Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana Pilihan

Fabel: Monyet dan Pak Tani

8 Oktober 2024   21:22 Diperbarui: 8 Oktober 2024   21:28 78 10


            "Jangan gegabah," tegur ibunya dengan lembut. Monyet kecil, bernama Millo itu tidak menjawab. Ia masih menikmati butiran padi di tangannya.
           "Aku sedang berbicara denganmu, Millo," kata ibunya lagi.
           "Aku tahu," jawabnya sambil menikmati makanannya.
            "Aku melarangmu untuk tidak ke sawah itu siang hari," kata ibunya.
            "Ah, Ibu, aku sudah besar. Kenapa Ibu masih mengaturku?"
           "Bukan mengatur, hanya memperingatimu," kata sang ibu.
            Millo masih asyik menikmati makanannnya. Sang ibu duduk merenung akan sikap anaknya yang gegabah. Tak berapa lama, ayahnya datang dengan nafas yang tersengal.
           "Pak Tani memasang jerat di sekeliling sawahnya,"  katanya diikuti hembusan nafas berat.
           Ibu tambah khwatir akan situasi sulit itu. Di satu sisi, persediaan makanan habis. Di sisi lain, khwatir, Millo anak tertua yang gegabah itu, takut terperangkap jerat.
          "Millo, esok jangan lagi ke sawah Pak Tani. Kita telusuri hutan saja untuk mencari makanan," usul ayah.
          "Hutan mana, Ayah? Tidakkah Ayah lihat gunung itu gundul, sebagiannya dibakar oleh manusia?" jawab Millo.
          "Ya, Ayah tahu, barangkali ada makanan tersisa di sana, di balik gunung," jawab ayah.
          "Di sana makanannya melimpah, hanya saja kita bisa tertangkap melewati jalan terbuka," jawab Millo.
           Ayah terdiam memikirkan sesuatu. Millo ada benarnya. Malam semakin larut. Perbincangan terhenti saat kantuk menyerang.

#

           Pagi sekali, mentari masih menggeliat. Ia melangkah pelan menuju mulut goa. Ayah, ibu, adik, dan yang lain masih menikmati tidurnya. Millo bergegas mencari makanan. Sawah Pak Tani, itu yang ada dipikirannya. Ia tahu risikonya, hanya saja berdiam diri tidak menghasilkan apa-apa. Ia sayang keluarganya, tak tega mati kelaparan. Hutan sudah gundul, bahan makanan menipis. Sawah Pak Tani, tumpuan dan harapa kini.
          "Hanya orang-orangan sawah tipuan, Pak Tani," gumamnya lirih di pinggiran sawah.
           Millo memperhatikan langkahnya. Ada beberapa jerat yang dipasang berjejer. Jerat tali, jerat kandang, umpan beracun, mampu Millo lewati. Ia sempat terkecoh dengan sepotong roti di pematang sawah. Ia menahan nafsunya. Ia tahu, roti itu sudah dicampur racun. Ia sempat membauinya. Tidak ada aroma racun. Sempat terpikirkan untuk mengganjal lapar, hanya saja ada rasa takut. Ia memilih berlari kecil menuju petak sawah dengan padi yang subur. Ia cekatan mematahkan tangkai padi dalam jumlah banyak. Ia bergegas pulang sebelum Pak Tani datang. Ia melangkah hati-hati.
           "Guk...guk...," suara anjing menggonggong.
           Millo menarik nafas mencoba untuk tidak panik. Suara anjing itu makin terdengar jelas dari berbagai sisi. Ia terjepit. Panik melanda. Ia erat memegang padi yang baru saja diambilnya. Anjing-anjing itu terus mendekat. Pak Tani tampak senang kinerja anjingnya yang mampu mendeteksi keberadaan Millo. Tidak ada yang bisa diperbuat selain menyerah. Millo sempat mengucapkan maaf kepada ayah ibunya. Ia memang gegabah! Seekor anjing dengan tubuh tambun, meloncat hendak menerkam. Millo menghindar, namun gigi anjing itu sempat melukai tubuhnya. Ia makin gemetar.
           "Kraa...kraa...," suara monyet-monyet berdatangan dalam jumlah banyak.
            Empat ekor anjing kewalahan memberi perlawanan. Pak Tani memilih kabur. Monyet-monyet itu garang menyerang anjing-anjing Pak Tani. Millo hanya bisa menyaksikan betapa kompaknya keluarga monyet. Ia kemudian berlari menghindar sambil memperhatikan langkahnya. Padi masih digenggammnya. Tak berapa lama, suara letusan senjata api mengaung. Pak Tani dan beberapa kawannya menembak. Monyet-monyet itu kabur kembali ke goa.

29 Agustus 2024

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun