Nenek Aminah duduk di beranda. Menikmati teh panas dan nasi uduknya. Alida menghampiri dengan rambut yang masih agak basah setelah mandi.
“Salam likum, Nek,” sapa Alida seraya duduk di kursi kosong. Mengambil bungkus nasi uduk. Membukanya. Memakannya.
“Ndak baca bismilah to?”
“O iya, lupa, Nek,” Alida cengengesan. “Bismillah awwaluhu waakhiruhu...” ia melanjutkan.
Nenek Aminah menoleh. “Baca apa kamu?”
“Baca bismilah, Nek.”
“Kok gitu?”
“Ah, Nenek payah ni. Kalau makan terus kita lupa baca bismilah terus ngebacanya pas sedang makan, baca gitu, Nek. Artinya, dengan nama Allah di awal dan di akhir...”
“Sok tahu kamu...”
Nenek Aminah menyembunyikan rasa malunya.
“Kamu kira Nenek nggak tahu bacaan kayak gitu?” Nenek Aminah memulai lagi.
“Tadi kok tanya?”
“Aku bukan tanya, aku cuma ngetes. Bener apa nggak kamu paham artinya. Ternyata kamu memang lumayan hebat.”
“Siapa dulu dong Bapaknya...”
“Bapakmu itu siapa dulu dong ibunya...”
Alida menyambar pete bakar. Makan nasi uduk tanpa pete bakar rasanya kurang gimanaaa gitu.
Nenek Aminah tak mau kalah. Ikut mengambil pete bakar lain. Keduanya kemudian tenggelam dengan santapan pagi masing-masing.
*
Beberapa saat kemudian, Alida sudah berada di belakang kemudi, mengantarkan Neneknya ke rumahnya di kawasan pinggiran kota.
“Kenapa sih Nenek nggak tinggal sama kami aja?” tanya Alida setelah beberapa lama saling diam.
Jalan agak lengang. Tak ada kendaraan di belakang maupun di depannya. Hari masih agak pagi. Sekitar pukul 10.00.
“Kamu mau direpotkan sama aku?” Nenek Aminah balik bertanya.
“Hidup kan memang harus ada repotnya, Nek.”
“Lagi pula Nenekmu ini masih bisa mengurus dirinya sendiri. Nenek nggak mau merepotkan kalian. Jangan sampai kalian sempat berpikir merumahkan aku di rumah Panti Jompo.”
Alida ketawa kecil. “Ya nggak mungkinlah.”
“Eksekusinya mungkin nggak. Tapi, siapa tahu sesekali terlintas di benak kalian.”
“Ah, Nenek mah terlalu berprasangka.”
“Masih lebih baik dari pada easy going.”
Tiba-tiba sebuah sepeda motor menyalip mobil Alida. Berhenti di depan. Alida menginjak pedal rem sembari memuntahkan serapah.
Dada Nenek Aminah langsung berdebar.
Alida mengambil semata buah pete dan memamahnya. Untuk berjaga-jaga. Ia cukup sering membaca dan mendengar cerita tentang perampok bersepeda motor yang sengaja memilih korban kaum wanita yang dianggap lemah.
Kini, ia merasa sesuatu yang sama akan menimpanya. Ia cuma berdua dengan neneknya, seorang perempuan renta.
Salah satu dari pengendara sepeda motor itu melompat turun. Tanpa membuka helm di kepalanya, ia menghampiri Alida sebelum ia sempat membuka pintu dan turun.
Pria pembonceng sepeda motor itu menggetok-getok kaca jendela mobil. Meminta Alida membukanya.
Nenek Aminah gemetar.
Sekilas Alida melirik neneknya. “Nenek tenang aja,” katanya.
Ketika Alida menoleh, laki-laki itu menyibakkan jaket hitamnya dan memperlihatkan sebuah belati yang terselip di pinggangnya.
Alida menurunkan kaca jendela mobilnya. Begitu kaca jendela terbuka, laki-laki itu membentak Alida.
“Serahkan dompet, tas, ponsel...!”
“Tenang....tenang...” kata Alida.
Ia menyerahkan ponselnya. Dengan cepat laki-laki itu menyambar. “Dompet! Tas!”
Alida memberikan dompetnya.
