"Hebat Dimas ! Di hari pertamamu, kamu langsung puasa sehari penuh! Padahal sebagai pemula, boleh
lho berbuka puasa di siang hari, terus puasanya disambung lagi sampai magrib", kataku bangga pada si bungsu yang telah berjuang menahan lapar hingga titik darah peng... eh azan magrib itu ;-). "Kamu memang gigih, Dimas", puji ayahnya. Baru enam tahun umurnya, tapi sudah kami anggap cukup umur untuk mulai berlatih puasa, sebagaimana Kaka dan Dinda pun menjalaninya. Dimas tak menjawab, hanya menyendok sup buah dengan lahap. Matanya melirik nasi goreng yang tersaji di atas meja. Nasi goreng itu hanya sepiring, sengaja disiapkan sebagai penghormatan khusus untuk seseorang yang sedang belajar puasa. Tentu kau sudah tahu bahwa namanya Dimas. Dan kalau saja kau ada di sana saat itu, kau juga akan tahu bahwa dia penggemar berat nasi goreng ! "Nasi gorengnya untuk nanti ya. Tunggu sampai sup buahmu dicerna dulu, supaya perutmu cukup lega untuk diisi nasi goreng", kataku sambil menahan senyum. Dimas mengangguk. Tapi ...ai ai... dia malah menambahkan beberapa sendok sup buah lagi ke dalam gelasnya. Mungkin maksudnya supaya perutnya tidak ... menganggur.
"Menganggur itu tak baik. Menganggur membuat otakmu lupa bagaimana caranya berpikir", kataku suatu hari, ketika kami sedang melewati gerombolan anak muda yang hanya duduk-duduk dan merokok di pinggir jalan.
KEMBALI KE ARTIKEL