Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Materialistis Membuat Kita Semua Susah

28 Agustus 2010   00:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:39 1257 0
[caption id="attachment_241531" align="alignleft" width="300" caption=""Siapa yang paling kita cintai dan mencintai kita?! Illustrasi: googlesearch"][/caption] Rasanya suka ingin marah setiap kali harus berhadapan dengan seseorang yang acap kali secara tidak sadar menunjukkan bahwa dirinya seorang materialistis. Meski tak mau juga mengakui, tetapi segala sesuatunya dinilai dari materi. Malah merasa benci bila mendapatkan pasangan materialistis. Pada fakta dan kenyataannya, kesuksesan seseorang, baginya, diukur dari hitungan materi yang dimiliki walaupun tidak secara langsung. Kasihan, deh!!! Mau sampai kapan sadar bahwa semua itu hanya merusak dirinya sendiri dan merusak yang lain tentunya. Cinta kepada bangsa dan negara pun dihitung lewat materi yang didapatkan. Sampai kapan kita harus hidup seperti ini?! Materialistis sepertinya memang sudah budaya. Alih-alih realistis, ujung-ujung, tetap saja materialistis. Buktinya, bibit bebet bobot calon pasangan masih dinilai dari "kesetaraan" atas pendidikan, kedudukan, jabatan, dan status sosial. Pantas saja banyak yang pernikahannya tidak bahagia. Berapa banyak yang menikah dengan yang "setara" dan meninggalkan yang sebenarnya dicintainya?! Membohongi diri dan membohongi semuanya hanya demi materi semata. Meski mulut bisa berucap tidak dan tidak mengakui, tetap saja ada yang tak bisa dibohongi. Siapkah?! Jika dulu banyak yang beranggapan hanya perempuan yang materialistis, menurut saya tidak, tuh!!! Berdasarkan pengalaman pribadi, banyak pria yang materialistis juga. Melihat kesempatan dan celah di mana pasangan perempuannya memiliki penghasilan, kedudukan, jabatan, serta status sosial yang "lebih", lalu dimanfaatkan olehnya untuk menjadi malas dan hanya mementingkan diri sendiri. Punya penghasilan pun hanya dinikmati untuk sendiri saja tanpa memikirkan pasangannya ataupun anak kandungnya sendiri Asyik saja membeli mainan untuk koleksi dan barang-barang mewah kesenangannya. "Kan, ada istri yang punya pendapatan lebih besar," begitu alasannya. Bahkan berhutang pun bisa dengan enaknya dia menjawab ke penagih, "Tagihnya ke istri saya, ya!!! Dia punya duitnya!!!". Duh!!! Yah, entahlah apa yang ada di dalam benaknya. Pastinya, salah satu dari pria seperti ini pernah saya minta ke laut saja untuk berpikir kembali tentang perilakunya ini. Sebagai seorang perempuan saja, rasanya saya merasa hina sekali bila bersikap demikian. Di mana-mana, berpasangan itu berarti sama-sama dalam susah dan senang. Apapun yang dihasilkan merupakan untuk kepentingan bersama dan dinikmati bersama. Rasanya malu banget bila harus mengorbankan cinta dan harga diri demi materi. Maaf, deh!!! Saya tidak mau diinjak-injak hanya karena materi!!! Bukan hanya diinjak-injak oleh pasangan, tetapi oleh rasa malu kepada diri sendiri!!! Bukan hanya yang muda yang sikapnya seperti ini, tetapi orang tua justru lebih banyak lagi yang materialistis. Bayangkan, cinta dan bakti serta pengabdian anak kepada orang tua dinilai darijumlah materi yang diberikan kembali kepadanya bila anaknya itu sudah berpenghasilan. Jika tak diberi, bisa sampai dikutuk segala. Apa tidak berpikir bahwa anak juga punya keinginan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Bila sudah berkeluarga, memiliki tanggung jawab terhadap keluarganya. Masa uang yang seharusnya bisa digunakan untuk memberi kehidupan yang lebih baik bagi cucu, yang jelas-jelas merupakan masa depan, harus dikorbankan?! Bila berlebih,  mungkin tak bermasalah, tapi kalau pas-pasan?! Hal ini sering menjadi dilema dalam kehidupan berumah tangga di mana banyak sekali pasangan suami dan istri yang pada akhirnya ribut tak karuan karena urusan "pemberian" kepada orang tua dan mertua. Parahnya lagi, sesama besan pun bisa ikutan berantem karena merasa cemburu dengan jumlah materi yang diberikan. Merasa tak seimbang dan tak adil, lalu muncullah kecemburuan dan tudingan. Saya benar-benar tidak habis pikir setiap kali harus menghadapi masalah seperti ini. Mbok, ya, sudah tua sadar gitu, lho!!! Tidak kasihan apa sama anak dan cucunya?! Kalau sampai kehidupan rumah tangga mereka berantakan, apa mau bertanggung jawab?! Pastinya tidak, ya?! Mengakui pun tak mau!!! Jangan-jangan, sadar pun tidak!!! Mengaku tak materialistis dan feodal tapi tetap saja gayanya sama. Jadi ingat sebuah lelucon tentang sebuah keluarga yang mendapati anak perempuannya hamil di luar nikah. Mereka marah besar sekali sampai kemudian pria yang menghamili anaknya itu datang. Pria itu ternyata sudah berkeluarga tetapi mau bertanggung jawab. Dia bahkan berjanji, bila anak yang dilahirkan itu perempuan, dia akan memberikannya rumah mewah, mobil mewah, sebidang tanah yang luas, dan sejumlah perhiasan. Bila anak yang dilahirkan itu laki-laki, lebih hebat lagi. Dia akan memberikan salah satu kilang minyak, gedung, perusahaan, tambang, dan sejumlah pompa bensin miliknya. Jika keguguran, ya, sudah, semua itu tidak akan diberikan. Lalu, apa yang dikatakan mereka kepada anak perempuannya?! "Kalau keguguran, usaha untuk hamil lagi, ya, nak!!!" Hehehe... Keadaan seperti ini, menurut saya sudah sangat merusak. Pantas saja pendidikan di kita tidak berkembang dan semakin merosot saja. Anak diberikan pendidikan di sekolah hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Kalau sudah sekolah, maka harus bekerja dengan pendapatan yang sebanding pula. Makanya, banyak yang dituntut atau disarankan untuk masuk sekolah yang mudah mencari kerja saja. Lihat saja di kampus-kampus, jurusan apa yang paling berjubel mahasiswanya?! Pasti ekonomi jurusan akuntansi. Coba jurusan antropologi, sejarah, dan filsafat. Berapa banyak orang tua yang rela anaknya mengambil jurusan itu?!  Berapa banyak juga kampus yang beriklan dengan menawarkan janji jaminan bisa cepat dapat kerja?!  Nggak penting, ya, belajar ilmu-ilmu seperti itu?! Nggak bisa menghasilkan uang banyak dan mendapatkan kerja yang layak?! Memangnya sekolah itu apa?!  Jangan heran kalau kemudian banyak yang ingin segera lulus saja tanpa mempedulikan kualitasnya. Yang dikejar hanya titel dan ijasah saja, sih!!! Menurut pandangan saya, ini juga berarti, masalah pendidikan, bukan melulu  masalah tidak memiliki dana untuk memberikan pendidikan yang layak bagi anaknya, tetapi lebih kepada pola pikir dan cara pandang. Bayangkan, untuk mengadakan pesta sunatan dan pesta pernikahan, kenapa bisa sampai sebegitu mewah dan besarnya?! Begitu juga untuk membeli segala macam barang-barang pada saat Idul Fitri dan Lebaran Haji. Bahkan untuk membeli sejumlah barang-barang dan perhiasan emas serta sawah dan ladang. Kok, bisa?! Kenapa giliran untuk menyekolahkan anaknya tidak bisa?! Bila jumlah uang yang dikeluarkan untuk acara-acara tersebut ditabung untuk menyekolahkan anaknya seharusnya bisa. Kenapa anak malah sekolahnya disuruh berhenti lalu bekerja di kota dan di luar negeri untuk menjadi Pembantu Rumah Tangga dan buruh?! Ini masalah keinginan jadinya, kan?! Yang paling bikin saya jengkel baru-baru ini karena sebuah pesan yang masuk di BBM saya. Entah sengaja atau tidak, entah juga sadar atau tidak, sudah berbau sangat rasis. Kenapa cinta kepada bangsa dan negara ini dihitung dari jumlah apa yang didapatkan?! Secara materi pula!!! Bila memang tidak cinta kepada bangsa dan negara ini, silahkan saja pergi ke tempat lain!!! Saya malah senang, negara ini tidak rugi kehilangan mereka yang tak tahu malu. Tidak kenal apa dan siapa diri, sudah berani-beraninya menuduh dan menuding bangsa dan negara ini. Memangnya lahir, tumbuh, besar, dan mendapatkan semuanya dari mana?! Enak saja!!! Meski ini dianggap main-main, saya tetap tidak bisa terima. Terkadang orang suka tidak bisa membedakan mana yang humor betulan, mana yang sifatnya sudah melecehkan dan mengintimidasi. Tidak peduli, suka atau tidak suka, tetap saya harus memberitahunya. Marah, marah, deh!!! Memang tak punya kemaluan!!! Sudah sangat tak karuan memang pola pikir dan cara pandang kita semua, nih!!! Pantas saja negara ini harus mengalami sedih, pahit, dan menderita seperti sekarang ini. Satu hal saja, soal materialistis, masih banyak juga yang belum mau sadar ataupun mengakuinya. Bila tidak sadar dan tidak mau mengakuinya, bagaimana bisa menjadi lebih baik?! Sudah jelas semua ini merusak, kenapa juga tidak mau?! Takut, ya?! Malu?! Takut dan malu jangan kepada manusia lainnya, takut dan malulah kepada Sang Pencipta!!! Dia Maha Tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiran kita. Mampukah mempertanggungjawabkannya di hadapan Dia?! Bisa jadi banyak yang nekat dan bilang berani!!! Buktinya, karena materialistis, doa dan surga pun dijual untuk mendapatkan materi. Tuhan, kebenaran, dan tuntunan yang jelas-jelas adalah dari-Nya dan untuk semua, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi. Masa untuk berdoa saja setiap orang harus membayar sampai Rp. 2 juta?! Jaminannya apa doa itu sampai?! Memangnya kalau berdoa sendiri tidak sampai?! Tidak bisa masuk surga?! Hebat betul!!! Siapa manusia, siapa Dia?! Lebih kacaunya lagi, banyak pula yang percaya dan bahkan menjadi pemujanya. Bukan Dia yang dipuja, tetapi dia. Sudah dijelaskan di dalam tuntutan dan sudah juga diucapkan terus-menerus bahwa tidak ada yang lain selain Dia, tapi, kok, masih saja, ya?! Mendingan uangnya buat sedekah sajalah!!! Lebih banyak arti dan manfaatnya!!! Bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk banyak yang lainnya. Daripada hanya untuk memperkaya satu orang saja, lebih baik untuk orang banyak bukan?! Seandainya saja semua mau menjadi jujur dan rendah hati, pasti kehidupan kita menjadi lebih baik lagi. Hanya dengan jujur dan rendah hatilah kita bisa belajar dan terus belajar juga bisa mengenal apa dan siapa diri kita yang sebenarnya. Semakin kita tahu apa dan siapa kita, semakin juga kita dekat dengan-Nya. Diri kita pun akan semakin penuh dengan cinta sehingga memiliki banyak cinta untuk selalu diberikan juga kepada yang lainnya. Anyway, saya tidak akan pernah berhenti mengutarakan ini semua meski mulut saya sampai harus berbusa dan jemari linu-linu karena menulis. Meski mungkin tidak berarti dan bermanfaat secara langsung, tetapi tidak ada salahnya, kan, berusaha?! Soal bagaimana kemudian diterima atau tidaknya, itu semua hanya masalah pilihan. Yang tahu apa dan siapa diri sendiri, materialistis atau tidak, hanya diri sendiri juga. Yang bisa mengubahnya?! Diri sendiri juga, dong!!! Selamat memilih!!! Salam Kompasiana, Mariska Lubis

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun