Aku mengutuk perbuatanku saat itu, membolehkan ia memotret! Aku menyadari, perbuatan baik tidak selamanya mendatangkan kebaikan. Buktinya, Shella salah paham berujung perpisahan.
"Berikan penjelasan sejujurnya, yakin ia memahaminya," saran temanku.
"Bagaimana aku menjelaskan? Ia tidak menjawab teleponku," jawabku gundah.
"Jika kamu mencintainya, cari dan temukan dia. Jelaskan semuanya," lanjut temanku.
Saran itu membuatku memutuskan untuk menemuinya di sini. Aku tahu, ia kerap menghabiskan waktunya di kafe ini. Aku memantapkan hati untuk menemui.
Siang ini hujan. Cukuplah menciptakan dingin. Meskipun begitu, suasana romantis terasa, khusus bagi yang duduk berpasangan. Nah, aku masih meringkuk dengan kesepian yang merejam. Bayangan wajahnya terekam jelas. Kursi tempatku duduk pun menjadi bagian kenangan yang indah. Di sudut kafe ini, aku dan Shella sering bercengkrama. Menghabiskan waktu akhir pekan, melepas kerinduan setelah seminggu berkabar lewat vidio call-an.
"Aku selalu di sini saat akhir pekan," katanya kala itu.
Aku tersenyum mengingat semua kenangan itu. Berharap hari ini ia datang. Aku pastikan menjelaskan semuanya untuk menyudahi kegundahan yang melanda.
"Maaf, meja ini sudah direservasi temanku," suara itu mengagetkan lamunanku.
Aku menoleh dan terperangah. Aku menatapnya. Mencoba mengumpulkan ingatan saat kejadian di taman. Ekspresi kegelisahan memenuhi wajahnya.
"Ada apa, Tania?"
Suara itu familiar bagiku. Shella nampak kaget melihatku.
"Toni? Kamu di sini?" Shella gelagapan.
"Teman kamu?" tanyaku.
Shella terdiam. Aku menyimpulkan kejadian ini, seperti di film-film. Perjumpaan di taman sore itu bukanlah kebetulan.