Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature

Mengapa (Harus) Banjir di Musim Hujan?

26 November 2012   12:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:39 858 8

Krisis air di musim kemarau ; banjir di musim hujan. Adagium baru tersebut seolah tak terpatahkan. Bahkan diterima dengan “legowo” oleh semua pihak. Juga pergeseran musim, ketika nama bulan berakhiran “ber” seharusnya penanda dimulainya musim hujan tetapi bulan September dan Oktober masih memasuki musim kemarau. Sedangkan musim hujan tahun 2012 baru dimulai bulan November dan diperkirakan akan mencapai puncaknya pada bulan Januari dan Februari.

Perubahan ini adalah keniscayaan mengingat bumi kini dihuni sekitar 7 milyar manusia yang menyebabkan berbagai konsekuensi yaitu pada kegiatan ekonomi, pangan, perumahan, gaya hidup dan lain-lain. “Justru aneh kalau tidak ada yang berubah”, ujar Zadrach L. Dupe, staf pengajar Program Studi Meteorologi Institut Teknik Bandung (ITB).

Tetapi yang menarik dalam penjelasannya adalah:  “Curah hujan mengalami penurunan secara signifikan”.  Penurunan  tersebut dapat terlihat secara signifikan dari grafik curah hujan di Bandung selama 20 tahun terakhir.

Salah satu penyebab penurunan curah hujan adalah hilangnya siklus hujan lokal yang terjadi akibat perubahan fungsi lahan. Lahan-lahan hijau berubah menjadi lahan beton pemukiman dan pembangunan atas nama pertumbuhan ekonomi. Karena itu tidak heran terjadi banjir karena tanah tidak sempat menyerap airnya.

Indonesia sebagai negara kepulauan di wilayah tropis akan selalu mendapat curah hujan dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai contoh wilayah Jawa Barat, khususnya Bandung menerima air hujan 2.000 – 3.000 milimeter per tahun. Tetapi karena tidak ada upaya “menangkap”nya maka semua air hujan akan lewat begitu saja.

Ada 3 hal yang dialami air hujan ketika mencapai permukaan bumi:

1.Penguapan

2.Infiltrasi (meresap ke dalam tanah)

3.Aliran permukaan.

Proses infiltrasi dan aliran permukaan berkaitan erat dengan tata guna lahan, terutama hutan. Apabila permasalahan ini terus berlanjut  keseimbangan akan terganggu. Penanganan seharusnya dilakukan di area hilir (struktural berupa pengerukan dan pelebaran sungai) dan di hulu (nonstruktural yaitu penanaman hutan kembali dan pengaturan tata guna lahan).

Jokowi, Gubernur DKI Jakarta yang baru saja dilantik ternyata tidak sekedar blusukan di daerahnya tetapi juga bertemu dengan Ahmad Heryawan, Gubernur Jawa Barat untuk memulai pembicaraan mengenai daerah penyangga Jakarta seperti Bekasi, Bogor dan Depok. Karena  sebagaimana diketahui area tersebut telah berubah menjadi real estate, villa dan kebun sayur. Kebun sayur menjadi salah satu penyebab percepatan sedimentasi karena  sayuran hanya berumur semusim (1-3 bulan). Sehingga ketika dipanen dan esoknya hujan maka permukaan tanah akan hanyut ke sungai.

Seharusnya Ahmad Heryawan juga duduk semeja dengan Walikota Bandung, Bupati Bandung dan Bupati Bandung Barat untuk membicarakan daerah hulu/daerah penyangga. Agar wilayah Bandung Selatan (Soreang, Ciwidey, Bale endah dan lain-lain) tidak menjadi daerah langganan banjir. Karena selama ini terkesan nafsi-nafsi. “Kebijakan” Walikota Bandung  memberikan izin pembangunan Kawasan Bandung Utara (KBU) mengakibatkan derita warga Kabupaten Bandung. Demikian juga “kebijakan” Bupati Bandung Barat terhadap tatakelola wilayah hulu Bandung dan pencemaran limbah kotoran sapi ke sungai Cikapundung.

Diperlukan sikap tegas Gubernur Jabar dalam melarang setiap pembangunan di daerah hulu (tidak sekedar diketatkan) karena hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Daerah Tingkat I Jawa Barat. Demikian pula dengan tata kelola lahan, setiap alih fungsi lahan misalkan seluas 2.000 hektar dijadikan perumahan maupun pertanian maka perkiraan air yang hilang harus dikonversi dalam bentuk sumur resapan atau empang-empang agar suplai air tanah tidak bertambah ke hilir (sungai).

Sumur resapan tersebut dapat dibangun juga di kawasan padat penduduk. Sedangkan penduduk yang tinggal di bibir sungai (daerah aliran sungai/DAS) apa boleh buat harus direlokasi karena selain menyalahi peraturan daerah, kebiasaan warga membuang sampah memperburuk keadaan.

Beberapa kali penulis melihat perilaku membuang sampah ke sungai dengan alasan: “Toh semua sampah nantinya akan ke laut”, atau “Ah, semua orang juga begini, buang sampah ke sungai”. Hmmm………mereka lupa atau tidak peduli bahwa sebelum ke laut, air selokan akan meluap di sungai dan membanjiri area sekitarnya.

Perencanaan yang matang juga harus dilakukan untuk perbaikan  drainase daerah urban.  Tidak hanya dipenuhi sampah, drainasepun terkesan “asal” dibangun. Sehingga air hujan tidak mengalir lancar, banjir cileuncang (banjir yang disebabkan air selokan) meluap menyebabkan lalu lintas macet tatkala hujan tiba.

Last but not least tentunya masalah sampah merupakan masalah krusial perkotaan yang menjadi salah satu penyebab  banjir. Bagaimana mungkin kasur dan kursi rusak dibuang ke sungai/aliran air apabila ada system penampungan sampah yang terkelola baik. Hukuman denda Rp 5.juta bagi pembuang sampah ke sungai hanya akan menjadi gertak sambal tak berarti apabila warga tidak mengerti hak dan kewajibannya. Dan yang terparah : Pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya.

**Maria Hardayanto**

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun