Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Artikel Utama

Ada Padi, Serangga, Wereng dan Bebegig di Pasar Seni ITB

8 Oktober 2010   22:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:36 590 0
[caption id="attachment_283499" align="alignleft" width="225" caption="pematang sawah ITB (2010, Maria H)"][/caption]

Apakah anak anak perkotaan mengetahui bentuk tanaman padi sejak berwujud semaian hingga berbulir ? Apakah mereka tahu proses gabah hingga menjadi nasi yang mereka konsumsi sehari hari ? Mungkin ada yang tahu persis tapi mungkin lebih banyak lagi yang hanya mengenal sosok tanaman padi dari jendela kaca mobil atau kereta api ketika mereka bepergian ke luar kota. Bahkan wereng pun hanya sekedar kata yang mereka baca atau dengar dari media. Bentuknya ? Ah apakah penting untuk mengetahuinya ?

Tanpa disadari kita sudah tenggelam dalam arus kapitalis yang memaksa orang berinovasi dan berkreasi seputar masalah peradaban modern danmelupakan kearifan local. Hingga kampanye lingkungan hidup hanya dimaknai dengan sekedar menanam pohon.

Berdasar pemahaman akan adanya keterkaitan erat antara lingkungan dan seni, Tisna Sanjaya, mengundang sobat sobatnya dan menyelenggarakan diskusi publik dalam rangka persiapan menjelang Pasar Seni ITB ke X. Kebetulan dosen FSRD ITB yang cerdas, “nyeni” sekaligus “nyleneh” ini menjadi Ketua Umum Pasar Seni ITB yang akan diadakan pada tanggal 10,bulan 10 (Oktober) tahun 2010, selama 10 jam, dari pukul 08.00 hingga pukul 18.00 WIB.

Sobat sobatnya itu adalah, pakar lingkungan Supardiyono Sobirin yang membahas seputar sampah dan krisis air. T. Bahtiar yang membahas seputar kepunahan vegetasi dan kerusakan lingkungan dan terakhir Mubyar Purwasasmita yang mengupas keunggulan menanam padi dengan cara SRI (System Rice Intensification) dimana dengan sebulir padi akan muncul serumpun padi.

Mengapa cukup sebulir padi ? karenasebulir benih ataupun segenggam benih padihasilnya akan sama saja. Sesuai hukum alam, ketika kita menanam beberapa  benih padi sekaligus dalam satu lubang, maka yang kuat akan mengalahkan yang lemah hingga dalam satu rumpun hasilnya akan sama yaitu kurang lebih 200 gram – 300 gram gabah basah.

Mengingat makin minimnya lahan untuk bertanam, Mubyar Purwasasmita dan DPKLTS menanam padi dalam polybag. Mungkin terdengar aneh, karena tanaman padi selama ini dikenal sebagai tanaman yang harus ditanam di dalam tanah berlumpur. Tetapi ada penjelasan lain adanya air yang berlebih (hingga berlumpur) memaksa tanaman padi mempunyai akar yang kuat untuk mencengkram, berbeda halnya dengan tanaman padi SRI yang hanya membutuhkan air secukupnya sehingga irit air dan zat harapun tidak habis untuk membentuk akar tetapi disalurkan sebagai nutrisi pembentukan bulir padi.

Pemeliharaannya hampir sama dengan menanam padi biasa, yang membedakan metode SRI mewajibkan tanaman disiram air mol secara rutin. Mol atau mikro organisme lokal selain digunakan sebagai pupuk cair dapat juga menjadi bioaktivator. Terbuat dari sampah organik yang kita hasilkan sehari hari seperti nasi basi, sisa sisa /hasil kupas buah buahan hingga air bekas mencuci beras yang kita kumpulkan dan endapkan. Hasil fermentasi berbagai sampah organik inilah yang digunakan untuk menyuburkan tanaman diantaranya padi. Penjelasan lebih lengkap dan rici tentang mol silakan klikdisini.

Rupanya Tisna Sanjaya dan mahasiswanya mendapat ide untuk mengubah lahan timur ITB menjadi sawah. Maka ratusan padi dalam polybag ditanam pada bulan Juli 2010 dengan perhitungan pada saat pesta Seni berlangung yaitu bulan Oktober padi sudah berbulir penuh.

Berhasilkah ? Cukup berhasil mengingat tidak ada seorangpun diantara mereka adalah petani. Artinya mereka hanya berpatokan pada teori. Mubyar Purwasasmita sebagai Ketua Harian DPKLTS (Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda) beserta teamnya memang sudah beberapa kali menanampadi dalam polybag tetapi pemeliharaan diserahkan pada petani yang berniat mempraktekkan SRI.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun