Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Tuhan Adalah Tempat Terbaik Untuk Membebaskan Ketegangan

22 November 2011   07:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:21 601 4
“Alam itu interaktif. Bercandalah dengannya. Bahkan mengomelinya itu lebih bagus daripada bersikap formal kepadanya. Siapa tahu dengan begitu, cobaan hidup hanya akan terasa seperti … sedang  dikerjain” , kata seorang sobat muda*) yang biasa kudatangi ketika aku sedang bingung. Tapi anehnya, kali ini ocehannya malah lebih membingungkan ! “M.e.n.g.o.m.e.l.i  … Alam ?”, tanyaku terbata-bata. Entah mengapa, aku merasakan sesuatu yang menyegarkan dalam kata-katanya. Jadi jelas pertanyaanku itu bukan dimaksudkan untuk mempertanyakan, namun hanya upaya untuk mendapatkan rincian … Tapi baiklah. Sepertinya layak dicoba. Kita mulai petualangan baru dengan bercanda dan mengomel, demikian tekadku …   Tidak boleh formal ya ? Hmm, memang formalitas itu hanya berlaku di kalangan mereka yang sengaja memelihara jarak. Mau menunjukkan protes kepada sosok superior seperti atasan atau …suami misalnya ? Tak perlu memboroskan tanda seru, cukup bersikap formal. Atau mau merenggangkan hubungan dengan seorang teman yang sedang 'merepotkan' ? Yak, dengan bersikap formal, pesan itu biasanya sampai … Nasihat sobatku itu lalu kubawa serta dalam perjalananku dari Malang menuju sebuah desa di Blitar. Nasihat itu kupraktekkan ketika kami menemukan pemandangan sawah dan matahari terbenam yang menakjubkan di sepanjang jalan.  Namun entah ke mana nasihat itu ketika kami sampai tujuan. Rasa nyaman membuat kami merasa begitu at home, bahkan mobil sewaan itupun sempat terasa bagai mobil pribadi. Delapan jam kemudian, kami baru tersadar bahwa sebuah ransel berisi dua buah laptop dan kamera saku masih tertinggal di mobil yang sudah pulang ke Malang tersebut. Astaga … Dalam keadaan tegang dan penuh penyesalan, tiba-tiba aku tergerak untuk mengembangkan sebuah improvisasi, dimana interaksi yang disarankan oleh sobatku itu bukan lagi kutujukan kepada Alam, tapi langsung kepada …Tuhan !  Dan inilah yang kumaksud dengan interaksi tersebut : “Tuhan, Kau menjengkelkan ! Bukankah tugasMu menjagaku, memberiku makan, menjamin masa depanku dan seterusnya ? Mengapa Kau tidak mengingatkanku ? “, ucapku meluncur begitu saja, tentu saja dalam hati. Namun jauh di dalam hati ini ada rasa malu yang tak berhasil kututupi, malah upaya menutupi itu berkembang menjadi rasa geli : Ya ampun, selama ini Dia melakukan semuanya untukku… Lalu apa bagian yang telah kuberikan untuk membayarNya ? (Yah, percuma menekan perasaan apapun di hadapan Tuhan. Bukankah Dia Maha Tahu ? Dia lebih tahu siapa diriku yang ada di balik semua kata-kata bodoh ini.) “Kembalikan dong, Tuhan. Kau kan tahu aku membutuhkannya …”, kataku. Sudah kepalang jadi anak manja, jadi mari kita lanjutkan saja. Lagi pula, bukankah kita diminta bermanja-manja pada Sosok yang paling layak digantungi semua harapan itu? Hanya ada waktu 30 menit untuk meminta bantuan pada sejumlah kawan di kota Malang yang bisa dihubungi di waktu sepagi itu, sebab sesudah itu semua henpon kami mati, karena semua charger ada di ransel yang tertinggal itu. Namun untungnya, kami hanya melalui  satu jam masa menunggu, itupun dalam suasana hati yang … tenang !  (Wow !) Kabar baik itu akhirnya datang. Ransel dan isinya dalam keadaan aman, meski diiringi catatan “nyaris ditemukan oleh orang yang tampaknya mencurigakan”. Lebih ajaib lagi, bukan hanya ransel beserta isinya yang kami temukan, melainkan juga seorang sahabat lama yang selama ini ‘menghilang’, dan kebetulan berada di waktu dan tempat yang tepat untuk menjadi penyelamat hari kami. Dia sendiri yang mengantar benda-benda berharga tersebut, dan kami bereuni dalam suasana hati yang tak tergambarkan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun