Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Pilihan

Meniru Revolusi Pembangunan Bumi Intimung

16 November 2014   21:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:40 57 1
Judul: Revolusi dari Desa

Penulis: DR. Yansen TP., M.Si

Penerbit: Elex Media Komputindo

Cetak: I, Oktober 2014

Tebal: 224 Halaman

Peresensi: Mansata Indah Dwi Utari






Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman (Koes Plus, 1973)

Itulah penggalan bait lagu dari Koes Plus yang menegaskan betapa suburnya bumi nusantara. Bumi nan kaya akan berbagai macam potensi. Sektor maritim, agraria hingga pertambangan semua tersimpan di perut bumi Indonesia. Tapi sayang semua itu hanya kebanggaan semu. Pasalnya, hampir semua potensi tersebut tidak dimanfaatkan optimal.

Pembangunan nasional seolah masih berjalan di tempat. Silih berganti pemangku kebijakan rupanya belum mampu memenuhi target pembangunan. Kesenjangan sosial masih menganga. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin semakin miskin. Data BPS per Januari 2014 menyebut masih ada 25 juta lebih penduduk miskin di Indonesia. Data ini belum termasuk penduduk yang rentan miskin.

Buku ini hadir menggugat pembangunan antiklimaks tersebut. Penulis buku sekaligus Bupati Malinau, Yansen, TP, menilai kegagalan pembangunan nasional lantaran kesalahan konseptual. Ia menganggap selama ini pemerintah hanya melihat dari menara gading. Akhirnya, konsep pembangunan yang digulirkan tidak sesuai sasaran.

Bahkan ia menganalogikan kebijakan pembangunan pemerintah selama ini seperti kisah monyet. Dikisahkan, sekumpulan monyet hidup dengan ketersediaan alam yang kaya. Ada berbagai aneka tanaman dan buah. Kehidupan monyet nan bahagia.

Suatu hari sang monyet jantan duduk di batu besar tepi sungai. Ia merasa iba melihat ikan hanya berenang di dalam air tanpa ikut merasakan indah kehidupan yang dirasakan monyet. Akhirnya, sang monyet pun mengambil ikan tersebut dari sungai. Namun sayang niat mulia dari monyet tersebut justru membawa bencana bagi ikan. Beberapa di antara ikan malah mati. Sungguh monyet tidak pernah tahu jika ikan memang diciptakan hidup di air. (hal. 70-71)

Kisah monyet tersebut mungkin tepat menggambarkan konsepsi pembangunan nasional. Model pembangunan dilakukan dengan mengeneralisasi masyarakat secara nasional (universal). Pendekatan  pembanguna ini dilakukan dengan asumsi universal. Artinya, pemerintah menganggap kebutuhan masyarakat sama untuk seluruh daerah dan sama pula dengan kebutuhan penyusun kebijakan. Sehingga model pembangunan yang diaplikasikan pun melangit.

Bahkan pembangunan semacam ini bersifat temporal. Pembangunan sementara waktu dan terkesan lebih politis. Karena bagaimanapun juga konsep pembangunan dapat bertahan lama jika relevan dengan kebutuhan, bermanfaat dan tidak bertentangan dengan sistem nilai masyarakat.

Anehnya, Barat justru dijadikan trendsetter pembangunan. Selama pembangunan selalu bergantung pada faktor luar negeri. Pemerintah lebih sering studi banding ke luar negeri ketimbang blusukan ke desa-desa. Ketergantungan mengakibatkan faktor luar negeri menjadi perancang sebenarnya pembangunan. Akibatnya, definisi, tujuan, undang-undang, dan pilihan kebijakan dalam pembangunan tidak ditentukan secara mandiri.

Selain itu, kesalahan pemerintah lainnya adalah memusatkan perhatian pada pasar dan investor bukan rakyat. Keberpihakan tersebut merupakan konsekuensi dari ketergantungan pembangunan pada hutang dan investasi asing, serta pandangan pasar dan investor sebagai lokomotif pertumbuhan.

Model pembangunan semacam ini akan mendorong pemerintah melahirkan kebijakan dan undang-undang yang bersahabat dengan pasar. Melalui pembangunan pro pasar pemerintah melakukan liberalisasi ekonomi dan liberalisasi sumber daya alam. Akibatnya, justru pembangunan ini menjadi boomerang. Masyarakat harus kembali menjadi korban dengan dalih pembangunan.

Revolusi Pembangunan

Yansen membuat gebrakan baru konsep pembangunan membumi. Ia menyebutnya dengan Gerakan Desa Membangun (GERDEMA). Revolusi pembangunan yang dilakukannya menempatkan masyarakat desa sebagi subjek pembangunan. Gerakan pembangunan datang dari rakyat, dilakukan oleh rakyat, dan hasilnya dinikmati oleh rakyat sendiri. (from, for and by the rural society).

Pembangunan yang digagas Yansen sangat memperhatikan karakteristik dan lokalitas. Pasalnya, karakteristik geografi  seperti  lokasi dekat laut, pinggir sungai, pinggir hutan, pedalaman sangat berpengaruh terhadap model pembangunan yang diimplementasikan. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir pantai tentu berbeda dengan daerah agraris. Begitu seterusnya. Jika dipaksakan tentu tidak efektif.

Melalui pembangunan yang mengedepankan lokalitas, gerakan pembangunan dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan konteks peradaban. Pembangunan bersifat fleksibel tidak kaku. Bahkan mampu bermetamorfosa menjadi kekuatan utama memotivasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena Indonesia bangsa majemuk nan kaya akan lokalitas.

Dalam konteks GERDEMA Malinau ini pemerintah bukan lantas lepas tangan. Justru tugas pemerintah sangat penting. Pemerintah harus mampu mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk dapat menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan kemandirian. (hal. 53) Pemberdayaan dikatakan sangat berhasil apabila kegiatan tersebut dapat berkembang dan dicontoh oleh  masyarakat lainnya.

Peran pemerintah desa, yang selama ini hanya untuk membuat KTP, harus pula dioptimalkan. Karena sebenanrnya mereka-lah instrumen pembangunan yang besar dan strategis. Pemerintah musti membimbing mereka menemukan dan menggali potensi yang dimiliki. Serta tak lupa mamberikan pengarah yang sifatnya administratif.

Langkah Taktis

Gerakan revolusi yang dilakukan Yansen di Malinau sejak tahun 2012 lalu ini memang benar-benar pembangunan dari bawah (bottom up). Adapun langkah taktisnya, diawali dengan memetakan potensi desa melalui pra-musyawarah rencana pembangunan desa (pra-musrenbangdes). Kemudian hasilnya dikoordinasikan melalui mekanisme Lembaga Partisipasi Pembangunan dan Partisipasi Desa (LP3MD).

Selanjutnya, hasil pra-musrenbangdes dibawa ke Musrenbangdes yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD).

Di tingkat kecamatan, hasil musrenbangdes dikomunikasikan dengan program dan kegiatan sejenis dari desa lain untuk dijadikan bahan musrenbang tingkat kabupaten. Forum ini disebut Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kecamatan (Musrenbangcam). Hasil dari Pra-Musrenbangdes dan Musrenbangdes dibawa ke kabupaten (Musrenbang Kabupaten). Data-data ini dijadikan sebagai bahan pijakan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam menelorkan program-program selama setahun ke depan. (Hal. 150-153)

Buku ringan setebal 224 halaman ini mengajak para pemangku kebijakan melibatkan masyarakat dalam menentukan arah pembangunan. Partisipasi yang didasarkan atas kesadaran dan pengertian terhadap kegiatan bersama. Sehingga masyarakat memahami bahwa yang dikerjakannya bersama itu bermanfaat bagi kehidupan mereka.

Buku ini memang memetakan konsep pembangunan yang progresif. Hanya saja di dalamnya kurang diekspos (hanya sedikit) perihal mentalitas. Padahal pembangunan progresif tentu membutuhkan mentalitas masyarakat dan pemimpin yang tangguh dan berkarakter. Kebijakan sebagus apapun tanpa mentalitas yang baik tentu akan sia-sia. (*)


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun