” seorang wartawan. Selalu saja ada sesuatu terjadi untuk diceritakan. Makanya, jangan heran kalau wartawan itu cerewet dan bawel. Memang tukang cerita, mau gimana lagi?! Harap maklum. Memang “keren”-nya di situ, sih!!! Hehehe….
Seperti yang dialami oleh Mas Wid Sumartopo, seorang senior (tua), yang pernah kehilangan Kartu Pers-nya pada tahun 1977 yang silam. Sudah lama banget, ya?!
“Tahun ‘77 saya pernah kehilangan kartu pers dan kartu mahasiswa.. Saya pikir, hilang ya biarin, minta ganti lagi nggak sulit. Eh, suatu hari, pagi-pagi, ada bapak-bapak tua dengan pakaian lusuh datang ke asrama saya, membawa dua kartu itu.. Ya, minta ganti ongkos naik bajay. Waktu itu uang saku cuma Rp 15 ribu. Nggak ingat persisnya, saya 'terpaksa" berikan dua atau lima ribu deh untuk ganti kartu-kartu yang sudah lecek itu.” Apes apa hoki, nih?!
Kalau saya, sih, bukan masalah kemudian menggantinya, tetapi malas saja dengan urusan birokrasi membuatnya. Repot!!! Butuh tapi malas sekali untuk mengurusnya. Kalau tidak ingat betapa pentingnya kartu itu, saya juga nggak akan buat lagi kalau hilang. Seperti sewaktu harus meliput hingar bingarnya dunia malam di sebuah diskotik bersama seorang teman fotografer bernama Bobo. Waktu itu tidak tahu kalau ada acara meriah sekali di dalam. Yah, kami, sih, enjoy saja sampai tiba-tiba musik dihentikan. Polisi datang dan semua kalang kabut. Maklum, deh, pastinya semua sibuk menyembunyikan barang masing-masing dan ketakutan.
Pas giliran kami diperiksa, kami dilewati begitu saja. Saya tanya, “Pak, kenapa kami nggak ikutan diperiksa?” Dijawablah oleh salah seorang polisi, “Kalau wartawan, kami percayalah!”. Dalam hati, percaya apa percaya?! Kalau saya tulis tentang apa yang terjadi di sana, bagaimana, ya?! Untung ada kartu!!! Hehehe….
Lain lagi cerita kalau diundang ke stasiun televisi. Biasanya saya dijemput oleh seorang sopir, dan saya terlalu bosan untuk diam saja.Berbincanglah saya dengan mereka, dan dari mereka juga saya dapat informasi, kalau mobil untuk liputan paling sering ditangkap polisi. Mereka harus bergegas mencapai lokasi bila ada peristiwa, sehingga tidak ada pilihan lain. Ngebut, motong sana motong sini, dan juga melanggar peraturan lalu lintas. Kata mereka, “Nggak ada pilihan, Mbak! Kalau terlambat, kami juga yang salah.” Nah, lho!!!
Lantas kalau tertangkap, siapa yang harus mengganti bea penangkapannya?! Sang sopir hanya mesem-mesem saja, tuh!!! Mereka tak mau menjawab, tetapi sepertinya kita tak perlu mendengarnya. Sudah bisa diduga apa yang terjadi. Kalau bukan si sopir pasti wartawannya, kan?!Nasib!!!
Paling menyebalkan kalau harus mewawancarai orang yang tidak kita sukai. Entah karena kita tahu dia koruptor atau jahat, atau ya, memang kita tidak suka saja. Kecenderungan untuk menjadi malas itu ada. Malah tidak jarang juga menjadi memiliki niat tidak baik untuk mengerjai mereka. Bukan dalam bentuk meminta uang, ya!!! Kerjai di sini maksudnya memberikan pertanyaan yang sulit mereka jawab. Hanya saja, kalau saya berikan pertanyaan yang demikian, lalu mereka tak bisa jawab atau tak mau menjawab bagaimana?! Rugi sendiri, dong!!! Sudah capek, nggak dapat berita pula. Yah, harus pandai-pandai juga.
Saya memang membiasakan diri untuk membuat catatan pertanyaan sebelum mewawancarai orang dan mencari tahu dulu latar belakang orang tersebut untuk mempermudah dan memperlancar jalannya wawancara. Bila sama sekali buta, saya juga bingung mau tanya apa. Saya juga biasanya tidak mau membawa alat rekaman, kecuali memang saya sedang malas atau malas dengan orang yang saya wawancarai. Soalnya, kalau pakai perekam, biasanya jadi malas untuk menyimak dengan baik. Menjadi sangat tergantung dengan alat perekam itu, dan tidak bertanya lebih detail dan dalam lagi.
Bukan hanya urusan tulisan yang bikin ribet, tetapi juga urusan foto dan ilustrasi artikel ataupun berita. Ada juga kejadian yang unik yaitu pada saat saya harus menghadiri acara sebuah peragaan busana peluncuran lingerie yang dibuat oleh seorang perancang busana terkenal. Waktu itu, saya kehabisan fotografer karena memang acaranya sangat mendadak, sementara saya perlu sekali liputan itu. Akhirnya saya memutuskan untuk mengambil fotografer dari luar, dan salah seorang teman saya bersedia. Sayangnya, saya lupa menyebutkan bahwa foto yang harus diambilnya adalah foto-foto peragaan busana yang seperti itu. Tahulah ya, bagaimana lingerie!!! Seksi dan terbuka sekali!!! Sementara, fotografer yang datang itu seseorang yang amat sangat taat beribadah dan paling anti hal-hal seperti itu. Jadilah, bingung!!! Hahaha….
Akhirnya foto tetap diambil meski dia harus sering “berucap” dan memalingkan muka. Yah, terkadang memang sulit juga memisahkan antara prinsip dan tugas. Tugas, ya, tugas, prinsip?!
Nah, paling seru kalau sedang membuat ilustrasi untuk tulisan saya yang berbau seks. Sebenarnya pusing juga karena saya tidak ingin ilustrasinya menjadi “porno”. Kalau sedang menceritakan urusan kelamin bagaimana?! Masa, sih, saya harus menampilkan foto penis dan vagina begitu saja?! Nggak mungkin, kan?! Saya bisa “diberedel” nanti!!! Lagipula nggak etis dan kurang pas dengan tujuan saya di dalam menulis seks. Biasanya, saya menggantinya dengan yang lain.
Jika memang harus membuat ilustrasi menggunakan model, itu jadi ribet banget!!! Masalahnya, tidak sembarang model “panas” yang bisa dipilih, tetapi harus yang memenuhi kriteria dan juga pas dengan artikel saya. Itu tidak mudah sama sekali. Ditambah lagi harus mencari pakaian yang pas, lokasi yang tepat dan juga fotografer yang sesuai. Semuanya harus paslah!!! Saya jadi suka berpikir, lebih mudah membuat artikel daripada membuat ilustrasinya. Salut dengan para pengarah gaya dan fotografer. Tidak mudah, lho!!!
Kalau ingat-ingat semua yang terjadi tidak akan pernah habis cerita. Selalu saja ada yang bisa diceritakan. Bisa panjang banget, deh! Sekian dulu saja ya ceritanya, kalau sempat nanti saya sambung lagi.
Semoga bermanfaat!!!
Salam Kompasiana,
Mariska Lubis