Semua permintaanya, aku turuti. Ketika teman-teman menganggap aku bucin, tentu aku menolaknya. Aku pikir sedang menunjukkan besarnya cintaku dengan menuruti keinginan pujaanku, Vina. Dalam kekurangan (isi dompet), aku tetap mengiakan semua keinginanannya. Apalagi permintaannya sebatas pulsa, skincare, cemilan, dan sesekali parfum. Barang-barang ini mudah didapatkan di kios sebelah, modal utang.
"Bang, belikan aku pulsa ya, paketan internetku habis . Please!" chat-nya diikuti emoji love.
Tentu aku bahagia, sebab pikirku sederhana: ia meminta tidak kepada sembarangan orang, tentu karena aku dan dia satu rasa, yaitu rasa sayang yang berbuah cinta nantinya!
"Bang, pulsa 100 ya," kataku sambil memberikan nomor ponsel.
"110 ribu, Bang," kata Riko, anak Pak Diki, pemilik kios langgananku.
"Catat ya," kataku senyum-senyum.
Riko hanya mengerutkan dahi. Itu kesekian kalinya minggu ini aku utang. Aku segera menghubunginya, mengabarkan bahwa permintaannya sudah kuturuti.
"Ting...ting...," nada sambung telepon berbunyi.
Panggilan tak terjawab. Aku mengiriminya pesan via whatsapp. Centang biru, tapi tak dibalas.
"Eh, Dika, lama tak jumpa," Defry, teman SMA-ku menyapa.
"Wah, sehat kamu? Ada apa kok bisa di sini?" tanyaku.
"Tu," katanya sambil menunjuk ke arak motor kawasakinya yang diparkir agak jauh dari kios.
"Vina, teman SMA kita dulu. Masa nggak tahu? Kan tetanggan? Aku menjemputnya," kata Dika.
Aku gelagapan. Dan memilih menyudahi basa-basi dengan Dika.
"Aku pamit ya, ada keperluan di rumah," kataku.
"Bang Yanto, jangan lupa ya utangnya dibayar," teriak Riko.
22 April 2024