Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Dewi Tapa Cireundeu

23 Desember 2012   13:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:09 1838 13

Antrian warga mengular, kaum perempuan berkebaya putih sedangkan kaum lelakinya mengenakan pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala khas. Dengan tertib satu persatu sungkem pada sesepuh yang duduk melingkar di Balai Adat, pusat prosesi Seren Taun, 1 Sura Tahun Saka 1426 atau 8 Desember 2012 silam. Mereka adalah masyarakat adat Cireundeu, salah satu komunitas adat etnis Sunda yang tinggal di Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Kurang lebih 14 km dari Kota Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat.

Satu Syura bagi warga Cireundeu ibarat Lebaran, mereka menggunakan baju yang terbaik untuk mengikuti ritual Seren Taun yang dipimpin pimpinan Kampung  Adat Cireundeu, Abah Emen Sunarya. Kemudian sungkeman dan dilanjutkan makan-makan lazimnya pesta. Sesudah itu barulah mereka bersama-sama mengunjungi kuburan leluhur.

Sebagaimana umumnya komunitas kampung adat, masyarakat adat Cireundeu masih mengagungkan kearifan lokal dengan cara menjunjung tinggi 4 unsur penting alam yaitu tanah, air, matahari dan udara. Empat  pita berbeda warna yang menjuntai diatas Balai Adat menunjukkan keempatnya. Berkat perilaku yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat Cireundeu mampu membangun kemandirian pangan. Di embargo panganpun mereka tak kan goyah karena bahan pangan mereka sehari-hari adalah singkong.

Ada dua macam singkong yang ditanam masyarakat adat Cireundeu yaitu singkong karikil dan singkong “biasa” (mereka menyebutnya demikian, pen). Singkong “biasa”  adalah singkong yang  beredar di pasaran sebagai bahan baku tape singkong atau dimasak menjadi getuk, singkong goreng, comro dan lain-lain. Sedangkan singkong karikil diolah menjadi  tepung aci (bahasa Sunda: tepung tapioka). Setiap kwintal singkong karikil menghasilkan 30 kg tepung aci dan menjadi sumber pendapatan mereka. Sedangkan sisa hasil perasan singkong dikeringkan, diolah menjadi rasi (nasi singkong) dan menjadi bahan makanan utama sehari-hari.

Selain sebagai bahan makanan pokok, rasi juga diolah menjadi tepung. Tepung rasi merupakan  bahan utama pembuatan kue eggroll berbagai rasa semisal rasa coklat, pandan, caramel  yang dikemas rapi dalam toples plastik. Produksi mereka tidak hanya eggroll, ada dendeng  yang terbuat dari kulit singkong. Sungguh kreatif. Bagaimana rasanya?  Mirip dendeng sapi asli. Eggroll dan dendeng singkong umumnya dibeli oleh para pendatang sebagai oleh-oleh khas Dewitapa Cireundeu.

Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewi Tapa) Cireundeu memang patut dikunjungi oleh setiap warga Indonesia yang ingin mengenal kekayaan alam dan budaya Nusantara. Tidak hanya unggul dalam ketahanan pangan, Dewitapa Cireundeu memiliki beragam seni pertunjukan: kesenian angklung buncis, karinding dan wayang golek. Pertunjukan ini biasanya digelar setelah prosesi Seren Taun, sehari semalam.  Masyarakat Cireundeu berpesta dan dengan tangan terbuka lebar mengajak siapapun yang datang untuk ikut bergembira dan makan  bersama mereka.

Apa makanan yang disajikan? Tentu saja rasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya yaitu opor ayam, sambal goreng, tumis buncis dan lain-lain.  Mirip pesta umumnya, wargapun bergembira ria. Tidak ada kisah malnutrisi disini, walau kadar karbohidrat, lemak dan protein singkong dibawah beras. Tetapi karena ditunjang lauk pauk  sepadan maka warga hidup sehat, terlihat dari postur tubuh dan wajah yang berseri-seri. Mengonsumsi rasi berarti juga terhindar dari bahaya  obesitas.

Sebetulnya kemandirian Dewitapa Cireundeu tidak hanya singkong, tatkala menapaki jalan menuju kampung adat Cireundeu akan terlihat  semak  tanaman Ganyong di kanan –kiri jalan. Ganyong (Canna edulis Kerr) memiliki umbi yang bisa diolah dan disantap sebagai makanan pokok. Tanaman  Ganyong memang layak ditanam disepanjang jalan sebagai tanaman hias karena bunganya yang cantik berwarna merah dan kuning , indah sekali. Terlebih tanaman ini tidak memerlukan perawatan khusus, persis seperti tanaman singkong. Tanam bibitnya dan panen hasilnya ketika sudah cukup umur. Bahkan cukup “tahan banting” di musim kemarau, tidak memerlukan air sebanyak tanaman padi.

Umbi ganyong mudah dimasak. Hasil penelitian Badan Bimas Ketahanan Pangan Ciamis menunjukkan bahwa tekstur ganyong mudah dibuat menjadi mi, kue-kue kering dan kue basah seperti brownies. Dikukus sebagai teman minum tehpun enak dan manis rasanya. Masyarakat di beberapa daerah di Indonesia memasak ganyong menjadi bubur tatkala musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen.

Selain ganyong, warga Cireundeu menanam talas , ubi dan umbi-umbian lainnya. Beragam umbi-umbian tersebut bersama singkong merupakan bagian sesajen upacara Seren Taun . Juga terdapat buah-buahan hasil panen yang  dikumpulkan di Balai Adat untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas anugerah hidup. Mereka bersyukur bahwa dari alam ada inti bumi yang menjadi sumber kehidupan.

Itulah kearifan lokal yang mereka yakini, kearifan lokal yang tercipta karena hubungan baik dengan alam. Di setiap kesempatan, mereka mengheningkan cipta untuk berterimakasih pada Sang Khalik yang telah memberikan tanah yang subur, air berasal dari sumber air yang senantiasa mengalir, udara yang bersih dan matahari yang selalu memancarkan sinarnya.

Mereka juga bersyukur atas kelimpahan pangan yang didapat dari alam. Kelebihan pangan selalu disimpan dalam leuit (Bahasa Sunda:  lumbung pangan).  Rasa syukur atas ketersediaan pangan juga ditunjukkan dengan  memegang teguh tradisi mengonsumsi pangan non beras. Apabila “terjebak” harus menyantap hidangan non beras dalam suatu perhelatan diluar komunitasnya, maka mereka “meminta izin” dalam hati atau  berkomat kamit layaknya berdoa.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun