Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Asyiknya Menjadi Relawan

6 Desember 2012   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:06 1057 11

Menjadi relawan? Wuaduh ,……….. mungkin  terbayang bencana alam yang datang bertubi-tubi mendera Indonesia dan kita berangkat kesana sebagai relawan. Pasti perlu perjuangan ekstra untuk mencapai daerah bencana. Disana tidak ada air untuk mandi, tidak ada makanan enak. Masakan yang tersedia umumnya berasal dari dapur umum. Atau bahkan mungkin jadwal makan terlewatkan karena sibuk membantu korban bencana alam. Tidurpun dimana saja. Di tenda pengungsian atau mungkin  di rumah penduduk yang masih selamat.

Tapi ternyata ada banyak peran relawan yang dapat kita lakukan tanpa harus meninggalkan tugas utama : belajar , bekerja dan khusus untuk saya, menjadi ibu rumah tangga ^-^.  Tidak terbayangkan saya harus berangkat jauh yang mengakibatkan kebutuhan keluarga di rumah terabaikan

Porsi relawan yang saya pilih tidak hanya sesuai dengan waktu tetapi juga minat, yaitu seputar lingkungan hidup. Beruntung  di sekitar tahun 2008, saya berkenalan Yayasan Pengembangan  Biosains dan Bioteknologi (YPBB). Organisasi nonprofit ini professional dan konsisten mempromosikan  serta  mempraktekan pola hidup selaras dengan alam untuk mencapai kualitas hidup yang baik dan berkelanjutan.

Cukup membingungkan mungkin membayangkan pola hidup selaras dengan alam itu bagaimana. Karenanya saya mengikuti beberapa pelatihan yang diadakan YPBB dan bergabung menjadi relawan dengan tujuan:

  • Bertemu dengan anggota masyarakat lainnya yang peduli terhadap lingkungan hidup, sesuai dengan waktu dan kemampuan yang saya miliki.
  • Berkesempatan mengembangkan kapasitas diri dalam pelestarian lingkungan hidup.
  • Ikut kegiatan seru mereka.

Ya menjadi relawan YPBB ternyata seru, tidak sekedar bekerja sesuai TOC tetapi kita juga bisa mengaplikasikan apa yang kita mampu dan ketahui dalam suatu kegiatan. Misalnya kegiatan Kereta Kota. Sesudah briefing,  YPBB hanya menyiapkan banner, peralatan pendukung zerowaste lifestyle dan game. Game  bertemakan lingkungan hidup ini sebenarnya mengasyikkan, tetapi warga yang melihat biasanya ragu. Mereka lalu lalang di seputar Taman Cilaki, tempat berlangsungnya acara Kereta Kota untuk olah raga dan jajan makanan. Apapun kegiatan dan produk yang ditampilkan biasanya ujung-ujungnya duit, sehingga mereka heran  melihat ajakan edukasi gratis . Tugas  relawanlah membujuk agar mereka mau mencoba game dan memperkenalkan aksi pelestarian lingkungan dengan bantuan beberapa sarana yang disiapkan relawan lainnya.

Sebetulnya relawan yang mengikuti kegiatan semacam ini mendapat manfaat tambahan. Dia tidak sekedar mengetahui permasalahan di seputar rumahnya tetapi merambah hingga ujung penjuru kota. Semacam feedback yang sulit  diketemukan tanpa interaksi anggota masyarakat lain.

Saya juga berkesempatan mengikuti survey yang diadakan YPBB mengenai perilaku masyarakat dan timbulan sampah di daerah tersebut. Pengalaman kerja yang menyenangkan sebagai interviewer dan supervisor di Survey Research Indonesia mendorong saya mengikuti program ini. Dimulai dengan pembahasan kuesioner, minggu berikutnya kami terjun ke lapangan. Tepatnya di perumahan Griya Cempaka Arum, suatu lokasi yang berdekatan dengan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) kota Bandung.

Proyek PLTSa yang belum disosialisasikan dengan baik menimbulkan keresahan pada penduduk yang bemukim disekitarnya. Tetapi berdampak positif, yaitu mereka mau memisah sampah organik  dan anorganik. Semua sampah organik dimasukkan dalam komposter komunal yang terletak di lahan ketua RW setempat. Ternyata bisa. Praktek pemisahan sampah bisa dilakukan dari rumah asalkan system berjalan. Banyak kisah dari anggota masyarakat yang saya dapatkan. Umumnya positif. Mereka memuji dan menyukai kebijakan ketua RW yang dinilai “muda dan aspiratif” ini. Hmm….rupanya suatu kebijakan apabila dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan konsisten akan berbuah manis.

Selain program yang langsung berinteraksi dengan anggota masyarakat luas, YPBB juga kerap mengadakan nonton bareng. Tentang air, tanah, perubahan iklim dan semua yang berhubungan dengan lingkungan hidup. Kesempatan ini membangun silaturahmi antar relawan. Karena seusai menonton film, kami mengupas isi film sambil makan makanan dalam wadah yang dibawa sendiri dari rumah. Mengimplementasikan minimalisir sampah  dari diri sendiri. Tidak omdo alias omong doang.

Oiya ada sesi menarik ketika para relawan berkumpul yaitu membentuk grup-grup kecil dan mendapat tugas  merefleksikan Indonesia di masa depan. Misalnya harapan tentang transportasi, air dan gerakan perubahan di masa mendatang. Biasanya kami menggunting kata-kata dan gambar dari majalah yang telah disediakan. Asyik juga, serasa anak kecil tapi serius. Karena temanya serius tapi kami boleh mengolah kata dan gambar sesuai keinginan. Ada grup yang betul-betul serius, ada pula yang parahhhhhh…….ngocolnya   ^_^

Belakangan saya baru mengetahu bahwa penggunaan kata relawan tidaklah tepat. Menurut budayawan Ajip Rosidi yang mengkajinya secara morfologis : Kata rela adalah kata kerja (verba) yang berarti bersedia dengan ikhlas hati, sedangkan akhiran wan (artinya orang) hanya diimbuhkan pada kata benda atau kata sifat. Misalnya wartawan, hartawan  atau  cendekiawan.Yang benar adalah sukarelawan , karena sukarela (berarti dengan kemauan sendiri) adalah kata sifat. Jadi terjemahan kata volunteer yang benar adalah sukarelawan bukan relawan.

Apapun polemik  mengenai terjemahan kata relawan dan sukarelawan, pekerjaan ini sungguh mengasyikkan Tidak ada rupiah yang didapat, tetapi manfaat yang diperoleh lebih tinggi nilainya dibanding materi. Karena itu bagi rekan-rekan relawan di seluruh pelosok bumi:

“Happy International Volunteer Day, 5 Desember 2012”

Tetap bersemangat mewarnai peradaban. Tetap bersemangat bergerak kearah perubahan yang lebih baik.

**Maria Hardayanto**

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun