Asal mulanya adalah satu hal
kecil, sedikit, dan tampak
kurang penting. Satu hal
kecil itu dilakukan oleh seorang ibunda, misalnya. Begitu besar kasih-sayangnya pada ananda, sehingga ia rela bersusah-payah mendanai kursus-kursus tambahannya, rela berbaik-baik pada guru kelasnya, bahkan rela membayar bocoran soal ujian demi sekolah favorit untuk ananda.
Toh ini soal
kecil yang
kurang penting. Yang lebih mendesak adalah bertambahnya berat badan dan berkurangnya nilai uang. Hal
kecil itu juga dilaksanakan oleh si ananda, entah dengan menyontek
sedikit pada teman sebangkunya, atau membayar teman pintarnya yang miskin untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya.
Toh ini soal
sepele. Yang lebih gawat adalah kemungkinan gagal diterima lingkungan, terlibat kenakalan remaja, menjadi
jomblo, apalagi pengangguran. Hal
kecil yang sama juga terpikir oleh sang ayahanda. Tak ada salahnya menitipkan ananda yang baru tamat sekolah pada kolega atau perusahaan yang berada di bawah kendalinya, tak mengapa jika posisi itu harus diada-adakan.
Toh ini soal
kecil yang
bisa dimaafkan. Masih banyak urusan yang jauh lebih penting, yaitu ancaman flu burung, bangkitnya PKI, juga intervensi Yahudi. Ya, semuanya dimulai dari hal-hal
kecil, (hal-hal besar yang)
dianggap kecil, bahkan
dikecilkan ... Menyontek, menyuap, menyerobot satu-dua antrian, memelintir secuil aturan, juga menyomot secuil jatah orang diam-diam, itu semua cuma cubitan
kecil yang tak penting. Seharusnya tak ada yang merasa dirugikan, karena ...bukankah kue yang tersedia terlalu besar untuk dibagikan (atau malah terlalu kecil untuk diperebutkan melalui kompetisi yang adil) ? Makin lama, segala remah-remah perbuatan (yang dianggap)
kecil itu lalu menggumpal dan menggulung seperti gelindingan butir-butir salju. Secuil serobot, pelintir dan comot itu tiba-tiba menjadi gaya andalan setiap orang. Tahu-tahu saja cuilan-cuilan
kecil yang dilakukan beramai-ramai itu meninggalkan keratan besar, dan mengecilkan apa yang tadinya besar dan cukup banyak buat semua itu. Dan tebak apa yang selanjutnya terjadi ? Aktivitas menyuil dan menggerogoti itu makin mengganas, bukan karena kue yang tersedia itu cukup besar untuk semua (sehingga menyuil
sedikit bisa dimaafkan), tapi karena kue yang tersisa mungkin sudah terlalu kecil (sehingga menyuil
sedikit untuk tujuan 'pengamanan' itu merupakan hal yang
sangat bisa dimaafkan...). Hmmm ... Baiklah, baiklah. Tarik nafas dulu sejenak saudara-saudara. Karena semuanya mulai membingungkan. Sungguh tadinya aku membayangkan seorang ibunda, ananda, ayahanda, juga para guru, petani, dokter, polisi, hakim dan macam-macam manusia terhormat lainnya. Tapi setelah sampai di sini, aku jadi bertanya-tanya:
Apakah kita benar-benar sedang membicarakan ...manusia ? "Lebih dari 60 % (bahkan angka rata-ratanya sekitar 75 %) APBD dialokasikan untuk belanja pegawai. Hanya sedikit yang tersisa untuk pelayanan masyarakat seperti perbaikan jalan, kesehatan, pendidikan, anak-anak terlantar, penghijauan, pengelolaan sampah dan sebagainya ..." "124 pemda di Indonesia terancam bangkrut, karena ongkos yang dibayarkan untuk para 'tukang' jauh lebih besar daripada modal berputarnya ..."
KEMBALI KE ARTIKEL