Hari masih gerimis. Rumah sudah makin ramai. Semua keluarga telah berdatangan satu persatu sejak sepekan yang lalu. Pakdhe Ayik, Budhe Gayatri, bahkan adik ayah yang paling bungsu pun menyempatkan untuk berkumpul disini. Seperti akan ada hajatan besar. Aku berdiri mematung di sudut ruangan, masih bermain-main dengan rintik hujan yang berembun di sebalik kaca. Februari adalah bulan yang istimewa buatku. Pada bulan ini aku dilahirkan. Dan aku selalu merayakan hari lahirku itu setiap tahunnya dengan penuh sukacita. Walaupun jarang ada orang yang ingat, aku memang lebih sering melewatkannya sendiri dengan sebatang coklat, teh hijau hangat dan diary kecil yang mendokumentasikan semua mimpi-mimpiku. Sepekan lagi aku berulang tahun ke dua puluh empat. Diary bersampul
artwork wool biru laut yang kubuat sendiri itu telah lekat di tanganku. Sementara, embun di pelupuk mata ini semakin menganak sungai ketika membolak-balik lembar demi lembar halamannya. Kutandai satu persatu peristiwa demi peristiwa, harapan demi harapan yang pernah kuabadikan lewat kalimat, potongan-potongan gambar, juga lirik-lirik lagu yang manis. Banyak hal yang telah terlewat, banyak pula mimpi yang telah berhasil kuwujudkan. Tiga bulan yang lalu aku sudah menyelesaikan studi pasca sarjana pada Fakultas Ilmu dan Budaya Universitas Indonesia. Selama itu pula aku sudah mengunjungi beberapa Negara di Asia dan Eropa untuk mengikuti berbagai kegiatan sastra dan diskusi lintas budaya. Tak terhitung lagi berapa pelatihan, buku, pesta, apalagi karya-karya yang sudah kubuat. Aku juga masih dipercaya sebagai tenaga ahli pada lembaga Kementrian. Ayah dan Ibu sangat bangga, sebab bersamaan dengan itu karirku sebagai penulis juga semakin diakui. Apa lagi yang kucari? Semua telah kuraih. Ilmu, pendidikan, teman, kesempatan, pengakuan… kecuali, kamu. “Dik Jani, akhirnya selesai juga studi magistermu. Jadi tahun ini ya?” Mas Lanang membisikkannya tepat di telingaku ketika aku masih berseragam lengkap dengan toga serta sibuk menerima berbagai selamat dari kerabat dan sahabat. Mataku menyergap semua cinta dan keyakinan Mas Lanang. Senyumku kala itu mungkin diartikan sebagai tanda persetujuan. Aku tergagap. Tak ada sesuatu yang mampu kuucap, sebab…mengingatmu! Lima musim setelah kita berjumpa di sebuah mal dulu hingga hari ini, seperti masih ada sisa senyummu yang malu-malu pada setiap pagi ketika aku membuka mata. Ingatan gerimis di lantai mal paling atas saat senja, bersama mata sipitmu yang semakin pejam ketika kau tertawa saat kugoda itu, ah…siapa yang mampu melupakannya? Mungkin sebagai lelaki kau pikir bahwa aku adalah satu dari sepuluh wanita lain yang bisa kau pilih kapan saja kelak ketika kau butuh. Masa ketika kau siap untuk merenda cinta dalam sebuah janji suci bernama perkawinan. “Aku belum memilih siapapun. Aku harus pergi untuk melanjutkan studiku ke Perancis.” Tanganmu dengan cekatan berpindah dari satu buku ke buku. Aku mengekor kemanapun rak buku yang kau tuju. “Tak ada siapapun kah di hatimu?” “Tak ada. Atau entahlah, sebab jodoh siapa yang tahu…yang jelas aku ingin belajar dulu.” “Sampai kapan mau sendiri?” “Sampai dalam waktu yang lama. Anjani juga mau meneruskan studi dulu kan?” Kali ini kau hantam desir-desir di jantungku lewat panah tatapmu. Tatap yang pertama sekaligus terakhir, sebab setelah itu kita tak pernah benar-benar meluangkan waktu untuk berjumpa berdua saja. Kekasih, apa kau tahu tentang rindu yang mengepak jauh pada langit kuasaku ini? Tak terbatas, bahkan ketika aku melewati waktu demi waktu, cerita baru, dan beberapa lelaki yang datang dan pergi dalam kehidupanku hingga akhirnya aku menemukan Mas Lanang. Laki-laki yang lebih dari sempurna untuk bisa menjadi pendampingku melewatkan hari tua kelak. Tapi adakah hari tua yang kuimpikan itu jika tanpamu? Sebab sejak gerimis senja itu aku hanya mampu bernafas bersama perasaan jatuh cinta sejak pertemuan pertama kita. “Kehidupan masa depan seperti apa yang diinginkan oleh seorang Anjani?” Ucap Mas Lanang setahun yang lalu, pada ulang tahunku yang ke dua puluh tiga. Kami melewati makan malam yang indah di sebuah
restaurant di Yogyakarta. Kala itu kami kebetulan sedang mendapat
project berdua. Dua minggu penuh kami kerja berdua men
survey sawah-sawah di seputar Sleman, Bantul hingga Kulon Progo untuk mendapatkan data pengaruh perubahan iklim terhadap aktivitas pertanian. Kubetulkan syalku untuk mengalihkan rasa gugup. Seperti biasa Februari selalu berkisah tentang gerimis. Sayup-sayup terdengar lagu
Marry Your Daughter dari Brian McKnight mengalun menghangatkan malam yang makin dingin. “Anjani mau banyak anak, mas.” kujawab dengan apa saja yang terlintas di otakku. “Wah, kok bisa? Suka keramaian ya?” Mas Lanang terkekeh. “Bukan suka keramaian. Tapi sudah bosan dengan sepi.” Sepi tanpamu, kekasih. Apa kau tahu? Kurang apa lagi Mas Lanang jika dibandingkan denganmu? Mas Lanang selalu ada pada setiap waktu aku butuh sedang kau hanya bisa kuamati lewat tulisan-tulisan yang termuat di laman weblog pribadimu dan media-media ibukota. Aku mengagumi semua pencapaianmu dari tempatku. Berharap kau akan segera kembali untuk menuntaskan semua pertanyaan-pertanyaan yang terlalu sering kujawab sendiri. Aku mengecek aktivitas virtualmu pada detik tiap aku rindu. Padahal tiap detik itulah aku berharap dapat mengulang pertemuan kita. Sekali saja. Bolehkah? “Kalau mas ingin serius sama Anjani, boleh ya? Menurut Anjani, apa mas Lanang bisa jadi imam yang baik buat Anjani?” Kosong. Gigil. Kenapa bukan kamu yang menyampaikan hal ini meski hanya lewat akun
facebookmu, kekasih? Mas Lanang yang berbadan tegap ini bahkan sudah sangat akrab dengan ayah dan ibu sebab sikapnya yang memang manis pada siapa saja membuat banyak orang mudah menyukainya. Kau? Hanya sekali waktu menyapaku lewat
social media, itupun adalah sapaan yang sama yang kau berikan untuk teman-temanmu yang lainnya. Berbeda denganmu, aku mengenal Mas Lanang sebab urusan pekerjaan. Hari ketika aku mendapatkan penghargaan atas
project sosial kemasyarakatan yang kugagas bersama teman-teman untuk beberapa daerah marginal di Depok. Mas Lanang adalah seorang staf ahli pada lembaga kementrian yang memberikan apresiasinya pada kerja tim kami. Mas Lanang kemudian mengajakku untuk bekerjasama pada beberapa
project yang sedang digarapnya. Dia sungguh rekan kerja yang sangat baik. Tapi tak cukup bisa menggantikan bayanganmu di sinar mataku. Oh! Kekasih, banyak yang bilang aku dan kamu punya semacam hubungan yang tak biasa. Yang seperti kekasih. Seperti ketika kau mengabarkan lewat
email-email semua prestasi-prestasimu disana lengkap dengan foto-fotomu. Dan kubalas dengan ucapan selamat yang panjang lebar. “Adakah hatimu sudah terisi?” Kuselipkan kalimat itu dengan malu-malu pada sebuah surat. “Anjani, aku pasti akan kembali dengan banyak cerita yang bisa kita bagi berdua saja dengan gerimis.” Kalimat yang biasa kau ucapkan diakhir surat-suratmu. Ah, sudah tak terhingga kuukir cerita denganmu lewat mimpi-mimpi malamku. Tapi seberapa indah mimpi jika tetap mimpi? “Kau sahabat terbaik. Aku bangga pada semua yang telah kau raih.” Sahabat. Sebatas sahabatkah seorang yang ingin kau ajak menyulam kisah berdua saja ketika kau kembali nanti? Seribu mungkin tidakcukup adil untuk membalas kebaikan Mas Lanang. Pun kudengar kisah tentangmu yang sempat bertukar rindu dengan seorang perempuan selain aku. Kau bisa mengungkapkan rindu pada perempuan itu, tapi kenapa tidak untukku? Tapi siapa aku dimatamu? Kilat rasa yang kutebus dengan harapan kosong menahun di matamu dahulu, bukankah hanya aku yang merasakan getarnya? Kukirim chat singkat ke
inboxmu. Barangkali untuk yang terakhir. “Seorang lelaki datang padaku. Memintaku untuk menjadi istrinya.” Rasa debar di jantungku demikian tak terlukis tatkala menanti balasan
chat darimu. Hingga sebelum gerimis kembali berubah menjadi badai, air mataku menutup hari membaca pesan darimu. “Jika ia lelaki yang baik, terimalah. Aku turut berbahagia.” Ada banyak kisah tentang pecinta yang akhirnya justru memutuskan tak menikah sebab terlalu mencintai kekasihnya namun gagal untuk memilikinya seumur hidup. Kebanyakan dari mereka memutuskan untuk menjadi
traveler, penulis atau
workaholic yang gila. Aku sudah menjalani itu pada hari-hari kemarin. Jendela kaca masih basah. Rumah semakin riuh. Seperti akan ada hajatan besar. Aku sudah duduk di pelaminan bersama Mas Lanang. Hari ini aku ingin menjadi harapan yang baik baginya, bukan sebab waktu yang tak sabar untuk menunggu, namun untuk memberi tahu pada dunia, bahwa tak ada lebih banyak lagi cinta yang sedih. Kuputuskan untuk mengakhiri semuanya. Sajak-sajak rindu :
1. Aku pernah melihat kau terpaku memandangku. Kukira memang itu jati diri yang kau berikan untuk semua wanita. Benar, aku memang tak ingin terlalu dini menyimpulkan. Karena itu, ijinkan aku membungkus rasa penasaranku rapat- rapat di sudut hatiku yang paling dalam, dan memberikan satu kode : aku menunggumu. 2. Aku wanita biasa. Bukan sesuci bidadari yang dapat menghijab hatinya. Jangan salahkan waktu dan takdir jika membawa kita dalam satu fase yang sama. Mata kita beradu dan malu- malu mengatakan hal yang berbeda. Aku bilang : sekarang saja. Kau bilang : nanti dulu 3. Kubilang aku tak suka sikapmu. Kubilang hatiku bukan permainan. Kau bersikap tak butuh. Aku menjawab acuh. Kita angkuh. Lalu, makin terpisah jauh. 4. Mataku berkaca. Pipi sudah kering, karena telah sembab dari kemarin. Aku tau cintamu masih sama. Namun hatiku, telah dibeli mahal oleh dia yang berjiwa kesatria. Kini kuberi kau satu nasehat : cinta adalah sama dengan lomba lari. Dan aku adalah garis finishnya.
KEMBALI KE ARTIKEL