Rumah itu berdiri angkuh di pinggir hutan, dengan pohon-pohon besar yang rimbun seolah menjadi tembok pelindung bagi rahasia-rahasia kelam yang terkubur di dalamnya. Selama bertahun-tahun, rumah besar bergaya kolonial itu kosong. Tak ada yang berani tinggal di sana sejak keluarga yang dulunya menghuni tempat itu menghilang secara misterius. Desa di sekitarnya dipenuhi dengan bisik-bisik tentang arwah penasaran yang gentayangan di rumah tua tersebut.
Malam itu, langit kelabu. Angin dingin menusuk tulang, membawa aroma hujan yang tak kunjung turun. Di desa kecil yang tenang, lima orang remaja sedang berkumpul di depan rumah tua itu. Mereka semua mengenakan jaket tebal, mencoba melawan dinginnya malam, tapi bukan cuaca yang membuat tubuh mereka gemetar. Rasa takut yang tak terkatakan mulai merambati mereka.
"Jadi... siapa yang akan masuk duluan?" tanya Bayu, pemuda berperawakan tinggi yang tampak paling berani di antara mereka. Meski begitu, suaranya sedikit bergetar.
"Apa kita benar-benar harus melakukan ini?" desah Dina, satu-satunya perempuan di kelompok itu. Wajahnya pucat pasi, dan kedua tangannya menggenggam erat jaketnya. Dina adalah orang yang paling tidak setuju dengan ide ini, tapi terpaksa ikut karena dia tidak mau ditinggalkan sendirian di luar.
"Tentu saja! Kita sudah sampai sejauh ini. Jangan bilang kamu takut, Dina," sahut Andi, sambil menyunggingkan senyum sinis. Ia adalah orang yang mengusulkan ide gila untuk menjelajahi rumah itu pada malam hari. Bagi Andi, semua cerita seram tentang rumah tersebut hanyalah omong kosong. Ia ingin membuktikan pada semua orang bahwa tidak ada hantu atau makhluk gaib di sana.
Faris dan Tio, dua anggota lainnya, diam saja. Faris menunduk sambil merapikan tali sepatunya, sementara Tio tampak gelisah, mondar-mandir di tempat. Di antara mereka, Tio adalah yang paling tidak nyaman sejak awal. Sejak kecil, ia sering mendengar cerita-cerita mengerikan tentang rumah itu dari kakeknya. Ada sesuatu yang mengintai di sana, katanya. Sesuatu yang jahat dan lapar.
"Ayo masuk saja. Tidak ada yang akan terjadi. Hanya rumah kosong," kata Andi lagi sambil melangkah maju, tangannya sudah terulur ke arah pintu kayu besar yang tampak rapuh. Pintu itu terlihat tua, catnya terkelupas di sana-sini, dan gagang pintunya berkarat.
Saat Andi membuka pintu, suara derit nyaring menggema di udara malam. Suara itu terdengar lebih keras dari yang seharusnya, seakan-akan ada sesuatu di dalam rumah yang menanti kedatangan mereka.
"Kita masuk," perintah Andi, tanpa menoleh ke belakang. Dengan langkah mantap, dia masuk ke dalam rumah, diikuti oleh yang lainnya. Satu per satu mereka melewati ambang pintu yang gelap, di mana hanya kegelapan pekat yang menyambut mereka.
Rumah itu dingin dan lembab. Bau apek yang menyengat memenuhi udara, membuat mereka mual. Cahaya senter yang mereka bawa berkelap-kelip, memperlihatkan debu-debu yang beterbangan di udara setiap kali mereka melangkah.
"Lihat, kosong," kata Andi dengan nada puas, "Hanya debu dan sarang laba-laba."
Namun, baru saja Andi mengucapkan itu, suara aneh terdengar dari lantai atas. Suara derap kaki yang pelan namun jelas, seolah-olah ada seseorang---atau sesuatu---yang sedang berjalan di atas sana.
Mereka semua terdiam. Dina menggenggam erat lengan Bayu, tubuhnya gemetar. "K-kalian dengar itu, kan?" tanyanya dengan suara bergetar.
"Tentu saja kita dengar," jawab Bayu, berusaha tetap tenang, meski wajahnya tampak tegang.
Andi menelan ludah, sedikit terkejut, tapi dia tidak mau terlihat takut. "Mungkin itu hanya suara tikus. Rumah tua seperti ini pasti penuh dengan hewan pengerat."
Namun, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras, lebih jelas. Derap kaki itu berjalan perlahan, tetapi pasti. Seperti seseorang yang sedang menuruni tangga di ujung koridor.
"A-aku rasa kita harus keluar sekarang," kata Tio dengan suara serak. Jantungnya berdebar kencang. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres sejak mereka memasuki rumah itu.
Tapi Andi tetap keras kepala. "Tidak, kita harus lihat siapa atau apa yang membuat suara itu. Kalau kita keluar sekarang, kita tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Tanpa menunggu jawaban dari yang lain, Andi melangkah maju, menyusuri koridor gelap menuju tangga. Cahaya senternya berpendar lemah di dinding berlapis cat yang sudah mengelupas. Dengan hati-hati, dia mulai menaiki tangga kayu yang berderit di setiap langkahnya.
Yang lain mengikuti di belakang, meskipun rasa takut mulai menguasai mereka. Dina terus berbisik agar mereka berhenti, tapi tak ada yang mendengarkannya. Faris berjalan paling belakang, sesekali menoleh ke arah pintu depan, berharap mereka bisa segera keluar dari tempat ini.
Saat mereka mencapai lantai atas, suasana semakin mencekam. Cahaya senter mereka hanya menerangi sebagian kecil ruangan di depan, sementara bayangan-bayangan gelap menyelimuti sisa ruangan. Di ujung lorong, sebuah pintu kayu tua tampak sedikit terbuka. Dari celah pintu itu, angin dingin bertiup keluar, membawa aroma busuk yang menusuk hidung.
"Mungkin ada seseorang di sana," bisik Andi, lebih kepada dirinya sendiri. Ia melangkah maju, mendekati pintu itu.
Namun sebelum tangannya sempat menyentuh gagang pintu, pintu tersebut terbuka dengan sendirinya. Mereka semua terperanjat, mundur beberapa langkah. Tidak ada yang berada di balik pintu itu---hanya kegelapan yang seakan memanggil mereka masuk.
"Kita tidak seharusnya di sini," kata Tio dengan nada ketakutan. Matanya menatap pintu itu dengan ngeri.
Andi, yang meski ketakutannya mulai merayap, tetap menolak untuk mengakui perasaannya. "Kita lihat saja apa yang ada di dalam," katanya sambil melangkah masuk.
Ruangan itu kosong. Hanya ada jendela besar yang menghadap ke halaman belakang rumah, dengan gorden tebal berwarna merah darah yang terlihat lusuh. Namun, di tengah-tengah ruangan, ada sesuatu yang menarik perhatian mereka. Sebuah meja tua yang penuh dengan tumpukan kertas dan buku-buku tebal, seolah-olah baru saja ditinggalkan oleh pemiliknya.
"Apa ini?" Bayu mendekati meja itu dan mulai membolak-balik salah satu buku yang tergeletak di atasnya. "Ini... buku harian?"
Dia membuka salah satu halaman dan mulai membaca dalam hati. Raut wajahnya berubah seiring dengan setiap kata yang ia baca. "Ini... aneh sekali."
"Apa isinya?" tanya Andi penasaran.
Bayu membacakan salah satu bagian dengan suara pelan, "Aku mendengar mereka lagi malam ini. Suara-suara dari balik dinding. Mereka memanggilku. Mereka bilang mereka ingin aku datang kepada mereka. Aku takut, tapi aku tak bisa berhenti mendengar mereka. Aku tahu, cepat atau lambat, aku akan pergi... ke tempat di mana mereka berada."
Dina merinding. "Siapa yang menulis itu?"
"Mungkin pemilik rumah ini," kata Faris, yang sejak tadi hanya diam mendengarkan. "Ada sesuatu yang tidak beres di sini. Kita harus keluar sekarang."
Andi membuka mulut untuk membantah, tapi saat itu juga, terdengar suara ketukan pelan dari arah dinding di belakang mereka. Ketukan itu perlahan menjadi lebih keras, seperti ada sesuatu yang berusaha keluar dari dalam dinding.
Ketakutan mereka semakin menjadi. Dina mulai menangis, tubuhnya gemetar hebat. "Kita harus pergi! Sekarang juga!"
Namun saat mereka berbalik untuk lari, pintu yang tadi terbuka tiba-tiba menutup dengan keras. Suara dentumannya menggema di seluruh rumah. Mereka semua terperangkap di dalam ruangan itu.
Bayu mencoba membuka pintu, tapi tidak bisa. Pintu itu terkunci, seolah-olah ada kekuatan tak terlihat yang menahannya.
"Buka! Buka pintunya!" teriaknya dengan panik, tapi usahanya sia-sia.
Sementara itu, ketukan di dinding semakin keras dan terdengar lebih cepat. Lantai di bawah mereka mulai bergetar, dan suara gemuruh samar terdengar dari dalam dinding. Seakan-akan ada sesuatu yang besar dan berat sedang bergerak mendekati mereka.
"Tolong! Seseorang! Bantu kami!" Dina berteriak putus asa, namun suaranya tenggelam di tengah-tengah suara aneh yang semakin mengerikan.
Andi, yang selama ini bersikap sok berani, akhirnya terjatuh ke lantai dengan wajah pucat pasi. "Aku... aku tak tahu apa yang terjadi. Ini tidak mungkin."
Lalu, tiba-tiba, ketukan itu berhenti. Sunyi. Tak ada lagi suara, tak ada lagi getaran. Hanya keheningan yang begitu mencekam.
Mereka semua saling berpandangan, bingung dan takut. Namun sebelum ada yang bisa berkata apa-apa, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Dari dinding, muncul sosok hitam yang mengerikan. Bentuknya samar, seperti bayangan yang merayap. Sosok itu bergerak perlahan ke arah mereka, seolah-olah sedang memilih siapa yang akan menjadi korban pertamanya.
"Lari!" teriak Faris, mencoba membuka jendela, tapi sudah terlambat. Sosok itu semakin mendekat, dan ruangan itu dipenuhi oleh hawa dingin yang menusuk tulang.
Satu per satu, mereka semua merasakan kehadiran sosok tersebut di sekeliling mereka. Dan malam itu, tidak ada yang bisa melarikan diri dari rahasia kelam yang menghantui rumah tua tersebut.