“Menikah aja dengan batu-batu akikmu, Pa,” katanya sinis, membanting tubuhnya tanpa memandang suaminya.
“Edan kamu ya...” komentarnya singkat. Matanya terus mengamati batu-batu akiknya.
“Tiada waktu tanpa batu. Aku diangguri terus. Percuma kita banyak uang Pa kalau Papa jadi nggak perhatian sama aku....”
“Nggak usah lebai. Biasa aja. Kalau aku nggak perhatian sama kamu dan berpaling kepada wanita lain, itu baru kamu boleh cemburu. Masa’ kamu cemburu sama batu-batu akik ini?”
“Bukan gitu, Pa. Tapi, sejak booming batu akik, kamu berubah 180 derajat.”
“Kayaknya cuma perasaan dek Meiske aja.”
Meiske memperlihatkan wajah sewotnya.
“Tidur masih kutemani. Kalau kamu mau begitu pun aku selalu siap tempur. Ke pasar masih kuantar. Dan aku hampir nggak ke mana-mana. Kapan kamu butuhkan aku selalu siap. Aku bahkan sudah jadi suami siaga bahkan sebelum kamu hamil dan melahirkan.”
“Tapi sikap Papa dingin. Nggak hangat seperti sebelumnya.”
Sardan tertawa.
“Oke...oke...” katanya sembari membereskan batu-batu akiknya dan memasang dua cincin berbatu hijau dan merah di jari manis tangan kanan dan kirinya.
“Sekarang Mama mau ke mana? Papa siap mengantar. Makan di luar kita hari ini? Ke Puncak? Ke mana saja Papa siap mendampingi...”
“Nah gitu dong.”
*
Dua hari menjelang ikut lomba batu akik di sebuah mall di Jakarta, Sardan mengalami malam serupa seperti malam-malam sebelumnya.
Sosok dengan pakaian serbaputih dan berambut panjang itu memasuki kamarnya nyaris tanpa suara setelah Meiske terlelap.
Rasa ingin tahunya membuat Sardan membiarkan sosok serbaputih itu melayang keluar. Sardan mengikutinya. Memasuki kamar kosong di sebelah kamarnya.
Betapa terkejutnya Sardan ketika sosok serbaputih yang ternyata seorang perempuan itu langsung berada di hadapannya ketika ia membuka pintu.
Sardan tergeragap. Tak bisa berkata apa-apa.
Sesaat kemudian sosok perempuan itu sudah menyambar tangannya dan menggenggamkan seraup batu akik di tangannya.
“Bawa ini ke lomba nanti. Kamu akan menang,” katanya. Suaranya seperti desiran. Tapi jelas di telinga Sardan.
Sardan belum berkata apa-apa, tahu-tahu sosok perempuan dengan pakaian serbaputih itu sudah tak ada lagi di hadapannya.
*
Lomba batu akik di sebuah mall di Jakarta berlangsung meriah. Para pakar batu akik, penggemar batu akik, membaur dengan para peserta. Panitia pun semringah melihat begitu banyak penonton yang melihat batu-batu akik yang dipamerkan.
Tahap demi tahap diikuti Sardan didampingi istrinya. Delapan batu akiknya selalu lolos dan terus meningkat ke babak selanjutnya.
Sampai akhirnya, Sardan menyapu semua gelar. Benar-benar di luar dugaannya. Batu akik badar lumut milik Sardan dianggap paling istimewa karena di dalamnya nampak seperti sebuah gambar pintu istana antah berantah yang ditumbuhi lumut namun begitu terang.
Bacan doko dan palamea milik Sardan juga mengalahkan semua pesaingnya. Penonton dan pemburu batu akik terheran-heran dengan kehijauan doko milik Sardan. Warna hijaunya begitu bening namun begitu disorot dengan lampu senter, seperti ada warna putih yang melintas di dalamnya.
“Dari mana Pak Sardan dapet ni batu?” tanya Marsudi, ketua juri lomba yang seperti enggan melepaskan batu bacan doko di tangannya.
“Panjang ceritanya, Pak,” kata Sardan dengan wajah ceria.
“Mau dilepas berapa ini?” Marsudi kembali bertanya.
Sardan melirik istrinya.
“Tiga ratus bolehlah...”
“Tiga ratus ribu?”
“Juta...”
“Apa?”
