Aku melihatnya tersenyum padaku. Aku memutuskan untuk mendatanginya. Aku kesampingkan malu. Aku langkahkan kaki, sekalipun sedikit gemetar. Ia memandangku, menampakkan gigi-giginya yang bercahaya. Ia lembut menyapaku.
"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya.
"Ya," jawabku pelan.
Ia menyiapkan kertas dan pulpen, hendak mencatat keluhanku. Aku terus memegangi dada kiriku.
"Apa keluhannya? Aku pastikan obatnya tersedia," katanya.
Aku menatap papan nama di bajunya. Terlihat jelas namanya, Putri Cahaya, S. Farm. Apt. Aku kagum, nama sangat mewakili kecantikan dan keramahannya. Ia menatapku lagi, ingin aku segera bicara. Aku meraih tangannya yang mulus, menempelkannya di jantungku.
"Getaran ini tak berhenti. Adakah obatnya?" kataku.
Wajahnya memerah. Ia nampak malu. Sedangkan aku, semakin berani menatap wajahnya yang bening memesona. Aku seketika terperanjat, ketika pria beruban itu menghampiriku.
"Maaf, dia sakit jiwa. Ia bukan apoteker," jelasnya.
Aku terpaku menatapnya yang diseret seorang wanita muda dan seorang ibu.
"Kecelakaan menjelang semester akhir meruntuhkan mimpinya menjadi apoteker," jelasnya lagi.
Aku masih terpaku.
"Ada yang bisa dibantu?" tanya perempuan muda yang kulihat barusan.
Aku menggeleng dan berlalu.
09 Nov 2023