Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Artikel Utama

Di Sini Banjir, di Sana Krisis Air

12 Januari 2012   13:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:58 595 3
  • Sampah. Sampah merupakan masalah kompleks yang membutuhkan sinergi banyak pihak. Mulai dari si pembuang sampah yang "semau gue". Tukang sampah yang mengumpulkan sampah tapi kemudian "tega" membuang sampah ke sungai. Hati kecil si tukang sampah pasti tahu bahwa tindakannya akan menyebabkan banjir. Tetapi apa boleh buat, PD Kebersihan hanya sigap menarik uang iuran tapi ogah-ogahan mengosongkan container sampah padahal tukang sampah sebagai ujung tombak dikejar deadline karena hari berikutnya harus mengangkut sampah dari rumah ke rumah. Pemberlakuan sanksi bagi pembuang sampah harusnya bisa dilakukan Satpol PP, minimal sebagai shock therapy karena ada rambu hukum yaitu Perda K3 Kota Bandung. Selain itu mulai menerapkan tarif retribusi baru apabila PD Kebersihan "merasa" pemasukan retribusi tarif lama terlalu rendah. Karena penggodokan tarif baru sudah dikerjakan LPM Universitas Pajajaran lebih dari setahun yang lalu.
  • Posisi rumah yang membelakangi aliran sungai juga berpotensi menggampangkan masalah sampah. Hanya dengan membuang sampah lewat pintu belakang:"plung!" ........selesailah masalah sampah! Tidak terlihat mata! Umumnya bangunan dihuni penduduk urban/pendatang. Karena penduduk asli memiliki lahan cukup sehingga enggan membangun rumah di tepi sungai. Kalaupun dia membangun rumah di tepi sungai biasanya dibangun untuk disewakan bagi kaum pendatang. Solusinya hanya satu. Tindakan tegas. Memindahkan penduduk yang umumnya tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ini ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang tidak terletak di tepi sungai. Karena Daerah Aliran Sungai (DAS) sebetulnya merupakan daerah terlarang untuk bangunan permanen.
  • Pembangunan sumur resapan dan LRB. Ironisnya berseberangan dengan daerah aliran sungai tersebut, daerahnya mengalami krisis air. Sehingga sudah menjadi pemandangan umum apabila antar rumah meminta air sumur dengan menggunakan slang atau ember. Salah satu RW dari area tersebut membentuk suatu perkumpulan ibu-ibu rumah tangga bernama komunitas @sukamulyaindah. Berbekal keinginan ingin keluar dari masalah krisis air dan ingin berkegiatan positif, mereka berkumpul setiap minggu untuk belajar memisah sampah, menggunakan kotak takakura, membuat lubang resapan biopori (LRB) dan meminimalisir sampah plastik dengan mengumpulkannya dan membuat kerajinan.

Banyak pertanyaan terlontar, mengapa perilaku masyarakat Indonesia berubah? Kemana perginya kearifan local, gotong royong dan kepedulian social? Ada banyak jawaban. Tetapi yang terutama adalah adanya kesenjangan. Kesenjangan antara anggota masyarakat yang dengan mudahnya menumpuk gelar kesarjanaan ketika anggota masyarakat lainnya tidak sanggup menyelesaikan sekolah dasarnya. Antara si kaya dan si miskin. Masing-masing asyik dengan dunianya. Ditengah itu ada para birokrat yang asyik juga merumuskan perundang-undangan dan penggunaan uang APBD. Hal mana sering menyebabkan masyarakat grass root bersikap skeptis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil. Mereka merasa memiliki tanah air Indonesia ini tetapi sekaligus merasa tidak memiliki. Merasa bangga sekaligus tidak peduli. Semuanya berakhir pada satu rasa: Merasa asing di rumah sendiri!

Dan apakah yang terjadi pada rumah yang tidak dipedulikan pemiliknya?

**Maria Hardayanto**

tulisan terkait :

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun