Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Welcome to Asia Spring!

20 Januari 2014   17:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39 231 0
Mengawali paparan ini, sebaiknya perlu dipertanyakan dulu: “Ingatkah akan terminologi Colour Revolution atau Revolusi Warna?”. Jika masih paham, syukurlah. Tetapi jika lupa atau kurang memahami, semoga review ini bisa membangkitkan kembali. Hal ini diperlukan karena erat kaitanya dengan materi bahasan sesuai judul catatan ini. Inilah uraian secara sederhana.

Revolusi Warna

Bermula dari istilah media-media mainstream memotret gerakan massa di negara-negara pecahan Uni Sovyet, Pakta Warsawa atau Balkan dekade 2000-an dulu, sepertinya Colour Revolution memang bukan gejolak massa biasa. Ia tidak bersifat spontan, tak juga gerakan alami, namun  merupakan setting politik tingkat tinggi mengatas-namakan gerakan rakyat. Entah kenapa, sebutan pada setiap gerakan selalu mengadopsi nama serta warna-warna bunga.

Tengok gerakan di negara-negara pecahan Uni Sovyet dulu. Ada Prague Spring di Czechoslovakia (1989), selanjutnya di Baltic (2000), Revolusi Mawar di Georgia (2003), di Serbia (2003), ataupun Revolusi Oranye di Ukraina (2004), kemudian Revolusi Rose di Georgia (2004), ataupun Revolusi Cedar di Lebanon (2005), di Uzbekistan muncul "Bolga" (Hammer) era 2006-an, di Belarus timbul Revolusi Denim atau Revolusi Vasilykovaya (2008), Revolusi Podsnezhnikov di Armenia (2009), di Moldova bernama Revolusi Kirpichey atau Revolusi Kafelynaya (2011-2012), Revolusi  Tulip di Kyrgyzstan (2010-2011), bahkan Rusia terkena imbas gerakan bertajuk Revolusi Snezhnaya atau Myatezhom Hipsterov, kemudian Bulagria (2013) dan lain-lain.

Cina pun meski di luar jajaran Pakta Warsawa sempat terlanda revolusi "Tiananmen Square" (2001), termasuk Venezuela (2005) dan Negeri Para Mullah (Iran) melalui dua operasi yakni White Revolution (Operasi Ajax) dekade 1989 dan "Revolusi Hijau" (2009), kemudian Syria, Libya, dll. Jujur harus diakui, tatkala Revolusi Warna menjalar di luar kawasan Pakta Warsawa terbukti banyak gagal atau out of control, meski kenyataannya akhirnya kadar gerakan justru ditingkatkan menjadi perang sipil atau pemberontakan bersenjata, sebagaimana kejadian di Libya, di Syria, dan lain-lain.

Arab Spring

Sedangkan gerakan massa di Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara), khususnya  kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang hingga tulisan ini terbit masih belum ada tanda-tanda reda. Ia dijuluki oleh media-media dengan istilah Arab Spring atau Musim Semi Arab, ataupun “Kebangkitan Dunia Arab”. Jadi tidak lagi disebut sebagai Revolusi Warna. Menarik memang. Betapa “ruh” dan esensi kedua gerakan massa (Revolusi Warna dan Arab Spring) ternyata tak jauh berbeda, artinya kemasannya terkesan tak serupa namun secara hakiki jelas sama. Kesamaan ada di logo berupa “Tangan Mengepal”, dan slogan gerakan serba singkat yang dimaknai “cukup”. Awal gerakan di Mesir misalnya, berslogan Kifaya artinya cukup, gejolak di Georgia disebut Kmara juga maknanya cukup, di Ukraina namanya Pora (waktunya), di Kyrgystan slogannya Kelkel (zaman baru) dan lain-lain.

Baik Revolusi Warna di jajaran Pakta Warsa, maupun Arab Spring yang menerjang kelompok negara Jalur Sutera, sejatinya serupa tetapi tak sama. Itulah pemaknaan mutlak yang harus dipahami bersama. Oleh sebab hampir semua gerakan memiliki ciri tanpa kekerasan (non-violent resistance), sangat berperannya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk di dalamnya ialah kelompok pemuda serta mahasiswa sebagai ujung tombak. Barangkali perbedaan gejolak massa hanya pada waktu, tempat dan nama gerakan saja!

Gerakan Non Kekerasan untuk Ganti Rezim

Tuntutan utama dalam revolusi non kekerasan ini ialah GANTI REZIM melalui langkah awal penyebaran isue-isue lazim seperti demokratisasi, hak azasi manusia (HAM), pemimpin tirani, kemiskinan, korupsi dan lain-lain. Tujuannya guna menciptakan opini publik agar menggumpal rasa “ketidakpercayaan rakyat kepada elit dan pemimpinnya”. Inilah “master virus”-nya revolusi yang harus ditancapkan di benak segenap massa di negara-negara yang menjadi target. Tak bisa tidak.

Selanjutnya, adanya kesamaan pola-pola dalam gerakan ganti rezim ini, karena mereka berpedoman pada “buku wajib” berjudul From Dictatorship To Democracy-nya Gene Sharp, sarjana senior Albert Einstein Institute (AEI). Ya. Melawan rezim tanpa senjata ialah metode baku, bahkan menjadi kunci strategi demi keberhasilan atas model gerakan semacam ini. Sasarannya ialah memanipulasi dan mencuri simpati publik melalui media massa serta media sosial seperti facebook, blogger, twitter dan lain-lain.

Tak dapat dipungkiri memang, selain hampir semua logo, slogan, taktik bahkan strategi gerakan berbasis kurikulum pada bukunya  Gene Sharp tadi, dari sisi pelatihan ternyata juga oleh lembaga yang sama yaitu Center for Applied Non Violent Action and Strategies (CANVAS), pusat pelatihan unjuk rasa tanpa kekerasan. Menurut beberapa sumber, CANVAS telah melatih para tokoh demonstran di 37-an negara termasuk di antaranya ialah Korea Utara, Belarus, Zimbabawe, Tunisia, Mesir, Yaman, Bahrain, Suriah, Iran dan lain-lain. Retorika menggelitik pun muncul: bagaimana khabar kaum demonstran di Indonesia, apakah kalian juga termasuk yang dilatihnya?

Pendapat Seputar Revolusi Warna

Adanya kesamaan pola antara gejolak politik di Jalur Sutra dengan pergolakan di Serbia sewaktu mengusir Slobodon Milosevic, membuat analis Webster G. Tarpley merasa curiga. Bukankah dalam politik, tidak ada peristiwa terjadi secara kebetulan? Niscaya karena sebab akibat ataupun proses sebelumnya, bahkan kemungkinan merupakan by design secara konseptual. Maka pagelaran politik di Serbia, bukanlah murni hajatan rakyat tetapi karena didukung oleh Amerika Serikat (AS) via Central Intellegent Agency (CIA). Tak boleh dilupakan dalam konteks ini ialah peran National Endowment for Democracy (NED), LSM “seribu proyek”-nya Pentagon yang dibiayai jutaan dolar per tahun oleh Kongres AS. Sementara CANVAS itu sendiri, sesungguhnya mata rantai atau “anak organisasi” dari NED.

Masih ingat statement Alan Weinstein? Ya. Salah satu pendiri NED itu pernah menyatakan: “Banyak dari apa yang kita (NED) kerjakan, secara diam-diam dilakukan 25 tahun lalu oleh CIA” (1991). Dan agaknya, pernyataan Weinstein dapat dijadikan asumsi pembuka guna melanjutkan catatan ini. Pertanyaannya ialah: adakah manuver NED identik dengan “silent operation”-nyaCIA?

Pendapat Prof Michel Chossudovsky, pendiri Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, semakin menebalkan pernyataan Weinstein. Ia mengatakan, bahwa Revolusi Warna adalah operasi CIA mendukung gerakan-gerakan protes dalam rangka memicu perubahan rezim di bawah gerakan pro-demokrasi. Tujuan utamanya menggulingkan pemerintahan syah melalui protes dan kerusuhan sosial.

Selanjutnya pendapat wartawan politik Ian Traymor, Frederick William Engdahl dan Ulfkotte Udo, bahwa semua pergerakan terkait Revolusi Warna ini dibiayai AS baik secara langsung ataupun melalui LSM seperti NED, Freedom HouseOpen Society Institute-nya George Soros dan lain-lain.

Sedang pernyataan Andrew Gavin Marshall lain lagi. Peneliti dari CRG, Kanada, pimpinan Chossudovsky menyatakan, bahwa Colour Revolution diduga sebagai awal Perang Dunia III. Menurut Marshall, ini merupakan taktik politik rahasia memperluas pengaruh Paman Sam dan Nort Atlantic Treaty Organization (NATO) menyeberang ke perbatasan Rusia dan Cina sesuai strategi dan tujuan membentuk New World Order (Tatanan Dunia Baru). Salah satu caranya dengan membatasi gerak laju Cina dan Rusia, serta mencegah munculnya tantangan apapun bagi kekuasaan AS di kawasan tersebut.

Asymmetric Warfare

Apapun motivasi Barat sesuai pendapat serta pernyataan di muka tadi, entah dalam rangka membentuk Tatanan Dunia Baru, atau berintikan redesign of power (tata ulang kekuasaan) di negara target dll, maka menelaah manuver Barat melalui aksi-aksi massa baik (Arab Spring) di Jalur Sutera maupun (Colour Revolution) di jajaran negara bekas Uni Sovyet, memang lazim disebut asymmetric warfare atau peperangan non konvesional. Tak boleh tidak.

Isyarat Wakil Menteri Pertahanan RI, Sjafrie Samsoedin, (14/3), perihal model perang semacam ini layak disimak: ”Kita harus menanggalkan cara berpikir perang konvensional. Banyak hal yang terjadi tanpa disadari adalah dampak perang asimetri. Media digunakan sedemikian rupa mengumbar sensasi. Perang asimetri itu bukan menghadapkan senjata dengan senjata atau tentara melawan tentara”.

Jika mem-breakdown isyarat Sjafrie Samsoedin tadi, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang mutlak dicermati terkait peperangan asimetris: (1) “terjadi tanpa disadari”; (2) “media mengumbar sensasi”; dan (3) “bukan menghadapkan senjata dengan senjata”. Inilah yang sering terjadi di depan mata, namun dianggap wajar-wajar saja.

Flu burung misalnya, dalam perang asimetris itu hanya “isue” belaka. Sekedar permulaan. Oleh karena “tema” (agenda) yang akan diangkat setelah isue ditebar ialah daging menjadi langka, atau daging mahal; sementara “skema” kolonial yang hendak ditancapkan oleh asing di republik ini adalah jerat impor. Entah membuka kran baru, penambahan kuota, dan lain-lainnya. Silahkan analogikan pada sektor-sektor lain. Pola inilah yang acapkali berulang dan berulang. Pertanyaannya: bukankah kronologis muncul flu burung hingga ke jerat impor berjalan serta berlangsung tanpa kita sadari akibat sensasi media serta tanpa melibatkan tentara dan senjata? (Lebih lengkap lagi, silahkan baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung di www.theglobal-review.com).

Sungguh ironis! Negeri dua musim kok impor daging dari negeri yang nyata-nyata empat musim (Aussie); republik yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, kok justru impor garam, ikan; mengapa negeri agraris dengan curah hujan tinggi justru impor kedelai, jagung, beras, dll? Betapa canggihnya permainan kemasan isue, tema dan skema yang dijalankan dalam perang asimetris oleh asing, sehingga banyak elemen bangsa ini melihat dan merasakan peristiwa tersebut dianggapnya hal yang wajar. Mau sampai kapan?

“Ideologi Impor” dan Paradoxial

Mudahnya asing menancapkan skema kolonialisme melalui peperangan asimetris di Tanah Air, sesungguhnya tak lepas dari “ideologi impor” yang dianut beberapa elit politik dan pejabat terkait. Inilah aspek internal yang justru melancarkan praktek penjajahan gaya baru. Namun sebelum melangkah jauh ---mungkin sekedar review--- perlu dijelaskan sekilas, bahwa skema kolonialisme ialah penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) di negara koloni. Itulah skema permanen apapun penjajahan di muka bumi.

Kembali ke ideologi impor, penulis mengambil hal-hal yang dicontohkan oleh Dina Y. Sulaeman, peneliti dari Global Future Institute (GFI), Jakarta. Dina menyatakan, (dalam kacamata Gita Wirjawan, Menperindag RI) pasar bebas adalah jalan mencapai kemajuan ekonomi. Pasar bebas memang memberi kesempatan kepada kita untuk mengekspor produk ke luar negeri, maupun berinvestasi dimanapun. Namun sebaliknya, juga memaksa kita untuk membuka pintu rumah lebar-lebar, mengizinkan arus modal, barang dan jasa masuk. Dalam perspektif pasar bebas, yang penting roda perekonomian berputar, tak penting siapa yang menguasai modalnya. Karena itu, dalam pandangan mereka, tak penting petani Indonesia tak berproduksi, yang penting adalah kebutuhan pangan tercukupi (meski dengan cara impor).

Gita dan para pejabat pendukung ekonomi pasar bebas lainnya, lanjut Dina, pura-pura tidak tahu bahwa pasar bebas belum pernah berhasil memajukan perekonomian negara-negara berkembang dan miskin. Indonesia misalnya, sebelum berlakunya Agreement of Agriculture –WTO, pada 1994 mengimpor beras hanya dalam angka ribuan ton. Pada 1995, impor beras melonjak menjadi 3 juta ton. Kini, 18 tahun kemudian, nilai impor pangan kita Rp 138 triliun dan ironisnya, bahan pangan yang kita impor itu adalah bahan pangan yang sebenarnya bisa tumbuh subur di tanah air, seperti beras, ubi kayu, cabe merah, atau bawang putih.

Ketika merujuk pakem nusantara, Hendrajit, Direktur Eksekutif GFI hampir dalam setiap diskusi terbatas di GFI mengatakan, bahwa adanya pagelaran berarti terdapat kehendak untuk mewujudkan hajatan masyarakat, yang semestinya dihadirkan lakon/tema dan dalang guna meng-ORKESTRASI pagelaran tersebut. Hendrajit mengingatkan, apabila tidak ingin mengundang bencana/bala, maka lakon yang dipilih seyogyianya senafas dan selaras dengan hajatan itu sendiri. Itulah garis pakem nusantara.

Antara “Bala” dan Pakem Nusantara

Kenyataan pada implementasi ideologi impor, pakem (nusantara) tersebut seperti diabaikan bahkan cenderung dinihilkan. Pada gilirannya, ia mengendala serta menimbulkan kerancuan dalam proses pagelarannya. Hajatan siapa, lakonnya bagaimana, temanya entah kemana. Tak jelas. Akhirnya isue atau hajatan bangsa untuk mewujudkan kedaulatan pangan (food security) tidak bisa dijembatani oleh tema serta dalang yang selaras dengan hajatan itu sendiri. Isue bangsa dalam rangka menuju food security tak bisa ditindak-lanjuti dengan upaya riil dan nyata di berbagai program guna mencapai swasembaga pangan. Secara riil, kebutuhan pangan memang tercukupi tetapi melalui cara (instan) impor.

Sewaktu datang bencana sesuai isyarat Hendrajit, adalah keniscayaan ketika bala dimaksud ialah “keadaan paradoxial”. Maksud paradoxial disini adalah kondisi berlawanan, atau semacam situasi pertentangan, atau keadaan yang bertolak-belakang dll. Betapa negeri khatulistiwa dengan dua musim, kenapa mengimpor daging dari negara empat musim; atau negara agraris dengan curah hujan tinggi tetapi kok impor kedelai, jagung, gula, dst yang di negeri sendiri bisa tumbuh subur. Atau lebih extreem barangkali, betapa bangsa beradab yang dulu terkenal ramah, mengapa tiba-tiba saling berbunuhan hanya karena berbeda budaya dalam agama; apakah ini juga termasuk “bala nusantara”? Untuk bala terakhir mungkin perlu pendalaman lanjut. Abaikan dulu.

Sebagai catatan tambahan, selain kondisi bertolak-belakang, bala dimaksud juga dapat dimaknai semakin menguatnya“master virus” sebuah revolusi, gerakan, atau gejolak politik dimanapun. Dan virus utama itu bertajuk: “ketidakpercayaan rakyat terhadap elit dan pimpinannya”. Inilah yang kini kuat tertancap. Lalu, kapankah keadaan ini berlalu?

Sinergi Peperangan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun