Mohon tunggu...
KOMENTAR
Horor

Horor: Riwayat Tanah Terkutuk

18 November 2024   21:29 Diperbarui: 18 November 2024   21:35 29 1
Riwayat Tanah Terkutuk

Kota kecil bernama Sukamaju selalu tampak damai di permukaan, namun setiap penduduk asli tahu, ada rahasia kelam yang terkubur di sana. Ada satu lahan yang selalu kosong di tepi kota, tidak pernah dibangun rumah atau toko, meskipun lokasinya strategis. Mereka menyebutnya Tanah Terkutuk.

Bram, seorang arsitek muda, baru saja pindah ke Sukamaju bersama istrinya, Amara. Mereka tertarik dengan lahan kosong itu yang dijual dengan harga sangat murah. Bram tidak percaya dengan cerita-cerita seram yang beredar. Baginya, itu hanya takhayul yang menghambat perkembangan kota.

"Ini kesempatan emas, Amara. Kita bisa membangun rumah impian di sini," ujar Bram antusias saat mereka berdiri di depan lahan tersebut.

Amara memandang lahan itu dengan ragu. "Kita benar-benar akan membelinya? Orang-orang bilang tempat ini punya sejarah yang buruk."

"Ah, itu cuma cerita lama. Aku sudah cek surat-suratnya, semua legal dan tidak ada masalah hukum," jawab Bram sambil tersenyum. "Percayalah, ini investasi yang bagus."

Setelah mempertimbangkan, Amara akhirnya setuju. Mereka menandatangani kontrak pembelian tanah, dan pembangunan rumah segera dimulai.

Dua bulan kemudian, rumah mereka selesai dibangun. Malam itu, Bram dan Amara merayakan kepindahan mereka ke rumah baru. Amara membuat makan malam sederhana, dan mereka duduk bersama di ruang tamu yang masih dipenuhi aroma cat baru.

"Sungguh luar biasa kita bisa membangun rumah ini secepat itu," kata Amara, mencoba mengusir rasa tidak nyaman yang tiba-tiba menyeruak.

Bram mengangguk sambil tersenyum. "Aku merasa sangat puas. Ini adalah rumah pertama kita yang benar-benar milik kita sendiri."

Namun, saat mereka tengah bersulang, terdengar suara gemerisik dari halaman belakang. Suara itu seperti ranting yang patah. Amara menoleh dengan cepat. "Apa kau dengar itu?"

Bram mengerutkan dahi. "Mungkin hanya angin."

Tapi Amara tidak yakin. Ia berdiri dan melangkah menuju jendela, mengintip ke halaman belakang yang gelap. Pohon tua di sana tampak bergerak tertiup angin malam, namun ada sesuatu yang lain. Bayangan seseorang, atau mungkin sesuatu, berdiri di antara dedaunan.

"Br... Bram," panggil Amara dengan suara pelan.

Bram mendekat dan memandang keluar jendela. "Tidak ada apa-apa, sayang. Kau mungkin hanya terlalu lelah."

Amara mengangguk pelan, meski rasa cemas masih menguasai hatinya. Mereka kembali duduk, berusaha melanjutkan malam itu tanpa memikirkan hal aneh yang baru saja terjadi.

Seminggu berlalu, dan segala sesuatunya tampak berjalan lancar. Bram sibuk dengan pekerjaannya, sementara Amara mulai menata rumah dengan perabotan yang mereka beli sedikit demi sedikit. Namun, perasaan tidak nyaman itu tak kunjung hilang. Setiap malam, Amara mendengar suara-suara aneh dari halaman belakang---suara langkah kaki, gemerisik daun, dan bisikan samar yang membuat bulu kuduknya merinding.

Suatu malam, ketika Bram tertidur pulas, Amara memutuskan untuk menyelidikinya sendiri. Dengan senter di tangan, ia keluar melalui pintu belakang. Udara malam terasa dingin menusuk, dan suara jangkrik mengisi keheningan. Amara menyusuri jalan setapak menuju pohon tua di sudut halaman.

Saat ia sampai di sana, senter yang dipegangnya tiba-tiba berkedip, lalu mati. Dalam kegelapan, ia merasakan hawa dingin yang tak wajar, seolah-olah ada seseorang yang berdiri sangat dekat dengannya, menghembuskan napas di tengkuknya. Amara membeku, ketakutan.

Tiba-tiba, terdengar suara berbisik, begitu jelas di telinganya. "Pergi... dari sini."

Amara terkejut dan berlari sekuat tenaga kembali ke rumah. Ia mengunci pintu dan langsung membangunkan Bram.

"Amara, tenang. Apa yang terjadi?" tanya Bram, bingung melihat istrinya yang ketakutan.

"Aku... aku mendengar suara," jawab Amara terengah-engah. "Seseorang mengatakan kita harus pergi dari sini."

Bram memeluk Amara erat. "Itu hanya imajinasimu. Kau terlalu memikirkan cerita takhayul itu. Tidak ada siapa-siapa di luar."

Tapi Amara tahu apa yang ia dengar. Itu nyata.

Keesokan harinya, Amara mengunjungi tetangga mereka, Bu Surti, seorang wanita tua yang telah tinggal di Sukamaju seumur hidupnya. Amara berharap mendapatkan penjelasan lebih lanjut tentang tanah yang mereka beli.

"Tanah itu... seharusnya tidak boleh dibangun, Nak," kata Bu Surti dengan nada serius. "Dulu, ada keluarga yang tinggal di sana, tapi semuanya tewas dalam kebakaran yang misterius. Sejak itu, banyak kejadian aneh yang terjadi di sana. Orang-orang percaya, roh mereka masih terperangkap di tanah itu."

Amara terdiam, merasakan ketakutan yang merayap naik di punggungnya. "Kenapa tidak ada yang memberitahu kami sebelumnya?"

"Kami pikir kau dan suamimu tidak akan percaya. Lagipula, sudah banyak orang yang mencoba membangun di sana, tapi mereka semua pergi. Tak satu pun bertahan lebih dari sebulan."

Amara kembali ke rumah dengan perasaan kalut. Ia ingin menceritakan semuanya pada Bram, tapi ia tahu suaminya pasti akan menganggap ini hanya omong kosong.

Malam itu, suara-suara aneh kembali terdengar. Kali ini lebih keras, seperti seseorang berteriak dari kejauhan. Amara menutup telinganya, berusaha mengabaikan suara itu, namun semakin lama semakin jelas.

"Pergi... atau kalian akan bernasib sama."

Amara tak tahan lagi. Ia berlari ke kamar dan mengguncang tubuh Bram yang sedang tertidur.

"Bram, kita harus pergi dari sini sekarang!" Amara berteriak histeris.

Bram terbangun dengan wajah bingung. "Apa yang kau bicarakan? Apa yang terjadi?"

"Tolong percaya padaku. Ada sesuatu di sini... sesuatu yang tidak bisa kita lihat, tapi sangat nyata. Aku tidak mau tinggal di sini lagi!"

Melihat ketakutan di wajah istrinya, Bram akhirnya setuju untuk menginap di hotel malam itu. Mereka mengemasi barang-barang penting dan segera meninggalkan rumah.

Keesokan harinya, Bram memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Ia kembali ke rumah dan mulai menggali di dekat pohon tua di halaman belakang, tempat Amara mendengar bisikan itu. Setelah menggali beberapa meter, sekopnya menghantam sesuatu yang keras.

Dengan hati-hati, Bram membersihkan tanah yang menutupi benda itu. Ia terkejut saat menemukan peti kayu yang terkubur di sana. Peti itu tampak tua dan sudah lapuk, namun masih terkunci rapat.

Bram membawa peti itu ke dalam rumah dan membukanya. Di dalamnya, ia menemukan foto-foto lama, surat-surat, dan sebuah boneka kayu yang terlihat menyeramkan. Di salah satu foto, ia melihat wajah keluarga yang pernah tinggal di sana---seorang pria, wanita, dan seorang anak perempuan kecil. Di balik foto itu tertulis: "Keluarga Arta, 1965. Hidup kami akan selalu dikenang di tanah ini."

Namun, yang membuat Bram terkejut adalah surat yang tertulis dengan tangan yang gemetar: "Jika kau menemukan ini, ketahuilah bahwa kami terjebak di sini. Tolong bebaskan kami."

Tiba-tiba, udara di sekitar Bram berubah dingin. Suara bisikan yang pernah didengar Amara kini terdengar jelas di telinganya. "Tolong... bebaskan kami..."

Bram merasa tubuhnya kaku, tak bisa bergerak. Sosok bayangan mulai muncul di sekelilingnya, semakin jelas. Wajah-wajah yang ada di foto kini berdiri di depannya, dengan tatapan sedih dan memohon.

"Kami terjebak di sini," ujar sosok pria itu. "Tanah ini terkutuk karena dosa kami. Kami hanya bisa bebas jika tempat ini dibiarkan kosong."

Bram tersadar bahwa ini bukan takhayul semata. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapinya. Dengan air mata berlinang, ia mengangguk pelan. "Aku akan pergi. Aku akan meninggalkan tempat ini."

Begitu ia mengatakan itu, bayangan-bayangan tersebut memudar, meninggalkan Bram sendirian di ruang tamu. Suara bisikan itu lenyap, dan udara kembali hangat.

Bram keluar dari rumah, bertemu dengan Amara yang sudah menunggunya di mobil.

"Kita akan pergi, sekarang," kata Bram dengan suara pelan namun tegas.

Amara memeluknya erat, merasakan kelegaan luar biasa. Mereka meninggalkan rumah itu, dan tidak pernah kembali lagi.

Beberapa bulan kemudian, lahan itu kembali kosong, ditumbuhi rumput liar yang tinggi. Tidak ada yang berani membelinya lagi. Penduduk Sukamaju kembali menghormati tanah itu, membiarkannya tetap kosong, sebagai tempat peristirahatan bagi roh-roh yang terjebak di sana.

Mereka yang lewat hanya bisa berbisik pelan, mengenang keluarga yang pernah tinggal di sana. "Riwayat tanah ini memang kelam," kata mereka. "Lebih baik dibiarkan saja. Biarkan mereka beristirahat dengan damai."

Sumbawa, 18 November 2024

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun