Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

(CFBD) Menginang, Kebiasaan Djadoel Yang (Mungkin) Telah Punah

21 Agustus 2012   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 252 26

Saya paling djadoel? Jelas, selain karena saya senang banget “nyusuh” (bahasa Jawa) yang artinya menyimpan sesuatu karena merasa sayang dibuang dan berpikir: “ach, takutnya nanti  barang ini diperlukan lagi”. Saya juga senang menyimpan barang peninggalan orang tua tanpa takut dibilang manusia djadoel ^_^. Salah satunya adalah ini:

Barang ini dalam bahasa Indonesia tempolong mungkin ya? Karena merupakan  tempat membuang ludah eyang putri (nenek) yang senang nyusur (bahasa Jawa) atau menginang (bahasa Indonesia). Saya ingat almarhum eyang putri  yang tinggal di Jogjakarta sering mengunyah daun sirih yang telah diisi kapur dan irisan tembakau. Dikunyah dengan cara yang nikmat banget, seolah enak,  mengasyikkan ....... sulit sekali menggambarkan. Mungkin seasyik orang merokok yang hanya dapat digambarkan oleh orang yang menikmatinya.

Setelah mengunyah dan mulutnya telah penuh dengan air ludah bewarna merah maka eyang putri akan meludah ke tempolong tersebut. Kemudian mengunyah-ngunyah kembali, meludah lagi.....mengunyah lagi .....dan  bibir eyang putripun bewarna merah, tanpa gincu. Saya membayangkan ibu bangsawan tua dalam buku "The Good Earth"nya Pearl S. Buck yang asyik mengisap candu. Mungkin demikian juga sesepuh kita karena sirih pinang memiliki efek narkotik ringan sehingga mengadiksi pemakainya.

Biasanya eyang putri  menginang di siang hari atau di malam hari sambil mendengar sandiwara radio atau wayang kulit (di radio). Ditemani teh manis yang kental nian (nasgitel=panas, legi,kentel), eyang putri  baru beranjak ke peraduan pada dini hari. Mungkin kisah sandiwara radio begitu memukau layaknya sinetron masa kini yang membuat penontonnya enggan beranjak.

Selain eyang putri, eyang buyut putri juga senang menginang. Sedangkan eyang kakung (kakek) tidak. Entah mengapa , padahal di kemudian hari saya baru tahu bahwa menginang bukan melulu kebiasaan perempuan, bahkan lebih dari itu menginang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upacara dan alat pergaulan sosial. Baik bangsawan maupun rakyat menyuguhkan sirih pinang kepada tamunya yang wajib diterima sebagai tanda penghargaan. Tentu  saja dengan paduan yang lebih komplet yaitu: daun sirih, kapur, pinang, irisan tembakau, dan gambir. Semua bahan (selain daun sirih) diracik dengan pas, ditumbuk dan dilipat kedalam daun sirih untuk kemudian dikunyah.

Bahkan setiap unsur mengandung makna, misalnya daun sirih merupakan perlambang sifat rendah hati, memberi  serta senantiasa memuliakan orang lain. Karena tanaman sirih tumbuh menjalar kemana-mana, rimbun,  membutuhkan tanaman lain sebagai sandaran tapi tidak merusak.

Sedangkan pinang melambangkan keturunan baik-baik, santun budi pekertinya sesuai  pohonnya yang tumbuh tinggi menjulang keatas.

Warna kapur putih melambangkan hati yang mempunyai niat bersih dan tulus.

Gambir yang pahit melambangkan kesabaran dalam melakukan proses  sedangkan tembakau mencerminkan sifat tabah dan siap bekorban bagi orang lain (Said, 1987:1 dan Mahyudin Al Mudra,206: 22-23)

Karena itu seingat saya, dulu ada semacam piring lengkap perangkat untuk menyimpan kapur, gambir, daun sirih dan pinang. Juga alat untuk menumbuk. Sayang mengobrak-abrik gudang hasilnya nol besar.

Suami saya langsung turun tangan melihat semua barang di gudang dikeluarkan dan tertawa keras mengetahui apa yang saya cari.

“Lha itu, tempat aksesoris kan bekas bahan-bahan menginang”.

Haaaa……….??? Tempat aksesoris yang selama ini saya gunakan untuk menyimpan cincin, kalung dan gelang dan merupakan warisan ibunda mertua ternyata dulu tempat menyimpan bahan menginang?

“Bukankah itu tempat uang? Uang kertas diatas dan logam dibagian kotak-kotak?“, tanya saya ngeyel.

“Dulunya banget itu tempat bahan-bahan “nyusur” (menginang)”. Karena bapak dan ibu nggak nyusur ya jadi tempat uang. Berubah fungsi lagi ketika sekarang menjadi milikmu”.

“O begitu, pantesan tempat uang kok ngga ada gemboknya”, jawab saya tersenyum senang. Tidak hanya senang tetapi senaaaannnnggggg…………. sekali karena ternyata mempunyai warisan unik: kotak tempat menyimpan bahan menginang.

"Kira-kira udah berapa tahun tuh umurnya?" Tanyaku lagi.

"Hmmm........ minimal 100 tahun , mungkin juga 200 tahun lebih. Warisan eyang buyut ke buyut. Termasuk tempat tempolongnya".

Mmmmmm.........mungkin juga.  Menginang, suatu kebiasaan yang dianggap terbelakang, jorok dan kini mungkin telah punah. Padahal dulu kebiasaan menginang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari upacara sakral seperti upacara pernikahan. Bersatunya dua insan ke dalam relasi keluarga disimbolkan dalam prosesi menginang.

Menginang juga dipercaya mempunyai manfaat bagi kesehatan. Karena perpaduan buah pinang, daun sirih dan kapur menghasilkan zat kimiawi yang bersifat menenangkan system saraf pusat sehingga dapat menenangkan pikiran. Sirih pinang juga diyakini memiliki manfaat untuk menguatkan gigi, menyegarkan mulut dan berfungsi sebagai antiseptik.

Setelah mengetahui begitu banyak manfaatnya, apakah suatu ide brilian apabila kebiasaan menginang dihidupkan kembali? Rasanya tidak. Karena bisa terbayangkan nanti dimana-mana akan ada bekas ludah bewarna merah mewarnai tembok. Walaaahhhhhh…………..^_^

**Maria Hardayanto**

Sumber data: Melayu online

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun