Tanpa mengumpulkan dan menganalisa data yang akuratpun, kita dapat menyimpulkan bahwa Hari Lebaran adalah hari berpesta warga Bandung yang mayoritas beragama Islam. Semua berpesta. Mulai dari pusat kota hingga pelosok. Hal tersebut dapat terlihat dari antusiasme setiap keluarga dalam menyediakan hidangan, pakaian serta beragam acara yang dirancang dan dinikmati bersama.
Umumnya ritual pertama setelah selesai sholat Ied adalah menengok kubur (tulisan kompasianer Dudi Rustandi) dan mengunjungi kerabat, baik sesepuh hingga sepupu. Untuk melaksanakan semua itu mereka mengggunakan berbagai cara ke tempat tujuan. Mulai dari kendaraan roda empat (milik pribadi atau menyewa), sepeda motor dengan 4 penumpang (5 termasuk pengendara), naik delman hingga naik kendaraan pick-up (bak terbuka), walau harus ditutupi kain karena terik matahari di Bandung sedang tidak bersahabat pada mahluk hidup. Pak polisi kemana ya? Hmmmmm.......khusus hari Lebaran, saya maafkan katanya ..... ^_^
Bandung si kota kembang, punya banyak kisah di jalan raya. Tapi tahun ini penulis terperangah melihat fashion yang dikenakan warga kota, penuh warna-warna ceria. Beberapa berhasil dijepret dari arah depan, sisanya dari arah samping atau bahkan bagian belakang si empunya. Karena banyak sekali, sehingga sering luput dan baru “ngeh” sesudah sang model menjauh. Sayang sekali.
Selain mengunjungi kerabat dan menengok kubur, warga juga menyerbu tempat hiburan seperti Kebun Binatang dan Taman Lalu Lintas di jalan Belitung. Aduh menyebabkan macet sejak hari pertama Idul Fitri.
Ada kebiasaan warga Bandung yang unik di hari Lebaran, yakni ngabakso (makan mie bakso). Disebut unik dan aneh karena di setiap rumah dipastikan ada ketupat, opor ayam,rendang, ase cabai hijau, tumis kentang (nama lain sambal goreng kentang, karena hanya menggunakan sedikit santan kelapa dan nikmat sekali dimakan dengan ketan ulen) ……………………lho ini kok malah jajan bakso. Mungkin para ibu dan gadis ini mencari makanan yang segar sesudah semalaman bergumul dengan masakan bersantan.
Tapi pesta adalah pesta. Walaupun banyak pihak menghimbau agar perayaan pesta kemenangan sebaiknya tidak dengan cara konsumtif tapi wong cilik sangat merindukan event ini. Event ketika semua sanak berkumpul dengan baju bagus yang mungkin hanya dibeli setahun sekali. Event ketika makanan tumpah ruah sehingga mereka menginginkan makanan yang berbeda. Karena esensi Hari Idul Fitri secara agama dan sosial bukan untuk diperdebatkan, tapi untuk dinikmati. Untuk dirayakan bersama kerabat yang ditemuinya setahun sekali. Untuk dikenang hingga mereka berpencar beberapa hari kemudian dan kembali ke rutinitas.
**Maria Hardayanto**
Ingin melihat karya teman-teman Kompasianer dalam meramaikan WPC 18? Silakan klik disini