Pernah melihat seorang ibu berbelanja di supermarket hingga bertroli-troli? Biasanya mereka belanja bulanan. Ada beberapa kantung plastik beras dan minyak goreng dalam kemasan plastik tebal. Sejumlah besar popok bayi berisi banyak dan berkemasan besar. Belum lagi persediaan dapur dan cemilan anak-anak. Semua belanjaan dimasukkan ke dalam kantung-kantung plastik berukuran XL, dibawa ke bagasi mobil, sesampainya di rumah belanjaan di bongkar. Selanjutnya si kantung plastik berumur pakai 2-3 jam tersebut langsung dibuang apabila kotor dan masuk gudang apabila masih bersih.
Seberapa kotor sih bagasi mobilnya sehingga semua belanjaan harus dibungkus kantung plastik lagi?Toleransi bisa kita terima untuk penggunaan semua produk berukuran kecil. Tapi mengapa beras , minyak goreng dan popok bayi berjumlah sekitar 10 kemasan besar itu harus diberi kantung plastik lagi? Seberapa banyak juga kantung plastik yang dibutuhkan konsumen untuk membuang sampahnya? Belum pernah ada yang meneliti. Biasanya angka pemakaian kantung plastikmenggunakan estimasi produksi atau estimasi retail. Padahal sering terjadi sampah plastik dibuang begitu saja karena kotor. Tanpaberisi sampah. Judulnya saja “kantung plastik gratis”, pemiliknya pun akan membuang dengan seenaknya tanpa merasa bersalah. Apalagi memikirkan tindakannya berpotensi membludaknya sampah kota.
Untuk semua kemanjaan itu, berapa besar biaya yang dikeluarkan pengusaha retail untuk membeli kantung plastik? Seorang direktur korporasi retail menjawab bahwa perusahaannya menghabiskan ratusan juta rupiah per bulan karena itu sekarang dia menggunakan plastik yang lebih tipis. Besaran biaya pembelian kantung plastik tersebut tentunya melekat pada setiap harga barang.
Situasi menjadi lain ketika pemilik kios di pasarlah yang harus membeli kantung plastik. Ternyata tak kurang dariRp 20.000,00 per hari dikeluarkan untuk membeli kantung plastik (keresek) dan plastik pembungkus sayurannya. Ukuran kios yang dipakai bukan skala besar tetapi kecil. Profit rata-rata pemilik kios kecil dipasar tersebut rata-rata sekitar Rp 60.000-100.000/hari, tetapi dia harus rela profit tersebut bekurang untuk membeli kantung plastik demi kepuasan konsumen.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa permasalahan ada pada permintaan konsumen yang dipenuhi pihak retail. Sebetulnya ada supermarket yang tidak menyediakan kantung plastik bagi konsumennya, yaitu supermarket Ma***. Supermarket tersebut menjadi tidak populer bukan karena tidak memberikan kantung plastik pada konsumennya. Tetapi semata-mata karena konsumen harus membeli produk dalam jumlah besar, letaknyapun jauh dari perumahan. Berbeda dengan gerakan agresif minimarket-minimarket yang dibangun di dalam/di dekat perumahan. Bahkan sering terjadi dalam satu area pertokoan ada 2-3 minimarket berbeda pemilik tapi sama isi produk dagangannya. Anehnya mereka hidup rukun!
Beberapa rekan yang merupakan pelanggan supermarket Ma*** berkisah bahwa apabila pergi belanja mereka selalu membawa kantung plastik sendiri. Beberapa produk seperti beras dan popok bayi tidak pernah mereka masukkan dalam kantung plastik. Toh selesai belanja, troli dibawa ke tempat parkir dan barang belanjaan langsung masuk mobil.
Bagaimana kisahnya ketika rekan tersebut berbelanja produk di supermarket lain? Ya ngga bawa kantung plastiklah. Buat apa? Kan udah disediain gratis!
Perilaku konsumen menengah ke atas dan konsumen menengah ke bawah terhadap kantung plastik sama saja. Hal tersebut terjadi karena mereka tidak tahu dan tidak peduli besarnya biaya lingkungan bagi kesehatan mereka sendiri. Jadi yuk kita lihat inti masalahnya :
1.Regulasi. Undang-Undang no 18 tahun 2008 pasal 14 dan 15 menyatakan bahwa produsen berkewajiban terhadap pengurangan dan pengelolaan barang produksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Sedangkan pasal 21 menyatakan bahwa pemerintah memberikan insentif pada setiap orang yang mengurangi sampahnya dan disinsentif pada setiap orang yang tidak melakukan pengurangan sampah. Sayangnya jangankan dilaksanakan, peraturan pemerintah pendukung undang-undang belum dibuat padahal seharusnya sudah disahkan tahun 2009 silam.
2.Edukasi. Edukasi adalah ujung tombak. Seorang kawan bercerita bahwa dia sering diingatkan anaknya untuk membawa kantung plastik supaya tidak menambah “stok” kantong plastik bekas di rumah. Si anak bisa bersikap peduli lingkungan karena mendapat pelajaran lingkungan hidup di sekolah dan senang membaca. Betapa hebatnya anak-anak kita, padahal guru Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) umumnya tidak diberi pembekalan yang cukup. Selain itu menurut Marco Kusumawijaya, PLH hanya dilaksanakan di Jawa Barat, provinsi lain belum.
3.Sosialisasi. Seorang rekan lain bercerita, seusai mengambil gelar doktor di Jerman, dia pulang ke Indonesia dengan membawa oleh-oleh banyak sekali tas pakai ulang (reusable bag) untuk dibagikan pada rekan-rekan satu almamaternya. Keren-keren bentuk dan warnanya. Setelah itu apa yang terjadi? Tak ada satupun yang ingat untuk membawanya ketika pergi berbelanja. Padahal tas pakai ulang tersebut begitu simple. Selesai pakai, lipat kecil kembali hingga sebesar amplop dan langsung masukkan ke tas bepergian. Jangan ditunda, karena berpotensi lupa!Tapi berhubung usaha sesederhana itupun dianggap lebih merepotkan daripada menerima kantung plastik gratis maka tetap tersimpan rapihlah si oleh-oleh. Rapih dan bersih.
Menyikapi beberapa permasalahan mendasar tersebut apa yang bisa diperjuangkan pemerhati dan pegiat lingkungan hidup?
1.Regulasi, Harus ada peraturan yang melarang pemberian kantung plastik gratis. Karena sesudah jadi sampah, pemerintah juga yang kerepotan mengelolanya. Untuk itu perlu masukan dari masyarakat, karena pejabat publik sering berpikir secara mikro. Tidak usah demo atau cape-cape menulis ke surat pembaca. Karena jejaring social media mengambil peran dengan luas dan murah. Kita bisa membuat grup facebook untuk mendesak pemerintah untuk segera merumuskan peraturan pendukung Undang-Undang nomor 18 tahun 2008 mengenai pengelolaan sampah. Atau ngetweet banyak-banyakkalau perlu hingga menjadi trendingtopic dan di blow-up media. Masa sih masalah sekompleks sampah yang diakibatkan borosnya pemakaian kantung plastik bisa kalah dengan masalah Prita, Bibit dan Chandra, bahkan Ayu Azhari yang ingin menjadi bupati!?
2.Edukasi. Guru-guru PLH perlu mendapat buku-buku tambahan untuk membuat pelajaran lingkungan hidup di sekolahnya menjadi menarik. Mengapa rekan-rekan LSM tidak membuatnya? Himpunan Mahasiswa Tehnik Lingkungan (HMTL) ITB pernah menyusun, mencetak dan membagikannya, sayang tidak berkelanjutan.Untuk kasus provinsi di luar Jawa Barat, LSM bisa mendesak diterapkannya muatan lokal (Mulok) PLH, tentunya harus komit dan konsisten menemani guru PLH dalam penerapannya. Bahkan menurut pengalaman, walaupun kita bukan berasal dari LSM, tetapi "hanya" orang yang peduli pada PLH, maka guru PLH akan senang sekali menerima buku-buku PLH yang bisa menambah variasi/pengayaan kegiatan belajar mengajar.
3.Sosialisasi. Berharap kepada pemerintah jelas sulit, entah kapan realisasinya. Mengapa tidak membuat gerakan kampanye dari supermarket ke supermarket? Setiap supermarket/minimarket kurang lebih ½ - 1 jam, diisi pertunjukkan “Katakan tidak pada kantung plastik” (musik atau teatrikal) sambil membawa poster berisi tragedy yang bisa ditimbulkan karena ketidak arifan pemakaian kantung plastik. Pasar tradisionalpun harus disentuh dan jangan lupa menunjukkan/membawa tas belanja pakai ulang sebagai solusi yang harus dibeli. Karena pemberian gratis hanya akan berakhir di gudang/tempat sampah. Gerakan aksi langsung ke konsumen ini pasti akan mendapat dukungan banyak pihak. Bukankah penghematan penggunaan kantong plastik akan sangat membantu pihak retail? Walaupun sosialisi langsung ke retail/pasar mungkin hanya akan didengar segelintir masyarakat yang kebetulan sedang berbelanja tetapi lebih efektif karena tepat sasaran. Kampanyepun bisa dilakukan di setiap waktu tidak hanya pada hari peringatan Bebas kantung Plastik Sedunia.
4. Gunakan Bahasa Indonesia untuk Kampanye Lingkungan Hidup. Jadi mengapa tidak merubah INTERNATIONAL PLASTIC BAGS - FREE DAY menjadi hari "Katakan Tidak Pada Kantung Plastik"? Sekedar peringatan hari Anti Kantung Plastik Sedunia tidak akan begitu berpengaruh pada semangat orang Indonesia yang tidak tega menolak. Ajaklah masyarakat untuk langsung bertindak dengan bahasa yang mudah dimengerti. Jadi, ajaklah masyarakat untuk mengatakan : TIDAK ! pada kantung plastik. Bagaimana? ^_^
Tulisan ini penulis dedikasikan atas dasar kepedulian terhadap permasalahan sampah yang tak kunjung usai karena semua yang dilakukan pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) hanya sebatas wacana dan seremonial. Bahkan tulisan Peringatan International Plastic Bag Free Day, NgaruhGa sih? Membuat panas beberapa penggiat lingkungan. Alih-alih mengikuti ajakan mengganti Gambar Profil, ini kok malah mengkritik?!
Kritik membangun diperlukan karena usai longsornya TPA Leuwigajah pada tanggal 21 Februari 2005 yang mengakibatkan 143 meninggal secara tragis, nyaris tak ada perubahan berarti. Padahal waktu 6 tahun bukan waktu yang pendek tetapi kita malah mempeributkan teknis pemusnahan sampah yaitu Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) Gede Bage. Kita memang memerlukan momentum, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memaknai momentum.
Berapa kali sudah komunitas Lingkungan membagikan tas kain sebagai kampanye anti kantung plastik. Apa hasilnya? Nyaris tak ada. Karena kebiasaan terjadi karena pembiasaan, didukung peraturan pemerintah untuk penertibannya. Jadi? Kenalilah masyarakat yang akan kau rubah perilakunya. Atau gaungmu hanya akan hilang ditiup angin pagi.