"Aku pergi," katanya.
Aku tak mungkin menahan langkahnya. Aku pikir itu pilihan yang bagus, meski harus merelakan sepi menggrogoti hati.
"Kembalilah jika waktunya tiba," bisikku ke telinganya sebelum pelukan perpisahan itu usai.
Aku mengantarnya ke depan pagar rumah. Angkutan umum sudah menunggunya. Aku memilih tidak menatap kepergiannya. Aku takut air mata semakin membanjiri hariku. Aku bergegas masuk, menuju kamar mandi, membasahi wajahku yang sembab.