Seiring dengan pertanyaan itu, sejumlah penonton mengacungkan tangan. “Saya ambil...saya ambil...saya ambil...” terdengar suara gaduh.
Marsudi tersenyum. “Baiklah. Kita semua sudah tahu harganya. Transaksinya nanti saja,” katanya meredam kegaduhan.
Bacan palamea dari Palamea milik Sardan juga sangat istimewa. Warna biru dominan di pinggir-pinggirnya, lalu di tengahnya warna hjau beningnya nampak kentara. Anehnya, begitu disorot dengan senter, warna hijau dan kebiruan itu seperti berpindah-pindah membuat kolektor baru akik terlongong-longong.
“Nah, kalau yang ini berapa mau dilepas, Pak Sardan?”
Sardan kembali melirik Meiske yang selalu gagal menyembunyikan senyumnya. “Tujuh ratus lima puluh saya lepas, Pak...” kata Sardan.
Kembali sejumlah orang mengacungkan tangan.
“Saya bayar!”
“Saya kasih duit tunai. Sekarang!”
“Buat saya saja!”
“Jangan! Saya berani delapan ratus!”
“Sabar...sabar...sabar...ini bukan arena lelang. Transaksi belakangan. Mari kita lihat batu-batu akik Pak Sardan yang lainnya...” pekik Marsudi.
Selain tiga batu akik itu, lima batu akik lainnya juga terpilih sebagai pemenang. Blues Saphire-nya istimewa. Calsedonnya memukau. Giok Aceh-nya tak ada lawan. Combongnya mendecakkan. Kalimaya-nya membuat mulut penonton menganga.
“Ternyata kita punya jagoan baru untuk penggemar dan kolektor batu kaki,” kata Marsudi sebelum menutup acara. “Kepada saya, Pak Sardan hari ini memang cuma membawa delapan batu. Di rumahnya masih berserakan batu-batu jenis lain seperti Batu Sungai Dareh, Giok, Kecubung, Lavender, Topaz, Ruby, dan entah apa lagi. Kita akan tunggu di lomba berikutnya apa yang nanti bakal ditampilkan Pak Sardan.”
“Hidup batu akik! Hidup batu akik!”
*
Menjelang sore Sardan dan Meiske memasuki rumah dengan satu tas berisi uang hasil penjualan batu-batu akik pemenang lomba dan batu-batu lain koleksinya.
Di dalam kamar keduanya membuka tas penuh uang.
“Gila, Pa!” Meiske berteriak berbinar-binar. “900 juta nggak kurang. Belum lagi yang langsung ke rekening Papa. Berapa tadi jumlahnya? Rp1,7?”
Sardan menimang-nimang uangnya.
“Awas lho, Pa...”
“Awas apa?”
“Papa kawin lagi. Biasanya laki-laki begitu. Lagi miskin setia sama satu istri. Begitu banyak duit langsung kepingin cari istri kedua, ketiga...”
“It’s never happen. Nangte aja...”
“Di depanku nangte, di belakang?”
“Gini deh. Ini uang kamu yang pegang. Buku rekening kamu yang pegang. Kamu bisa cek jumlahnya...”
Masih dengan wajah yang berubah agak cemberut, Meiske ikut memegang-megang uang di dalam tas.
“Bahaya juga kalau kita simpan di rumah ya, Pa.”
“Iya. Tapi tadi ‘kan sudah nggak keburu ke bank.”
“Tapi, mudah-mudahan nanti malam aman...”
*
Junet dikelilingi tiga laki-laki bertubuh kekar di sebuah rumah. Si Botak, Masjur, dan Sember.
“Jadi, kalian sudah tahu kan berapa banyak kira-kira duit Pak Sardan itu?”
Ketiga orang di hadapan Junet belum bersuara. Menunggu.
“Aku yakin ini malam dia masih menyimpan sebagian uangnya di rumah karena tadi kan hari Minggu. Jadi, dia pasti belum sempat masukin uangnya ke bank.”
“Jadi kita satroni malam ini, Bang?” Sember yang suaranya besar bertanya.
“Ya iyalah, Mber. Malam ini!” Junet melotot.
“Aku yakin masih ada ratusan juta di rumah terpencil itu. Operasi kita pasti aman,” Si Botak ikut bersuara.
“Persiapkan semua peralatan yang diperlukan. Jangan sampai ada yang kelupaan!”
“Beres, Bos!” Masjur melengking. (Bersambung)