Mohon tunggu...
KOMENTAR
Seni Pilihan

Semarang Menyambut Ramadan dengan Tradisi Dugderan.

19 Desember 2024   20:50 Diperbarui: 19 Desember 2024   20:59 23 1
   Di kota Semarang, Jawa Tengah, terdapat sebuah tradisi unik yang bernama "Dudgeran", yang secara spesifik digunakan untuk menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Tradisi ini bukan saja penting bagi komunitas Muslim di Semarang, tapi juga merupakan simbol persatuan dan sukacita yang tak dapat diremehkan. Tradisi Dudgeran pertama kali digelar pada tahun 1881 oleh Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Saat itu, umat Muslim di Semarang kerapkali memiliki perbedaan pendapat mengenai awal masuknya bulan Ramadan. Untuk menengahi silang pendapat tersebut, Bupati Aryo Purboningrat menghelat sebuah perayaan yang bertujuan untuk menyeragamkan awal bulan Ramadhan. Perayaan ini dimeriahkan dengan tabuhan bedug dan bunyi petasan yang menjadi asal nama "Dudgeran". Kata 'dug' diambil dari bunyi bedug masjid yang ditabuh berkali-kali, sedangkan kata ‘der’ berasal dari bunyi meriam atau ledakan petasan yang dinyalakan bersamaan dengan tabuhan bedug. Tradisi Dudgeran biasanya dilaksanakan sekitar 1–2 minggu sebelum bulan Ramadan tiba. Prosesi ini terdiri dari beberapa rangkaian acara yang tak boleh dilewatkan. Acara perdana adalah Pasar Malam, yang bertujuan untuk memeriahkan budaya yang sudah berlangsung ratusan tahun ini. Di pasar malam ini, beraneka barang dijual seperti makanan dan kebutuhan rumah tangga. Acara ini sangat dinamis dan membuat suasana lebih meriah. Kirab Budaya Warak Ngendok
   Setelah Pasar Malam, tradisi Dudgeran dilanjutkan dengan prosesi pengumuman awal bulan Ramadhan. Acara ini diakhiri dengan kirab budaya Warak Ngendok, yang merupakan hewan mitologi perpaduan antara kambing pada bagian kaki, naga pada bagian kepala dan buraq di badannya. Makna dari maskot ini adalah warak yang sedang bertelur, yang di masa lampau menjadi simbol kesucian dan harapan pahala di hari lebaran. Puncak perayaan tradisi Dudgeran adalah ketika masyarakat berkumpul di Alun-Alun Masjid Kauman. Di tempat ini, kata sambutan dan pengumuman awal bulan Ramadhan disampaikan oleh Bupati Semarang dan Imam Masjid Besar. Setelah pengumuman, masyarakat kemudian melakukan doa bersama-sama untuk memohon ampunan dan perlindungan Allah SWT. Tradisi Dudgeran tidak hanya sekedar perayaan, Dugderan juga memiliki makna filosofi yang mendalam. Bunyi bedug yang dipukulkan sebanyak 17 kali digunakan sebagai penanda awal bulan puasa, sedangkan bunyi meriam yang diiringi sebanyak tujuh kali merepresentasikan kebahagiaan di akhir bulan puasa dan datangnya Idul Fitri. Letusan mercon dan kembang api sebagai penutup acara merupakan simbol kebahagiaan dan sukacita yang dirasakan oleh masyarakat Semarang. Tradisi Dudgeran telah menjadi warisan budaya tak benda Indonesia yang patut dilestarikan. Tradisi ini bukan sekadar pesta menyambut Ramadan, juga menggambarkan bagaimana pemerintah dan warga guyub bersatu demi menjaga kesucian bulan Ramadhan. Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu menegaskan bahwa tradisi Dudgeran merupakan warisan leluhur yang wajib dilestarikan agar generasi masa depan masih dapat merasakan sukacita dan makna rfilosofi di balik acara ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun