“Mariam terkejut ketika menyadari burqa yang dikenakan membuatnya nyaman. Pakaian ini sama saja dengan jendela searah. Di dalamnya, dia menjadi pengamat, terhalang dari tatapan curiga orang-orang asing”
Kutipan diatas hanya kisah rekaan Khaled Hosseini dalam novelnya A Thousand Splendid Suns. Tentang Mariam yang mendapat paksaan dari suaminya agar menggunakan burqa, tapi akhirnya justru merasakan nyaman.
Walau tidak ada seorangpun yang memaksa saya memakai hijab, ada benang merah antara kisah Mariam dengan apa yang saya alami. Saya memakai hijab tanpa memahami esensinya dan menemukan kebahagiaan sesudahnya. Ada rasa nyaman, berharga dan terlindung dari pandangan mata tak senonoh.
Dilahirkan dan besar dalam keluarga beragama Khatolik, membuat saya tidak mengerti mengapa seorang perempuan harus berhijab. Bahkan ketika memutuskan memeluk agama Islam, saya mempunyai keyakinan bahwa seorang berhijab haruslah penganut agama Islam yang kafah. Bukan seorang mualaf yang terbata-bata menghafal surat dan belajar mengaji. Tatkala itu tahun 1989, buku pelajaran sholat masih sulit ditemukan di toko-toko buku besar, sehingga saya membeli buku “Tata Cara Sholat” seharga Rp 1.000,00 di pinggir jalan. Begitu juga buku cara membaca huruf Al Quran, saya menemukan dan membelinya di bursa buku murah Palasari, Bandung.
Sekitar 15 tahun lamanya sendirian terbata-bata mengaji dan sholat, sebelum akhirnya memutuskan mengikuti pengajian Az-Zahra. Sebuah pengajian yang semula merupakan kumpulan ibu-ibu arisan. Mayoritas terdiri dari orang tua siswa sekolah Taruna Bakti, tempat anak-anak saya bersekolah. Banyak kisah menggelikan terjadi disini, penyebabnya kenaifan saya tentang Islam termasuk keputusan mencoba berhijab. Berhijab untuk pertama kalinya.
Tidak mudah, karena tidak ada tempat bertanya di keluarga. Hubungan tetangga di kompleks perumahan yang cenderung nafsi-nafsi juga tidak banyak membantu. Karena itu pegawai toserbalah yang membantu mencarikan baju muslim dan kerudung lengkap dengan asesoriesnya. Saya ingat baju biru dan kerudung biru yang nyaman.
Ya sangat nyaman dipakai. Tidak panas seperti bayangan semula sehingga saya ketagihan dan membongkar lemari baju untuk menemukan baju lainnya yang memungkinkan. Semua baju lengan pendek yang tak pantas langsung masuk kardus untuk didonasikan.
Sesuatu sensasi yang tidak mudah dilukiskan. Bagaimana mungkin berpakaian tertutup di cuaca panas bisa menimbulkan rasa nyaman? Apakah itu yang dinamakan hidayah seperti halnya ketika saya memutuskan memeluk agama Islam? Entahlah. Perasaan nyaman itu bertambah sesudah saya mendapati bahwa saya merasa terlindungi. Seolah ada garis tipis yang melindungi saya ketika berada di dalam kerumunan orang banyak. Ada perlindungan tak terlihat ketika bertemu kaum pria yang bukan muhrim.
Tapi pemahaman bahwa seorang muslimah harus berhijab baru saya ketahui kemudian ketika pengajian mengadakan pagelaran baju muslim. Designernya, Eni Kosasih membagikan kertas fotocopy berisi firman Allah SWT berikut ini:
“Hai nabi katakanlah kepada istri-istri mu, anak-anak perempuan mu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al Ahjab : 59).”
Dan :