“Tas! Mana Tas?”
“Sebentar.” Alida menjemba tas di kursi belakang dengan tengan kirinya. Begitu tas sudah dalam genggamannya, tanpa terduga ia menyikut wajah si perampok yang sedikit masuk ke dalam mobil. Sekeras-kerasnya.
Kena serangan tak terduga, si perampok terpental sambil memerentetkan kata-kata sampahnya. Dengan cepat Alida membuka pintu mobil. Laki-laki yang belum sepenuhnya sadar apa yang terjadi, kembali kena tendangan keras Alida. Persis di dadanya. Ia terjerembab jatuh ke belakang.
Si pengendara sepeda motor yang sedang menunggu dengan cepat turun untuk membantu. Sebilah pisau di tangannya. Ia berlari menghampiri Alida. Namun, Alida dengan cepat melayangkan tendangan kaki kirinya. Laki-laki itu nyaris terjatuh.
“Kurang ajar! Sok jago ni wadon!” teriaknya marah.
Ia langsung menghunjamkan pisau ke wajah Alida. Nenek Aminah berteriak-teriak ketakutan. Berteriak-teriak minta tolong. Entah kepada siapa. Tak ada sesiapa lagi di tempat itu.
Alida berkelit. Tangan kirinya melipat tangan kanan si perampok. Si perampok berteriak kesakitan. “Buset! Tangan gua patah!”
Masih melipat tangan kanan si penjahat, tangan kanan Alida dengan cepat memberi pukulan hook ke rahang laki-laki itu. Keras sekali. Laki-laki itu terkapar. Matanya berkunang-kunang. Ia langsung KO.
Si laki-laki yang pertama kali menyerang Alida sudah bangkit. Penasaran, ia kembali menyerang Alida. Alida merunduk menghindari pukulan laki-laki itu. Pada saat yang sama, kaki kirinya menyapu kedua kaki lawannya. Laku-laki itu jatuh terduduk.
Alida menyergap. Melompat ke dada laki-laki itu. Sembari menekan kedua lengan si penjahat, Alida mendekatkan mulutnya ke wajah laki-laki itu. Dengan sekuat tenaga ia mengirimkan embusan mulutnya yang baru saja memamah pete segar ke wajah laki-laki itu.
“Huek! Huek! Huek!” laki-laki itu bereaksi. “Ampun....ampun...”
Alida mengirimkan sebuah tamparan keras pada pipi laki-laki itu sebelum bangkit. Laki-laki itu seperti kehabisan tenaga untuk memberikan perlawanan. Ia telentang pasrah.
Alida bangkit. Dengan cepat ia mendorong sepeda motor yang menghalangi mobilnya ke pinggir jalan. Mendorongnya begitu saja sampai sepeda motor itu ngusruk.
Setelah itu, ia kembali ke dalam mobil. Seperti tak pernah terjadi apa-apa.
“Beres kan, Nek...” katanya kepada Neneknya sebelum menginjak pedal gas mobil dan kabur dari tempat itu.
Nenek Aminah tak bisa berkata apa-apa.
“Mereka pikir bisa seenaknya merampok perempuan apa?” Alida berkata setelah menjauhi tempat itu.
“Kamu bener nggak apa-apa, Lida?” tanya Neneknya sembari memelototi tubuh cucunya.
“Nenek lihat sendiri aja.”
“Di mana kamu belajar berkelahi?”
“Aku nggak belajar berkelahi, Nek. Aku belajar membela diri.”
“Kamu kan perempuan, Nak. Tak sepatutnya kamu bertindak seperti itu.”
Alida tertawa terkikik.
“Kalau nggak begitu, berarti ponsel, dompet, dan tas nenek sudah pindah tangan dong, Nek.”
“Mama dan papamu tahu?”
“Tahu apa?”
“Kamu kayak gini?”
“Tahu dong, Nek.”
“Mereka nggak melarang?”
“Percuma.”
“Maksudnya?”
“Aku nggak bisa dilarang. Alida unstoppable.”
Nenek Aminah menggeleng-gelengkan kepala. Namun ia belum bisa mengusir deg-degan di dadanya. (Bersambung)
* aba.mardjani@yahoo.com
Ni Bagian 2-nya