Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Bumi Bulan (3)

8 Desember 2019   14:51 Diperbarui: 8 Desember 2019   14:50 21 0
"Kalau diizinkan bicara empat mata, apa yang mau kamu sampaikan ke Bumi?"

"Sudah kubilang kan sebelumnya..
Ya hanya seputar itu saja yang masih mengganjal di hatiku."

"Ada yang perlu disampaikan lagi?"

"Oh, iya. Ada. Kali ini terus terang saja. Sampaikan padanya, tolong hargai Bulan. Tolong, hargai yang mati-matian ingin membahagiakanmu. Menolehlah ke arahnya lebih lama, selamanya. Kau terlalu disilaukan cahaya Matahari. Sampai-sampai hadirnya Bulan tak lagi kau kenali. Dan tolong, kalau ada hal yang kurang dari Bulan, bilang. Dia akan lakukan apapun. Bahkan membakar diri untuk sinar yang lebih terang dan pelukan yang lebih hangat sekalipun."

(Bulan diam sejenak)

"Ah, ada lagi. Kenyataan bahwa aku lelaki, bukan berarti aku makhluk tak berperasaan yang bisa diperlakukan seenaknya. Tolong hargai ini sebelum semuanya hilang, dan hanya tersisa penyesalan. Bukan ku mendoakan kejelekan untukmu. Hanya saja, tolong sadarlah."

"Sudah, Bulan?"

"Entah. Kalau ingin terus terang, seharian pun tak akan cukup untuk meluapkannya. Kau tau? Aku menahan ini cukup lama. Dia yang bilang, 'silahkan sampaikan apa yang mau kamu sampaikan' pun nyatanya tidak mendengarkan. Tidak ada kesempatan. Aku merasa terabaikan. Karena diwaktu yang sama pula, dia masih bisa menyempatkan waktu untuk Matahari dan manusia-manusianya. Sedang aku, tak ada waktu untukku meski sesaat saja. Meskipun ada, mungkin yang hadir hanya jasadnya saja. Hati dan pikirannya entah kemana. Jujur, rasanya ingin pergi saja. Namun cinta yang menahanku pergi. Aku tak mau Bumi hancur. Dan meskipun aku pergi, itu tak akan merubah apapun di hatinya. Aku sudah tak lagi berada di sana. Aku pernah bilang padanya, bahwa aku berani bersumpah tidak ada yang lebih mencintainya setulus aku di alam semesta ini. Aku menyampaikannya beberapa kali. Hanya saja, responnya berbeda seiring dengan hadirku di hatinya yang tak lagi ada. Ya, kini dia biasa saja mendengar kalimat itu. Aku tak tau, mungkin hatinya sedang pergi entah kemana."

"Sabar, Bulan. Aku ikut bersedih mendengar kisahmu. Raut mukamu menggambarkan kesedihan yang sangat dalam. Mungkin kalau aku jadi kamu, aku tidak akan sanggup."

"Terima kasih. Tapi sebenarnya aku ragu kalau pesanku itu akan sampai ke Bumi. Kamu berencana menyampaikannya?"

"Kalau itu bisa membantumu, akan ku sampaikan."

"Saranku, sebelum kau sampaikan ini, tolong lihat kondisinya. Jangan sampaikan ini kalau dia tidak sedang baik-baik saja."

"Tapi kau tau sendiri, Bumi saat ini selalu tidak baik-baik saja."

"Itulah maksudku. Kau tak perlu menyampaikannya. Ini urusanku. Terima kasih sudah bersedia mendengarkan. Tapi biar ini kutangani sendiri, kutanggung sendiri. Lagipula, kalaupun kau menyampaikannya, apa kamu berani menjamin pesan-pesanku akan menggerakkan hatinya? Kurasa tidak."

"Maaf, aku hanya berusaha membantu. Akan kuusahakan sebaik mungkin. Tapi jika sekiranya beresiko, akan kuurungkan niatku."

"Baik, terima kasih. Titip salam ke Bumi. Bilang, Bulan masih tetap akan memperjuangkannya, bagaimanapun keadaannya."

"Baik, Bulan."

"Oh, satu lagi. Tapi ini tak harus kau sampaikan kepadanya. Jujur saja, Matahari membuatku iri. Dia bisa membuat Bumi mencintainya diam-diam. Sedangkan kalau kau tau, sesuatu yang dilakukan diam-diam biasanya lebih serius, lebih sungguh-sungguh. Aku iri padanya."

"Cukup. Lama-lama aku jadi ikut sedih mendengarmu begini."

"Maaf."

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun