“JKN rampung 2019? mustahil!”. Itulah tanggapan seorang pendidik di sesi kelas yang saya ikuti. harapan ini masih jauh nampaknya, melihat performa Jaminan Kesehatan Nasional (baca: JKN) saat ini. Seperti diketahui, JKN terlahir prematur! menurut seorang Ahli Kebijakan kondisi ini bukanlah masalah, “ibarat perahu, disempurnakan sambil berlayar” ujarnya. Apa iya, kapal yang belum sempurna bisa berlayar? Jangan-jangan ditengah perjalanan, kapal justru akan karam dan tenggelam!, hal ini bisa saja terjadi dengan JKN, apalagi dalam waktu dekat Presiden Jokowi akan meluncurkan kartu Indonesia Sehat (baca: KIS), kemungkinan dua: JKN dan KIS bisa jalan seiring saling melengkapi, atau bisa jadi JKN terlindas oleh KIS, dan mati!.
JKN merupakan “produk cloning” Asuransi Kesehatan Nasional (baca: AKN) yang sudah lebih dulu diterapkan di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Tidak salah bila kita meniru sistem yang memang sudah terbukti bagus dan dapat membawa kebaikan untuk rakyat. namun yang menjadi masalah kita mengekor sebagian sistem produk yang hampir gagal, Alamak!. Disebut-disebut JKN mirip dengan Obama Care (baca: OC). berdasarkan hasil studi di Massachusets: ditemukan banyak kekurangan dan banyak yang tidak puas dengan OC (sumber: Dunlop, 2014). Karena OC pula, kredibilitas Presiden Obama menurun hingga 40%! (sumber: JKN, Hasbullah T).
Lantas bagaimana performa JKN setelah berjalan 10 bulan?? disini penulis akan mencoba mengulas JKN berdasarkan beberapa kejadian aktual dilapangan dilihat dari perspektif SDM.
KETIKA HARAPAN TAK SESUAI KENYATAAN
Mulai dari antrian layanan hingga pingpong pasien!
Sejak diluncurkannya JKN, jumlah pasien di fasilitas kesehatan meningkat tajam, sehingga pasien menumpuk. Pasien harus mengantri lama untuk mendapatkan pelayanan, Overload pasien membuat kualitas pelayanan buruk! banyak fasilitas Kesehatan yang belum siap menghadapi lonjakan pasien. Mulai dari jumlah petugas kesehatan yang tidak sebanding dengan jumlah pasien, hingga kapasitas bed yang tidak cukup. Saat ini sedang santer diberitakan terjadinya kematian pasien JKN lantaran RS tidak bisa menampung pasien sehingga tidak tersentuh medis. (sumber: transtv 31/10/1014). tragedi ini merupakan pukulan keras buat pemerintah!.
Masalah lain mengancam, pasien juga dihadapi risiko “dipingpong”! bisa dibayangkan derita pasien JKN sudah lama-lama mengantri, dengan badan sakit, eh harus menerima kenyataan harus merujuk ke RS lain, bahkan ada yang dirujuk ke RS yang jauh jaraknya. “ada pasien JKN dibekasi dirujuk ke RS di Bandung!” . alamak, sudah sakit semakin sakit! padahal JKN menganut prinsip portabilitas dan berlaku sama disemua daerah, habit PT. ASKES terdahulu yang menganut “Rayonisasi” (sistem rujukan berdasarkan rayon) terbawa ke JKN menjadi penghambat tersendiri. (sumber: JKN. Hasbullah T).
Mulai dari pelayanan yang emoh pakemoh hingga obat yang asal ada!
Ada pula yang mengeluhkan sikap petugas kesehatan yang diskriminatif terhadap pasien JKN, berbeda perlakuan dengan pasien yang non JKN. Sikap petugas kurang menyenangkan, Bahkan ada yang ditolak berobat! Seperti yang terjadi di Pekanbaru, pasien JKN merasa dilecehkan dan diperlakukan diskriminatid dari dokter RS Syafira. (sumber: beritariau.com). Kenapa begini?
keluhan lainnya, obat yang diberikan ke pasien JKN terkesan “asal ada”, tidak bermutu! tampilan obat tidak menarik, obat telanjang tanpa kemasan (yaslis I menyebutnya: porno farmasi), obat yang diberikan juga itu-ituuu aja! (sumber: yaslis I) Sakit maag obatnya itu, sakit kepala obatnya itu, sakit gigi juga itu obatnya! kondisi ini tentu menurunkan “kredibiltas” JKN dan membuat peserta menilai JKN adalah asuransi abal-abal, tidak berkualitas dan ujung-ujungnya pasien tidak puas!
Blind Customer; moral hazard menghantui
Peserta JKN adalah “blind Customer”, terlemah posisinya ketika akan menggunakan haknya di pelayanan kesehatan. Pasien cenderung tidak tahu “pelayanan apa yang seharusnya didapat” sesuai dengan penyakitnya. Gap ini menyebabkan rentannya “Moral Hazard” yang dilakukan oleh petugas kesehatan. terlebih lagi bila peserta JKN tidak tahu “pasti” hak-haknya. Peserta yang sudah faham saja bisa “dimanfaatkan”, apalagi tidak faham.
Out Of Pocket (OOP)