Sikap Ikhwan itu dirasa tidak fair, tidak gaul dan asosial, serta intoleran oleh Paul. Ia ingin agar Ikhwan melakukan hal yang sama seperti yang Paul lakukan padanya.
Ikhwan menjelaskan pada Paul bahwa ia tidak bisa melakukannya karena menyangkut keyakinan dan keimanannya atas agama yang dianutnya. Sebagai seorang muslim, tentu ia diajarkan oleh agamanya untuk bersikap baik pada sesama, apa pun agamanya. Bukan hanya pada manusia, tapi pada alam semesta beserta isinya. Seorang muslim harus menjadi rahmat bagi semesta alam.
Sebagai seorang muslim, ia harus patuh pada perintah Allah dan mengikuti (ittiba’) pada Muhammad Rasulullah sebagai konsekuensi syahadat yang ia ikrarkan. Ikhwan menjelaskan pada Paul bahwa Rasulullah tidak pernah mencontohkan atau melakukan pemberian ucapan selamat merayakan hari raya keagamaan pada umat agama lain. Oleh sebab itu, Ikhwan tidak mau melakukannya.
Selain itu, ucapan selamat itu mempunyai konsekuensi yang berkaitan dengan aqidah atau keimanan Ikhwan, dimana sebagai muslim, ia mengakui bahwa Isa atau Yesus Kristus adalah seorang manusia biasa yang diutus sebagai nabi atau rasul. Hal itu jelas berbeda dengan keyakinan Paul yang kristiani, yang mengakui bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Ikhwan tidak mengakui Isa atau Yesus sebagai Tuhan sehingga ia tidak mau mengucapkan kata selamat bagi kelahiran Tuhannya Paul. Dengan mengucapkan kata selamat tersebut berarti bertentangan dengan keimanannya.
Paul berdalih, bukankah beberapa ustadz, pemuka agama, atau orang yang disebut intelektual muslim mau mengucapkan selamat natal. Bukankah mereka juga orang-orang yang memiliki ilmu dan paham agama? Bahkan mereka lebih pintar dari Ikhwan dalam ilmu agama.
Ikhwan hanya menjawab bahwa sebagai muslim, Al-Qur’an adalah sumber hukum tertinggi dan di dalamnya dikatakan bahwa Rasulullah adalah teladan bagi setiap muslim (uswatun hasanah). Jika ada seorang muslim, baik itu disebut ulama, ustadz, pemuka agama, atau intelektual, tapi perbuatan mereka tidak sesuai seperti yang dicontohkan Rasulullah maka mereka tidak layak diikuti.
Hadits atau setiap perkataan dan perbuatan yang dilakukan atau dicontohkan Rasulullah adalah sumber hukum tertinggi yang harus diikuti setiap muslim setelah Al-Qur’an. Mereka yang disebut ulama, ustadz, pemuka agama, dan intelektual muslim tersebut tidak bisa disejajarkan tingkatannya dengan Rasulullah. Bahkan, Rasulullah mengingatkan adanya ulama jahat (su’), yaitu mereka yang menjual agamanya demi keuntungannya, meski harus mengorbankan aqidahnya.
Prof. Dr. HAMKA, seorang ulama besar Indonesia yang diakui dunia rela melepaskan jabatannya sebagai ketua MUI setelah mengeluarkan fatwa haram tentang natal. Buya HAMKA lebih memilih mempertahankan aqidah & keridhaan Allah ketimbang mencari keridhaan manusia, meski dia harus melepaskan jabatannya, karena ia percaya bahwa setiap perbuatan yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di akhirat kelak.
Ikhwan bertanya pada Paul apa maksudnya mengucapkan selamat idul fitri padanya, apakah Paul mengerti dan paham makna idul fitri? Paul menjawab bahwa idul fitri adalah kembali kepada fitrah dan kesucian. Ikhwan kembali bertanya, apakah Paul meyakini bahwa Ikhwan kembali pada fitrah dan kesucian? Apakah hal itu diajarkan dan dipercayai oleh umat Kristiani yang menganggap bahwa di luar umat Kristiani adalah domba-domba yang tersesat, atau dengan sebutan lain adalah kafir?
Hal tersebut pernah dialami seorang da’i yang juga ketua MUI di Jawa Barat saat mendapat ucapan selamat idul fitri. Ia berkata, “Jika engkau meyakini bahwa saya kembali pada fitrah atau kesucian, mengapa anda tidak masuk Islam?” Sang teman yang kristiani tidak menjawabnya.
Sebagai seorang muslim, Ikhwan tidak pernah meminta kepada non-muslim untuk memberikan kata selamat pada hari keagamaan padanya. Bahkan, sebagai contoh, seorang yang mengaku dirinya muslim, tapi dengan sengaja meninggalkan atau tidak melakukan puasa Ramadhan tanpa alasan yang dibenarkan secara syariat, dia tidak berhak dan pantas mendapatkan ucapan selamat dari saudara lainnya yang muslim.
Toleransi mengajarkan kita untuk saling menghargai, termasuk di dalamnya toleransi beragama. Toleransi tidak mengajarkan kita menjadi orang yang ‘melenceng’ dari iman yang diyakininya. Toleransi tidak mengajarkan orang menjadi munafik, di mana apa yang dikatakannya tidak sesuai dengan apa yang diyakini di dalam hatinya.
Toleransi tidak mengajarkan untuk memaksakan kehendak atau keyakinannya pada orang lain. Bukankan Islam mengajarkan, “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” yang bermakna toleransi di dalamnya.
Jangan menganggap bahwa orang yang tidak mengucapkan selamat hari keagamaan pada umat yang merayakan sebagai sikap yang tidak fair, asosial, atau intoleran karena perbedaan keyakinannya. Jangan ‘memaksa’ orang yang berbeda agama dengan dalih kata toleransi untuk mau ikut apa yang diinginkannya. Karena sesungguhnya orang seperti itulah yang intoleran, yang tidak menghargai keyakinan dan keimanan orang lain. Janganlah bersikap intoleran dengan dalih kata toleransi itu sendiri.
Mari kita wujudkan kerukunan beragama dalam suasana penuh toleransi dalam arti yang sesungguhnya.