Siapakah dia (rokok) yang begitu dibela ?
Konon bentuk 'persahabatan' manusia - rokok ini dikenal melalui bangsa Indian Amerika lebih dari 500 tahun silam. Rokok kemudian diperkenalkan pada peradaban terbuka sebagai salah satu alternatif penanganan medis, tapi sekitar tahun 1800 orang mulai memakainya untuk relaksasi, kesenangan, dan ... memuaskan kecanduan !
Rokok mulai diusik, dianggap berbahaya, sekitar tahun 1960. Kandungan nikotinenya memang menghasilkan efek menenangkan (antara 0,05-2 mg per batang), kendati ia dapat membunuh orang dewasa jika ia dikonsumsi sebanyak 60 mg sekaligus ! Asap rokoknya mengandung ribuan zat kimia, yang sebagian di antaranya merusak secara individual atau gabungan. Yang paling populer adalah gas Carbon Monoxide (CO); spesialisasinya : menyusup ke dalam distributor oksigen, haemoglobin, lalu diam-diam menghalangi suplai oksigen ke seluruh tubuh.
Ketika temuan ini dipublikasikan, reaksi pabrik-pabrik rokok di Amerika adalah mengurangi kandungan nikotine dan tar pada produknya. Mereka juga memenuhi keharusan untuk menuliskan health warning pada kemasannya, sebagai upaya untuk menyajikan informasi secara seimbang. Apa hasilnya ? Para inisiator rokok tetap bertambah, sekalipun mereka juga tahu resiko yang ikut ditanggung para perokok pasif !
Apa yang mendorong orang merokok pertama kali ?
Dari sejumlah sebab yang pernah diselidiki, faktor konformitas adalah yang paling dominan. Pengalaman pertama sering terjadi karena rasa ingin tahu, karena semangat petualangan, atau karena ingin mendapat penerimaan kelompok. Alasan lain adalah karena rokok menyandang sejumlah simbol yang saling berkaitan satu sama lain seperti kedewasaan, kejantanan, kebebasan, bahkan kesuksesan. Simbol ini kemudian menjadi daya tarik psikologis bagi para inisiator.
Siapakah para pecinta rokok itu ?
Dari berbagai penelitian psikologi, perokok digambarkan dalam suatu kontinum sebagai orang-orang yang memburu kehidupan yang 'kaya' (atau lari dari kekecewaan ?), liberal dan mandiri (atau komitmen kecil pada tujuan institusional ?), pribadi fleksibel dan berani mengambil resiko (atau pesimis dan tidak puas ?). Sebaliknya orang yang memilih untuk tidak merokok (abstainer) dicirikan sebagai orang yang tenang dan menghendaki kontrol bagi dirinya, tidak keberatan pada aturan, pribadi yang secara umum puas dan optimis terhadap kehidupannya, serta "lebih yakin pada dirinya, tapi agak kurang yakin tentang bagaimana dia seharusnya" - demikian gambaran R.W. Coan.
Tapi buru-buru para peneliti ini menegaskan bahwa rokok tidaklah menjadi penyebab bagi berbagai ciri kepribadian yang ditemukan di atas. Peranan rokok meningkat karena atribut kedewasaan, kebebasan, dan keberanian yang disandangnya ini menjadikannya tempat pelarian bagi sejumlah masalah dasar yang saling berkait, yaitu : kemiskinan, keterbatasan pilihan, kebosanan, kecemasan, harapan, keterasingan, tekanan sosial dan lain-lain. Tanpa mengabaikan motivasi lain seperti keinginan bertualang atau variasi, inisiasi rokok pada orang Amerika lebih banyak dan lebih awal terjadi pada mereka yang berlatarbelakang sosioekonomi dan edukasi yang rendah. Jadi seperti yang dikatakan oleh Willard dan Marguerite Beecher : There are no addicting substances, only addictive people. Bukannya kartu dan dadu yang menyebabkan seseorang menjadi pecandu judi. Masalah utamanya terletak pada penjudi itu sendiri.
Sekarang mari kita lihat beberapa atribut yang dikenalkan pada "sahabat lama" manusia ini.
Selera berani, begitu bunyi salah satu slogan rokok. Berani diperlukan karena ada faktor resiko. Perokok memang berani menentang aturan dan melawan otoritas (orangtua misalnya), bahkan berani menanggung akibat destruktif rokok pada tubuhnya. Tapi apakah dapat disebut pemberani jika seseorang perlu sesuatu untuk dapat merasa demikian ? Acapkali perokok justru memperoleh keberaniannya setelah ada sesuatu yang dapat menyibukkan tangan dan mulutnya, sebagai pengalih perhatian dan sedikit jeda di sela-sela percakapan yang mencemaskannya. Menurut saya, justru para abstainer-lah yang pemberani, karena lingkungan kita masih menganggap 'lemah' orang-orang yang tidak mau beresiko untuk mendapatkan kesenangan !
Lalu atribut kebebasan, yang oleh Immanuel Kant didefinisikan sebagai : the autonomy or self-determination of rational beings. Seseorang disebut merdeka jika kewarasan akal sehatnya menyetujui keputusan yang dipilihnya. Meminjam bahasa Muthahhari, akal adalah lembaga legislatif - yang menentukan baik-buruk dan benar-salahnya sesuatu-, dan kemauan adalah kekuatan eksekutif. Kemerdekaan terjadi jika ada kesepakatan antara aspek legislatif dan tindakan. Dengan demikian, apakah perokok merupakan pribadi yang merdeka ?
Persahabatan manusia - rokok tidaklah setimpal, karena rokok menuntut terlalu banyak pada manusia. Manfaat yang diberikan rokok tidak pernah bertambah, bahkan seseorang harus selalu merokok (baca : berkorban) lebih banyak untuk mendapatkan kenikmatan yang sama. Jika pada mulanya orang merokok demi kenikmatan, lambat-laun ia akan merokok demi mengurangi penderitaan akibat tekanan fisik, psikis, konflik atau sakit. Hasrat ini sedemikian besar, memaksa, berulang, dan impulsif. Inilah saat dimana seseorang disebut kecanduan : tergantung secara fisik maupun psikologis terhadap sesuatu. Ia sudah kehilangan kemerdekaannya. Akal sehatnya sudah tidak lagi digubris, karena desakan hormonal dan sistem syaraf yang sudah 'terjajah' nikotine lebih terasa dominan.
Kini, benarkah rokok itu "sobat sejati" ?
Jika setia setiap saat merupakan ukuran kesejatian sahabat, nampaknya rokok memenuhi persyaratan itu. Ini karena kita selalu menghubungkan antara kesetiaan dengan ketulusan. (Tapi benarkah rokok itu sahabat yang tulus, tidak memiliki maksud terselubung ? Bisakah ia dipercaya ? Bisakah ia menerimamu sebagaimana adanya ? Memperlakukanmu secara adil ? Tidak menuntut dan mendominasi ?)
Kita memang bebas memilih untuk menjadi homo volens yang bertindak karena desakan internal. Atau menjadi homo mechanicus yang digerakkan oleh desakan lingkungan. Tapi mari kita kembali ke fitrah suci yang hanya dimiliki oleh mahluk yang bernama manusia: menjadi homo sapiens, manusia yang berkehendak bebas dan hanya tunduk pada pertimbangan akal sehat dan hati nurani. Sebab menghormati kebebasan dan peranan akal sehat, berarti mensyukuri karunia Tuhan yang paling besar yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian, mengabaikan keputusan akal sehat berarti menjadi tiran bagi diri sendiri. (Bahkan mungkin juga bagi orang lain).
Akhirnya, hati-hatilah memilih sahabat. Tapi jika Anda memilih bergaul dengan rokok, jangan biarkan dia mengendalikan Anda.
oleh : Tuty Yosenda
--------------------------------------------
*) Sebuah tulisan lama yang dimuat di Kompas pada tanggal 30 Mei 1996.
Sengaja ditampilkan kembali untuk merayakan hari ini, meski isi tulisan ini tidak lagi sepenuhnya mencerminkan pemikiran penulis sekarang. ;-)