Pernah datang ke acara peringatan pelestarian alam tapi di sekeliling area penuh dengan sampah kemasan air minum, kardus snack serta wadah styrofoam? Sungguh kontradiktif. Antara semangat diadakannya acara yang bertujuan penyadaran pelestarian lingkungan hidup dengan banyaknya sampah seusai acara berlangsung.
Sampah berserakan dimana-mana. Di bawah kursi atau disekitar pohon. Bukan berarti tidak boleh nyampah. Tetapi bukankah panitia dan peserta acara bisa bekerjasama meminimalisir sampah?
Karena itu ketika Kompasianer Achmad Siddik mengajak rekan-rekan Kompasianer kopdar sambil memperingati Hari Bumi, 22 April 2012 di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor. Maka ingatan akan akhir berbagai peringatan lingkungan (Hari Bumi, Hari Air, Hari Ozon, Hari Lingkungan Hidup) yang kurang menyenangkan terulang kembali.
Sesuai kultur, tamu layak dihormati bak raja. Begitu dihormatinya sehingga nyampahpun dimaklumi. Padahal ada banyak cara menghormati tamu sekaligus mengajak mereka melakukan aksi. Tamu dan panitia bisa bekerja sama, saling melengkapi sehingga acara peringatan hari lingkungan lebih bermakna. Tidak sekedar hore-hore.... ^_^
Yang perlu dilakukan antara lain:
- Di dalam undangan dicantumkan dengan jelas agar para tamu membawa tempat minum (tumbler) dan serbet kain/saputangan kain. Gunanya untuk mengurangi sampah kemasan plastik bekas air mineral dan tisu kertas.
- Di lokasi acara, MC mengumumkan dan mengajak peserta untuk menjadikan area acara bebas sampah (zero waste event). Panitia hanya menyediakan air minum dalam gallon. Sebetulnya gelas-gelas plastik bisa disediakan, tapi bukan jenis gelas plastik sekali pakai. Panitia menyediakan label sticker agar peserta bisa memberi nama pada gelas minum. Ini untuk mengantisipasi peserta yang tidak membawa tumbler dan tentunya akan bolak-balik mengisi gelas plastik minumnya.
- Panitia menyiapkan makanan camilan minim sampah. Atau bahkan tanpa sampah. Misalnya risoles lebih dipilih daripada bugis yang dibungkus plastik. Atau bisakah memesan kue bugis dan nagasari dalam bungkusan daun pisang? Karena akhir-akhir ini nyaris tidak ada makanan camilan yang berbungkus daun pisang. Lemperpun dibungkus plastik. Padahal harga daun pisang masih tetap murah. Pertimbangan pedagang adalah praktis. Sudah waktunya sebagai pembeli, kita memilih makanan non/minim sampah. Hukum permintaan dan penawaran seharusnya berlaku. Sehingga pedagang pasti akan menyanggupi. Mereka tahu keberlangsungan hidup usahanya sangat tergantung pada keinginan/trend pembeli.
- Apabila memungkinkan makan siang dengan prasmanan. Menggunakan piring dan sendok yang mudah dicuci. Tetapi apabila tidak memungkinkan dan pembagian makan siang harus menggunakan kardus ya apa boleh buat, asalkan jangan menggunakan wadah styrofoam yang nyata nyata tidak dapat terurai di alam.
- Panitia tidak bisa melarang peserta cilik yang ingin makan camilan berbungkus plastik . Daripada peserta membuang sampah di sembarang tempat, lebih baik disediakan tempat-tempat sampah berukuran jumbo dimana para peserta bisa membuang sampah anorganiknya. Pembelajaran membuang sampah pada tempatnya bisa tepat sasaran karena sampah betul-betul sudah terpisah.
- Seusai makan siang, para peserta diajak memasukkan sampah organiknya ke kotak Takakura. Apabila area acara merupakan hutan seperti Tahura Ir. Juanda, bisa dibuat lubang-lubang untuk membuang sampah organik. Anak-anak dapat dipandu dengan penjelasan bahwa sampah organik tersebut akan membantu menyuburkan tanah karena dikembalikan ke alamnya. Berbeda dengan membuang sampah organik ke tempat sampah umum yang sulit terurai karena bercampur plastik. Bisa juga menerangkan kepada mereka bahwa sampah organik yang terjebak dalam kantung kresek akan mengeluarkan gas metana. Terlalu sulitkah untuk anak? Tergantung anaknya mungkin ya? Anak SMP sih pasti mengerti.
Apa lagi ya? Yang penting memelihara lingkungan tetap bersih sebelum dan sesudah acara. Para tamu biasanya kebingungan meletakkan bekas makanannya. Sehingga panitia harus tanggap menyediakan tempat-tempat khusus menyimpan/ membuang bekas makanan dan MC rajin mengingatkan agar para tamu dengan sukarela berpartisipasi.
Zero Waste Event (ZWE) seperti diatas hanya dapat terlaksana apabila kita adalah panitia yang mempunyai otoritas untuk mengajak para tamu beraksi nyata mengurangi sampah.
Bagaimana apabila kita adalah tamunya? Bisa juga sih menyiasati. Dengan berbagai cara:
- Membawa tumbler tempat air minum sendiri dan menanyakan pada panitia apakah ada dispenser air mineral untuk mengisi ulang tumbler tersebut.
- Menghindari camilan yang menghasilkan banyak sampah. Khususnya sampah plastik. Tetapi kalau camilan tersebut menggiurkan dan hanya ada satu macam. Ya, apa boleh buat.
- Bersebelahan dengan desert es buah atau ice cream, biasanya ada tumpukan gelas plastik sekali pakai. Cara menyiasati agar tidak menggunakan gelas plastik sekali pakai adalah dengan menggunakan gelas atau cangkir yang sebelumnya digunakan air minum/air teh. Seperti yang dilakukan @Rahyang Nusantara dan penulis di acara Kompasiana Blogshop N5M di Bandung. Rahyang menggunakan gelas air putih untuk mengambil es buah (atau es jelly?) sedangkan penulis keluar lokasi prasmanan untuk mengambil cangkir kopi/teh sebagai wadah desert tersebut. Tidak ada gelas ataupun cangkir? Apa boleh buat, silakan pakai (hanya) satu gelas sekali pakai untuk minum dan mewadahi desert. Yang penting sudah meminimalisir sampah. Tidak boros menggunakan wadah gelas plastik.
Ribet? .......mungkin pada awalnya akan ribet, rese dan riweuh. Tetapi apabila pernah melakukannya dan membiasakan diri di setiap event maka akan menjadi terbiasa. Khususnya apabila kita mengingat bahwa pihak catering pasti akan menyampur sampah organik dengan sampah anorganik. Iyalah ....mereka super sibuk di hari H, jadi kitalah yang harus berperan.
Sampah tercampur yang dibuang pihak catering dan menimbulkan bau busuk sisa makanan biasanya enggan diambil pemulung. Mereka membiarkan sampah berakhir di TPA. Di TPApun, pemulung hanya akan mengambil sampah anorganik yang “agak” bersih mengingat membersihkan sampah plastik menyita cukup waktu. Mereka pastinya enggan membersihkan plastik kotor berharga murah. Karena itu pengolahan sampah anorganik (khususnya plastik) di Indonesia baru mencapai angka 10 % dari keseluruhan sampah anorganik.
Ada satu pengalaman menarik ketika penulis menjadi ketua panitia pesta bantaran sungai. Berhubung keteteran dan anggota panitia lain belum memahami konsep minimalisir sampah dengan utuh maka penulis bersegera memilah sampah seusai acara. Sampah anorganik yang umumnya terdiri dari gelas air mineral dan kardus dimasukkan kedalam satu karung sedangkan sampah organik sisa makanan tamu yang tidak habis disantap dimasukkan kesatu wadah dan memasukkannya ke lubang resapan biopori (LRB). Hasilnya? Area bersih dari sampah, LRB terisi bahan-bahan yang menyuburkan tanah. Anggota panitia/anggota masyarakat yang ingin menjual plastik/kardus merasa senang karena mendapat sampah anorganik bersih sedangkan anggota panitia lainnya lebih memahami makna minimalisir sampah. Karena berkontribusi dan beraksi langsung. Tidak sekadar kata dan retorika.
Oiya ,kata memilah ditebalkan karena ada perbedaan arti dengan memisah. Memisah sampah terjadi ketika kita langsung membuang sampah ke dalam tempat sampah sesuai peruntukannya: sampah anorganik, sampah organik dan sampah B3. Sedangkan kata memilah digunakan apabila sampah sudah terlanjur tercampur sehingga di dalam tempat sampah ada sampah organik dan sampah anorganik. Karena itu biasanya pekerjaan memilah ini tidak efektif. Selain jijik, selalu ada sampah yang terlewat untuk dipilah. Misalnya bungkus permen yang terlalu kecil “bersembunyi” dibalik daun pisang.
Zero Waste Event sejatinya bukan sesuatu yang sulit dilaksanakan, bukan pekerjaan para dewa. Terlebih sebagai produsen sampah, kita menyadari bahwa pembenahan harus dilakukan di hulu bukan di hilir. Karena ketika masalah sampah sudah berakhir dihilir maka nasibnya akan seperti banjir. Ditangani proyek tambal sulam yang tak berkesudahan. Persis gumpalan benang kusut yang sulit terurai, tidak diketahui mana ujungnya. Pihak pemerintah sebagai eksekutor dan masyarakat sebagai produsen sampah saling menyalahkan. Tanpa menyadari semua pihak berperan menciptakan lingkaran sampah.
**Maria Hardayanto**