Pernah merasa mengalami cuci otak atau brainwashing? Sebetulnya tanpa disadari kita mengalami brainwashing ketika setiap hari berulang -ulang menonton iklan televisi bertema sama. Demikian pula isi tausiah pengajian yang begitu memukau. Dampaknya positif apabila yang kita lihat, dengar dan pahami adalah benar dan menjadi gaya hidup kita. Tapi berdampak negatif apabila yang kita terima sebetulnya paradigma keliru dan kita melakukan segala daya upaya demi pembenaran semu.
Contohnya iklan televisi yang menyuci otak pemirsanya dengan kriteria cantik haruslah berkulit putih mulus. Dampak negatifnya? Ibu-ibu paruh baya menyerbu kosmetik pemutih karena tidak bisa menerima kenyataan bahwa kini wajahnya sudah penuh bunga vlek kecoklatan penanda usia senja.
Salah satu jenis cuci otak yang tidak disadari adalah greenwashing. Segala hal dikaitkan dengan kepedulian lingkungan. Walaupun sekedar seremonial. Peresmian kantor baru bertema : go green. Ulang tahun perusahaan : go green. Apapun serba go green. Bahkan ketika kita menolak kantung plastik maka bisa dipastikan kasir akan berkata: "O, go green ya bu". ^_^
Awal titik tumbuh greenwashing sesungguhnya bukan dipopulerkan iklan perusahaan tetapi oleh media. Media yang sanggup melambungkan nama seseorang yang “bukan siapa-siapa” menjadi sosok paling dicari hingga muncul disetiap stasiun televisi. Media pula yang sanggup menjerembabkannya hingga ke titik nadir.
Media di Indonesia mengawali isu lingkungan kurang lebih 3 dekade yang lalu dimulai pernyataan para pegiat lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) atas deforestasi, pencemaran air dan udara yang tak pernah kunjung diperhatikan walau Kementerian Lingkungan Hidup (dulu MeNeg PPLH) yang dipimpin Emil Salim dibentuk Presiden Suharto pada tahun 1978. Dan baru booming sesudahAl Gore merilis film An Inconvenient Truth pada tahun 2006. Film yang memenangkan Academy Award, mengusung isu perubahan iklim dan global warming ini mampu mengguncang dunia. Menggugah semua orang untuk sadar lingkungan. Mengingatkan semua orang untuk peduli persediaan minyak bumi yang menipis dan pemborosan minyak bumi yang mengakibatkan polusi. Polusi udara. Polusi air. Polusi sampah.
Suatu peran besar media dalam mengedukasi warga dunia atau menggreenwashing dengan makna positif. Perlawanan terjadi ketika banyak pihak meragukan isu global warming, atau dianggap terlalu dilebih-lebihkan. Hal yang sebetulnya dapat dijelaskan secara sederhana bahwa jumlah penduduk dunia pasti akan bertambah banyak. Pertambahan penduduk yang membutuhkan sumber daya alam dalam jumlah banyak sehingga pencemaran udara dan air semakin tinggi. Lahan kosong kian habis. Hutan dibabat untuk pemukiman. Grafik volume sampah akan bertambah banyak seiring pertambahan manusia. Efek Rumah Kaca pasti terjadi. Jadi daripada meributkan betul atau tidak, apa salahnya menjadikan menjadikan isu lingkungan sebagai gaya hidup?
Rupanya banyak perusahaan jeli menangkap peluang. Khususnya produsen plastik yang dituduh produknya menjadi biang kerok banjir karena baru akan hancur ratusan tahun kemudian. Mereka tidak tinggal diam menghadapi ancaman menurunnya omzet penjualannya dan memproduksi kantung plastik dengan klaim ramah lingkungan dan kemasan makanan ramah lingkungan. Selain mereka bermunculan pula produk pertanian berupa sayuran organik dan buah-buahan organik . Peternakan memberi sumbangan telur organik, daging organik dan produk fashion menyumbang eco-fashion.
Harga produk-produk tersebut memang relatif lebih tinggi. Tetapi sepadan, mengingat biaya kerusakan lingkungan akibat penggunaan produk berjejak karbon tinggi ternyatalebih besar lagi.
Dilain pihak konsumen sebaiknya juga tidak hantam kromo membeli produk yang diklaim ramah lingkungan tersebut atau bahkan tidak percaya sama sekali.Ada beberapa kiat yang perlu diperhatikan :
.
1.Ecolabel
Ecolabelatau pemberian green sticker pada produk seharusnya ditentukan kriteria dan standarisasinya oleh badan hukum yang disahkan pemerintah. Tapi hingga kini pembentukan badan hukum semacam itu di Indonesia masih berliku karenaperaturannyapun belum dibuat sementara dilain pihak muncul berbagai kepentingan yang bertolak belakang.
Kebutuhan pemberian ekolabel yang tidak diantisipasi pemerintah mendorong bermunculannya beberapa lembaga yang menyatakan mempunyai standarisasi sehingga bisa memberi label ramah lingkungan pada sejumlah produk plastik. Untuk mengantisipasinya, hasil penelitian seorang ahli polimer dari Swedia Royal Institute of Technolology Stockholm, Ann-Christine Albertssonmungkin dapat menjadi rujukan.
Dia mengungkapkan bahwa polietilene belum terbukti hancur dalam 2 -5 tahun. Klaim dapat terdegradasi hanya menjadikan kantung plastik menjadi serpihan dalam waktu lama tergantung paparan cahaya, sinar matahari dan lingkungan tempat kantung plastik tersebut berada. Kecuali apabila produsen mau menggunakan produk berbasispati polylactide yang mahal harganya, atau produk berbasis kertas yang akan dimarahi orang sedunia karena mengakibatkan penebangan pohon besar-besaran hanya untuk kantung belanja. Jadi prinsip hemat kantung plastik menjadi wajib hukumnya karena ecolabel dan green sticker yang berlaku di Indonesia masih merupakan taktik produsen untuk meraup profit dengan jualan isu lingkungan.
Produk pertanian dan peternakan mendapat label organik karena pada proses pertumbuhannya tidak ditambahkan makanan suplemen, suntikan hormon dan penyemprotan pestisida sehingga sayuran menjadi bolong-bolong dan daging ayam bewarna lebih alami (tidak pucat).
Produk eco-fashion lebih rumit perhitungannya dan sulit dideteksi karena mereka hanya mengklaim produknya diproduksi dengan enrgi terbarukan, menanam sekian ribu pohon dan telah menekan jejak karbon seminimal mungkin.