Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Akhir dari Dimensi Sunyi, Semarang yang Kunanti

18 Agustus 2013   08:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:10 249 1

Sendiri berjuang melintasi panasnya jalanan di jalur Pantura Jawa tengah, telah kulintasi kota-kota dari Jatinangor - Cirebon hingga Berebes - Pemalang dengan berjalan kaki seorang diri. Aku tak pernah meragukan, disaat aku merasa sendiri dalam ruang atau mungkin dimensi yang berbeda dengan kebanyakan orang. Disitu aku akan menjadi kuat, terus kuat dan selalu kuat. Ini semua telah terbukti, betapa lemahnya jika terlalu lama bercampur dengan kebanyakan orang. Tak ada yang abadi memang selain tuhan, namun kesendirian pula mempunyai bayangan akan keabadian. Apa yang diharapkan selama ini terhadap kebanyakan orang, justru hanya waktu menguatkan diri yang terbuang. Aku percaya, sendiri akan menguatkan hati dan karakter kepribadian, karena dalam dimensi yang sunyi, aku akan kuat dan dapat merenungkan segala kejadian. Terimakasih, Tuhan.

Siang malam hanya orang tak kukenal yang kutemui. Telapak kakiku melepuh, betis bengkak nan berurat, bau badan yang menyengat karena keringat yang membasuhi baju hingga celana dalam, dan bau mulut yang disebabkan oleh bekas muntah karena pusing akibat teriknya matahari. Aku memutuskan beristirahat di pos polisi, tepat di samping gerbang “Pemalang Ikhlas”.

Menyapa pak polisi yang sedang sendirian di pos dan menceritakan perjalananku, lalu aku disuruh mandi di toilet sebelah pos polisi, pak polisi bernama Tohirin ini langsung membelikan aku makan, air mineral dan es buah setelah aku mandi. Selagi istirahat, pak polisi ini curhat. Lagi-lagi aku hanya bisa menjadi pendengar yang baik. Ya, rintihan pak polisi. Pak Tohirin telah tiga belas tahun menjadi polisi, dilema katanya menjadi polisi di Pemalang. Disini banyak teroris seperti Dulmatin cs, oleh karena itu, banyak razia kepolisian disini. Namun masyarakat menganggap polisi hanya mencari uang selepetan saja, tapi nyatanya banyak motor yang hilang telah kembali pada pemiliknya. Juga mendapatkan dua truk barang yang berisikan bahan peledak. Namun, tanggapan masyarakat berbeda dari fakta yang di dapatkan polisi. Disela obrolan, tak lama kemudian datang polisi yang lain memberitahukan bahwa akan ada iring-iringan kendaran kejaksaan yang akan melintas melewati jalur ini. Pak Tohirin pun langsung bersiap-siap mengatur lalulintas. Akupun tertarik untuk merekam moment itu dengan kamera sederhanaku.

Matahari mulai terbenam. Saya ingin melanjutkan perjalanan, namun saya tidak mampu lagi. Saya bimbang. Teruskah saya berjalan kaki mencapai obsesi diri atau balik kanan ke Jatinangor dengan hasil sampai disini. Saya bimbang. Karena sangat kelelahan hingga hampir pingsan dan telah muntah di jalan. Saat itu, aku meminta saran kepada pak Tohirin. Dia menyarankan aku agar tetap ke Semarang, namun dengan cara yang lain. Yaitu dengan menumpang truk yang tujuannya melewati Semarang. Lalu aku bertanya, “bagaimana caranya saya dapat tumpangan, pak?”. “tenang, biar saya yang meminta kepada supirnya untuk menaikkan ade” ujar pak Tohirin.

Dengan segala pertimbangan, aku ikuti saran pak Tohirin. Akupun langsung berkemas dan memastikan tidak ada barang yang tertinggal di pos polisi. Lalu kami menyebrang jalan. Tak lama kemudian, lewat sebuah truk yang membawa muatan berat. Lambaian tangan pak Tohirin menghentikan truk tersebut. “Ada apa pak?” kata kenek truk, Lalu pak Tohirin berkata “truk ini mau kemana?”. “ke Surabaya pak” jawab kenek truk. “tolong antarkan anak ini hingga Semarang” ujar pak Tohirin. Aku berterimakasih dan mengucapkan salam kepada pak Tohirin yang telah berbaik hati kepadaku, lalu aku menaiki truk tersebut dan duduk ditengah saat itu, diantara pak supir dan kenek truk. Hanya basa basi sesaat yang terucap ketika diperjalanan, memperkenalkan diripun hingga lupa, seakan mulut ini terkunci untuk bercakap-cakap. Mata ini kian berat, akupun tertidur beberapa kilometer dalam perjalanan tak lama setelah menaiki truk, kebisingan jalanan tidak mempengaruhi kenikmatan tidurku, hingga akhirnya aku dibangunkan oleh supir truk itu, “de, bangun, kita istirahat dulu di Alasroban” ujar supir truk. “oh, iya pak” jawabku dengan lemas. Aku baru pertama kesini, yang aku tahu tentang Alasroban adalah Bajing luncat, sekelompok orang yang mencuri muatan bahkan truk ekspedisi.

Aku diajak untuk menikmati secangkir kopi hitam dan makan malam secara cuma-cuma alias gratis. Senang juga gratis, selama perjalananku, aku hanya membeli makan malam satu kali di Berebes. aku hanya membawa uang dua ratus ribu, seratus ribu untuk pulang ke Jatinangor dan sisanya untuk membeli makan, air mineral serta rokok yang harus ada untuk menemani perjalananku. Kisah perjalanankulah yang aku jual agar mendapat keramah tamahan dan keakraban dari setiap orang yang aku temui. Disini aku baru memperkenalkan diri kepada supir truk dan keneknya. Aku bertanya kepada supir perihal namanya, dia adalah pak Sabar, umurnya empat puluh lima tahun, dia orang Surabaya dan dua puluh tahun sudah dia berprofesi sebagai supir truk dengan berbagai muatan barang. Pengalaman dia begitu banyak mengenai truk ekspedisi, salah satunya tentang muatan barang, dia pernah membawa truk bermuatan rokok, susu kaleng dan barang-barang lainnya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi namun mudah untuk di bobol, tidak ditemani kenek dalam perjalanannya, melainkan seorang aparat bersenjata lengkap yang disewa oleh perusahaan yang bersangkutan. Namun kali ini dia hanya membawa bahan matrial, jadi tidak dikawal.

“kirain polisi tadi mau minta uang, udah disiapin duit sepuluh ribu padahal, taunya ade mau numpang” kata pak sabar. “wah, emang disitu sering pungli pak?” tanyaku. Lalu pak sabar menjawab “sering banget de, hampir tiap lewat, bukan saya aja yang pernah ngerasain, tapi semua truk ekspedisi kayanya pernah ngerasain pungli di tempat itu dan dimana-mana, apalagi akhir bulan, kecuali truk yang ada aparatnya”. Aku hanya tersenyum, apakah ini yang dinamakan ironi. Aku tak ingin larut dalam berbagai macam opini yang menyelimuti pikiran ini, sekedar cukup tahu tentang itu.

Aku bosan di dalam warung kopi, aku keluar untuk memastikan ranselku aman di dalam truk. Aku memutuskan untuk merekam dan memotret tempat ini sebagai kenang-kenangan, ditemani oleh ikhsan, kenek dari truk yang aku tumpangi. Setelah itu, aku berselonjoran diatas truk. Ternyata ini yang namanya Alasroban, kiri kanan hutan, hanya ada beberapa rumah, warung kopi dan kadang dihiasi kemacetan jalanan.

Tak lama kemudian kami melanjutkan perjalanan. Tubuhku kembali bugar, kemacetan jalanan tak terasa lama karena kami terus berbincang selama diperjalanan. Ternyata banyak orang yang pernah menumpang truk semacam ini kata pak Sabar. Kebanyakan orang menumpang karena tidak ada uang untuk kembali pulang ke kampung halaman. Hanya saja dia pilih-pilih untuk memberikan tumpangan, karena aku diminta oleh pak Tohirin yang berprofesi sebagai polisi, jadi pak Sabar tidak terlalu mengkhawatirkanku. Maklum saja, banyak penipu ulung dijalanan. Tak jarang truk dirampas, seseorang meminta tumpangan, selang beberapa kilometer dia minta diturunkan dan saat itu juga datang orang bergerombol untuk mengambil alih secara paksa truk tersebut. Asik berbincang, aku disarankan turun di persimpangan Kalibanteng, karena tempatnya setrategis ke arah kota Semarang.

Begitulah manusia. Sangat beragam tak terduga. Manusia tinggal diberbagai tempat yang mempunyai banyak aturan. Ditakdirkan hidup di tempat yang penuh kenyamanan maupun penderitaan. Tempat berkembang pesatnya berbagai pemikiran, Juga tempat tumbuh dan berkembangnya manusia dalam konflik ataupun kebersamaan. Tempat yang lebih darimutiara-mutiara yang mahal nilai keindahannya. Adalah Indonesia, tempat tumbuh berkembangnya cinta dan derita.

Inilah akhir dari sebuah tujuan perjalanan panjang, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, melihat Indonesia kecil dengan berjalan kaki dalam dimensi yang sunyi. Kawan, aku tiba di Semarang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun