Sejak tanggal 11 September 2001, saat di mana peristiwa pahit pemboman Gedung World Trade Centre di Amerika Serika terjadi, ketegangan yang sangat luar biasa antara penduduk Muslim dan non Muslim dunia tidak bisa dihindari. Dibuktikan dengan berlanjutnya berbagai peristiwa yang menyedihkan dan pahit di mana hingga saat ini pun masih terus berlanjut. Isu ancaman pembakaran Al Quran yang akan dilakukan pada tanggal 11 September 2010 adalah salah satu bukti di mana sebuah radikalisme akan menghasilkan perlawanan balik yang sifatnya radikalisme juga. Sama sekali tidak menguntungkan seluruh pihak kecuali yang berkepentingan. Sampai kapan radikalisme ini akan berlanjut dan berlangsung?! Sampai kapan permainan yang memanfaatkan radikalisme ini akan berlanjut dan berlangsung?! Kapan kita semua bersatu dan maumenghentikannya?!
Tindakan perbuatan radikalisme yang berdasarkan racistm terhadap satu kelompok dan berbagai kelompok lainnya yang berbeda di dunia ini memang sudah bukan cerita baru lagi. Sudah sejak lama sekali dilakukan, sejak peradaban manusia muncul di permukaan bumi ini. Inferior dan superioritas kesukuan, agama, budaya, ekonomi, sosial, dan politik selalu saja ada. Memang sepertinya sudah mendarah daging dalam setiap manusia.
Hal ini bisa dikatakan wajar mengingat rasa takut dan rasa terancam itu selalu ada menghinggapi manusia. Di mana bila ketakutan dan rasa terancam itu menjadi berlebih maka tindakan radikalisme itu pun bisa muncul dan menghasilkan sesuatu yang sangat luar biasa sekali keras dan kejamnya. Seperti yang dikatakan oleh Freud bahwa faktor pendorong gagasan radikalisme adalah apa yang disebut dengan melancholia, yaitu sebuah penolakan (kekesalan) mendalam yang menyakitkan (a profoundly painful rejection). Pada akhirnya menghasilkan sebuah pergulatan antara logika, keyakinan, dan juga unsur kekuatan di luar nalar (magis), dan pengorbanan yang dilakukan oleh manusia yang mengandung unsur kekerasan dan kekejaman itu pun dianggap dan diyakini sebagai “perintah atas unsur magis dan keyakinan” itu sendiri.
Konsekuensi dari terjadinya radikalisme adalah terbentuknya politisasi di dalam agama, di mana agama memang sangat sensistif sifatnya, paling mudah membakar fantatisme, paling mudah juga menjadi “kipas” paling kencang untuk melakukan berbagai tindakan yang sangat keras, baik di dalam kehidupan sosial antar individu maupun kelompok. Pembenaran atas nama agama tidak bisa dihindari, oleh karena itulah ada yang disebut dengan religio political system (Smith) dan religions mindedness (Geertzz) yang merupakan sebuah proses terbentuknya ideologi agama. Sehingga kemudian tidak heran bila dalam posisi dan konteks seperti demikian, agama bisa dikatakan sebagai pembentuk radikalisme dan konflik kekerasan. Sangat berlawanan jauh dengan konsep keberadaan agama itu sendiri yang justru mengarahkan manusia untuk memiliki cinta dan kasih sayang terhadap sesama untuk mewujudkan kebahagian dan kedamaian baik secara individu maupun kelompok dan bahkan universal.
Kita tidak perlu jauh-jauh melihat ke luar negeri, lihat saja apa yang terjadi di Negara kita sekarang ini. Isu sedikit saja tentang perbedaan atas pemikiran agama bisa menimbulkan perpecahan dan tindakan kekerasan pun terus dilakukan. Dijadikan sebuah alat politik untuk mencapai tujuan tertentu. Bila tidak demikian, mana mungkin semua calon pemimpin, mulai dari Lurah sampai Presiden dan para staf, menteri, juga pemimpin berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta, “lari” mencari dukungan dari berbagai lembaga keagamaan. Paling enak, kan, mendapat dukungan dari sebuah lembaga atau komunitas dan kelompok agama?! Pimpinan lembaga, komunitas, dan kelompok itu tinggal memberi wejangan, petuah, petunjuk, perintah, siapa yang berani melawannya?! Ini juga membuktikan bahwa di dalam struktur organisasi keagamaan, feodalisme dan otoriter diterapkan dan berlaku serta terus berlangsung. Sementara itu, di lain sisi, tidak ada satu agama pun yang tidak mengajarkan bahwa manusia dan seluruh makhluk ciptaan-Nya adalah sama. Meski memang pada fakta dan kenyataannya, di dalam kehidupan bersosialisasi, yang namanya “posisi” menjadi faktor yang sangat menentukan.
Sayangnya kemudian, “posisi” ini seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu saja, dan melupakan kepentingan bersama yang sifatnya menyeluruh. Seringkali juga “posisi” menjadi lemah dari yang seharusnya karena seringkali juga mereka yang memiliki “posisi” tidak memanfaatkan posisinya dengan baik dan benar. Seringkali juga masyarakat tidak sadar akan “posisi”-nya, di mana kritik dan komentar tajam seringkali diungkapkan tanpa mengindahkan yang namanya “posisi”.
Menyamaratakan “posisi” seseorang dengan yang lainnya dengan dalih narcistm dan racistm. Lupa bahwa seseorang memang seharusnya melakukan tindakan dan perbuatan sesuai dengan posisinya masing-masing dan memang harus mampu menempatkan diri pada posisinya di dalam masyarakat. Bila saja kemudian idolanya yang melakukan kesalahan, alasan pertama yang dijadikan bahan untuk tudingan adalah karena orang itu adalah public figure yang menjadi panutan dan contoh banyak orang. Tetapi bila orang itu bukan idolanya, meski menjadi idola yang lain, dan berbeda prinsip serta pandangan, segala tindakan dan perbuatannya dianggap tidak benar. Dianggap sebagai tindakan dan perbuatan yang bodoh dan sombong saja. Bahkan seringkali disamaratakan dengan posisinya sendiri.
Mana mungkin posisi seorang public figure disamaratakan dengan posisi seorang ibu rumah tangga biasa, dalam konteks pekerjaan yang berhubungan dengan masyarakat umum dan luas, begitu juga sebaliknya?! Mana mungkin seorang pemimpin Negara menyamaratakan posisinya sebagai seorang politisi, anggota partai, dan juga sebagai seorang ayah dan kepala keluarga begitu juga sebaliknya?! Oleh karena itulah, perlu dipertanyakan juga, apakah seseorang yang menempatkan posisinya maka layak dikatakan sombong, rasis, dan narcist?! Siapa yang tidak tahu posisi dan siapa yang tidak tahu menempatkan posisi?! Siapa yang sebenarnya sombong dan bodoh?! Bagaimana dengan yang berlebihan dan yang menyamaratakan posisinya begitu saja?!
Kembali kepada masalah radikalisme dan hubungannya dengan semua ini. Semuanya memang menjadi saling terkait dan tidak bisa dilepaskan begitu saja.Sadar atau tidak sadar, diakui atau tidak diakui, radikalisme jihad dan juga perlawanan terhadapnya seperti tindakan radikalisme pembakaran Al Quran ini sangat berkaitan erat dengan bukan urusan agama dan keyakinan semata. Sangat mengarah kepada urusan politik, ekonomi, dan perdagangan yang menjurus kepada perebutan pada posisi dan kekuasaan. Sengketa dan perebutan atas kekuasaan serta dominasi terhadap urusan ketiganya inilah yang menjadi asal mula terjadinya permainan memanfaatkan radikalisme manusia, baik secara individu maupun kelompok.
Coba pikirkan lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di balik layar sana?! Perjanjian seperti apa yang telah dilakukan?! Untuk siapa dan untuk kepentingan siapa?! Atas nama siapa juga?! Memangnya mereka terlalu bodoh untuk tidak melakukan diplomasi dan juga negosiasi?! Apa posisi itu juga tidak bisa dan tidak mungkin dinegosiasikan?! Siapa yang bodoh mau dipermainkan terus menerus?! Kita tidak bisa berasumsi bahwa semua unsur yang terkait dalam sebuah permasalahan tidak dipikirkan baik-baik dan matang. Di dalam dunia percaturan politik dunia, tidak ada yang mengesampingkan faktor setiap Negara apalagi bila Negara tersebut memiliki peranan yang penting, seperti Indonesia tercinta kita ini.
Mari kita sama-sama perhatikan apa yang terjadi dengan harga minyak dunia setiap kali setelah terjadi peristiwa radikalisme yang mempengaruhi dunia. Perhatikan juga harga dan pasokan barang-barang yang dianggap “haram”, seperti opium dan ganja.Naik apa turun?! Siapa yang paling diuntungkan?! Siapa juga sebenarnya yang paling dirugikan?!Siapakah mereka yang berada di balik permainan itu?! Tentunya hanya orang-orang jenius dan pintar serta memiliki kekuasaan serta sadar akan posisinya yang mampu melakukannya. Hanya orang-orang bodoh dan lemah yang bisa dan mau dipermainkannya. Jahat atau tidaknya, sih, itu urusannya lain lagi.
Menurut saya, akar permasalahan atas apa yang terjadi ada pada masalah pola pikir dan cara pandang. Bila segala sesuatunya hanya dilihat dari satu sisi pandang saja dan tidak dilihat secara menyeluruh maka akan terjadilah hal-hal seperti ini. Bila juga segala sesuatunya tidak dimengerti dan dipahami dengan baik, bahkan mulai dari kata dan bahasa, maka semua ini akan terus berlanjut. Bila juga semua tidak mau berpikir jauh ke depan, tidak mau jujur, tidak mau belajar, tidak mau mengenal apa dan siapa diri yang sebenarnya, takut untuk menjadi diri sendiri, maka akan dengan sangat mudahnya permainan ini dimainkan.
Kita memang sebaiknya mengakui bahwa manusia adalah sama di hadapan Tuhan tetapi kita juga sebagai manusia sebaiknya mengakui bahwa kita memiliki perbedaan. Perbedaan dalam hal ini tidak menyangkut kepada masalah kepandaian, etnis, sosial, budaya, ataupun keyakinan tetapi perbedaan atas pilihan. Di lain sisi, bila dipikirkan lebih jauh, pilihan inilah justru sebenarnya yang merupakan persamaan manusia. Manusia diberikan kemampuan untuk memperluas dan memperbanyak pilihan lewat kemampuannya berpikir dan “merasa’, bahkan diberikan juga panduan dan tuntunannya.
Tidak ada manusia yang bisa memberikan pilihan seperti yang diberikan oleh-Nya kepada manusia namun tidak ada juga manusia yang tidak bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan atas semua pilihan yang telah dipilihnya itu kepada-Nya. Semua pilihan itu memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap manusia lainnya dalam kapasitasnya sebagai makhluk sosial, juga terhadap makhluk hidup lainnya dan seluruh ciptaan-Nya dalam kapastitasnya sebagai ciptaan-Nya.Tentunya juga berpengaruh pada diri sendiri dalam hubungannya dengan Sang Pencipta itu sendiri.
Radikalisme akan terus berlanjut selama manusia tidak juga mau sadar dan mau menerima fakta dan kenyataan yang ada sebagai dirinya sendiri dan atas apa yang terjadi di dalam realita kehidupan. Penolakan itu menjadi buah dendam yang membuat derita dan sengsara bukan hanya untuk diri sendiri tetapi bagi semua. Permainan akan terus dilanjutkan dan sangat tergantung kepada pola pikir dan cara kita memandang segala sesuatunya. Sangat tergantung juga kepada pilihan yang kita ambil juga atas tanggung jawab terhadap pilihan yang diambil tersebut. Kapan kita mau mendahulukan kepentingan bersama?! Bila selalu mementingkan kepentingan pribadi dan juga kelompok, radikalisme akan terus berlangsung dan akan terus dimainkan. Mungkin memang benar bahwa surga itu hanya dikuasai dan menjadi milik segelintir manusia saja yang paling pintar, paling hebat, paling benar,.paling baik, serta paling tahu segalanya. Siapa yang bisa menentukannya?!
Bila saja semua mau sadar dan menyadari juga mau mengakui, mengerti dan memahami bahwa hanya kedamaian, ketenangan dan kebahagiaanlah maka radikalisme ini bisa dihentikan, maka tidak perlu lagi ada kekerasan dan kekejaman seperti sekarang ini. Cinta dan kasih sayang bisa mengalahkan segalanya bahkan rasa takut, rasa terancam, dan juga benci serta dendam. Semoga saja cinta itu selalu ada dan ada selalu. Semoga juga setiap kata itu benar-benar memiliki arti dan makna serta sabda itu benar-benar diresapi dan dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan bersama.
Semoga saja di Hari Raya Idul Fitri ini kita semua menjadi manusia baru yang mau menjadikan kehidupan ini menjadi lebih baik lagi untuk masa depan kita bersama.
Semoga bermanfaat.
Salam Kompasiana,
Mariska Lubis