"Memangnya mau bilang apa lagi?"
"Ya... Mungkin mau bilang apa gitu."
"Entah. Aku takut dia berpikir aku terlalu banyak mendiktenya. Terlalu mengekangnya. Padahal asal kau tau kalau itu bentuk perhatianku. Tapi ya mau bagaimana lagi. Hanya saja kalau boleh aku bicara. Aku mau bilang, aku berbohong padanya beberapa waktu lalu. Aku bohong saat aku bilang cintaku berkurang. Yang terjadi sebenarnya adalah kepercayaanku yang berkurang. Ya mungkin karena terlalu sering diabaikan dan dipermainkan. Tapi lupakan sudah. Aku ingin memberitahunya kalau sebenarnya cintaku tak pernah berkurang. Aku hanya menahan sikap. Aku lebih pikir-pikir saat akan mengambil sikap. Itu saja. Cintaku tak akan berkurang, semoga."
"Kalau seperti itu, kenapa kau bilang padanya kalau cintamu berkurang?"
"Hmm.. Itu. Aku ingin tau responnya saja. Meski ternyata mengecewakan. Sebelum itu, dia yang bilang ke teman kami kalau cintanya berkurang. Bayangkan betapa sakitnya aku. Tapi aku mencoba menata hati, biar tak terlalu nanar. Aku 'mencoba' melakukan hal yang sama meski kali ini aku hanya pura-pura. Tapi yang kudapati, responnya biasa saja. Benar-benar seperti tak ada aku lagi di hatinya. Lagi-lagi, bisaku hanya berusaha menata hati saja. Mau bagaimana lagi, kan?"
"Tapi kamu bisa saja bicara seperti ini pada saat itu."
"Kau tak tau kondisinya. Dia selalu tak ada waktu. Bahkan untuk dirinya sendiri. Apalagi untukku, kan? Kalau kau tanya mengapa, ya karena aku memikirkan keadaannya juga. Aku tak mau membuang waktunya disaat dia sedang sibuk-sibuknya. Kan sudah kubilang, aku hanya ingin dia baik-baik saja. Bahkan kadang aku tak memikirkan diriku sendiri. Tak memikirkan hatiku sendiri. Meski kadang Bumi masih menuduhku egois. Aku hanya diam saja, mengiyakan omongannya, lalu meminta maaf."
"Kamu lelaki, Bulan. Jangan terlalu merendahkan dirimu begitu."
"Bukan begitu. Ya meski terlihat begitu, aku tidak sedang merendahkan diriku sendiri. Aku hanya berusaha menjunjungnya tinggi. Aku menghormatinya. Aku menghargainya. Tak ada satupun hal yang boleh melukainya. Begitu pikirku. Aku hanya berprinsip seperti itu. Kalau kelihatannya aku sangat rendah, ya biar saja. Yang penting Bumi masih tinggi. Toh aku, tidak ada yang melirikku kecuali di awal, pertengahan, dan akhir saja. Soal sinar, aku kalah jika dibandingkan dengan Matahari."
"Apa yang membuatmu seperti ini, tahan dengan hal-hal seperti ini?"
"Siapa lagi kalau bukan Bumi. Kau tau sendiri aku mengelilinginya tiap waktu. Meski kita sama-sama tau kalau dia mengelilingi Matahari, laki-laki sempurna itu."
"Kau ini. Kau sudah gila, Bulan."
"Memang. Lalu kenapa? Kalau kau merasa terganggu dengan kegilaanku, aku minta maaf. Aku begini apa adanya. Tidak ada rekayasa. Hanya sedikit berusaha yang terbaik saja untuk Bumi. Itu saja."
"Kalau begitu, boleh aku membantumu untuk lepas dari kegilaanmu ini? Dengan cara menyampaikan isi hatimu misalnya."
"Kalau itu, terserahmu saja. Tapi pastikan, jangan membuat kalimat yang bisa jadi penyebab kesedihannya. Dan jangan memuji-mujiku dihadapannya. Kalau mau cerita, ceritalah dengan apa adanya."
"Baik. Tapi aku pikir-pikir lagi."
"Ya, terima kasih."
"Sampai kapan kau begini?"
"Aku tak tau. Jujur, kadang aku lelah. Aku butuh pembakar semangat. Tapi kadang Bumi hadir justru memadamkan semangatku dengan kalimat, "yasudah, aku begini apa adanya. Kalau kau lelah, pergi saja tak mengapa". Padahal dengan sedikit apresiasi saja, mungkin semangatku bisa lebih hidup lagi. Tapi tak mengapa, aku memakluminya. Kalau diingat keadaannya yang memang juga sedang menderita, aku tak mengapa diperlakukan seperti ini."
"Tapi pikirkan juga keadaanmu, Bulan. Kau juga sedang menderita, kan?"
"Ya, memang. Tapi tak mengapa. Aku hanya mengusahakan yang terbaik untuk Bumi. Masalah ada atau tidaknya balasan darinya, itu terserah. Tapi aku yakin, hal seperti ini kelak akan ada balasnya. Semoga dia sadar penuh kehadiranku, dan mencintaiku dengan penuh. Tanpa ada Matahari, dan manusia-manusia perusak Bumi itu lagi. Bahkan kalau dia memang mencari yang bersinar dan hangat, aku rela membakar diri untuk memenuhi permintaannya. Sungguh."
"Mendengar pernyataanmu, aku langsung memikirkan sesuatu."
"Apa?"
"Bagaimana kalau kamu menghilang? Apa yang akan terjadi dengan Bumi?"
"Aku tak tau. Tapi aku pernah memikirkan hal yang serupa. Sekedar kira-kira, mungkin Bumi akan hilang kendali. Airnya tak terurus, malamnya sepi, dsb. Tapi itu hanya efek bagi manusianya saja. Sedang untuk Bumi, mungkin dia akan biasa saja, baik-baik saja. Atau mungkin makin mesra dengan Mataharinya. Aku tak tau. Aku tak mau tau. Jujur, membayangkan hal seperti ini saja sudah membuatku sakit sebenarnya. Maaf ya."
"Maaf, Bulan. Aku tak bermaksud demikian."
"Aku tau. Tidak mengapa."