Mohon tunggu...
KOMENTAR
Nature Pilihan

PLTU Suralaya Unit 9-10: Bagaiamana Emisi Batu Bara Menghantui Cilegon? (Bagian 1)

23 Januari 2025   06:29 Diperbarui: 22 Januari 2025   22:55 105 2


Saat fajar menyingsing di Kelurahan Suralaya, Kota Cilegon, Banten, gemuruh turbin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya menjadi pengiring hari-hari warga. Namun, di balik suara itu, terpendam keresahan masyarakat yang selama ini dihantui oleh ancaman serius: polusi udara.

Sejak PLTU Suralaya mulai beroperasi dengan unit 1 hingga 8 yang menggunakan bahan bakar batu bara, warga sekitar telah menghadapi persoalan kesehatan dan lingkungan yang signifikan. Polusi udara yang dihasilkan tak hanya berdampak lokal, tetapi juga memengaruhi kualitas udara hingga ke Jakarta.

Di tahun ini, unit 9 dan 10 dengan kapasitas 2 x 1.000 MW direncanakan mulai beroperasi, sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN. Uji coba mesin pada unit ini saja telah memicu keluhan polusi suara dari warga Kampung Kopi yang tinggal hanya sekitar 1 kilometer dari cerobong asapnya. Masyarakat kini cemas akan bertambahnya beban polusi udara di wilayah mereka.

Jika berkaca pada dampak operasional unit sebelumnya, laporan Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkapkan bahwa emisi PLTU Suralaya menyebabkan 1.470 kematian setiap tahun, dengan kerugian kesehatan yang mencapai Rp14,2 triliun (sumber: BBC News, 2023). Angka ini menunjukkan betapa besar dampaknya terhadap masyarakat sekitar dan lebih dari 13 juta penduduk di bagian utara Banten.

PLTU Suralaya, salah satu pembangkit listrik terbesar di Asia Tenggara, menjadi tulang punggung suplai energi wilayah Jawa-Bali. Namun, ia juga menjadi salah satu penyumbang utama polusi udara. Penelitian yang diterbitkan BBC News (2023) menyebutkan emisi karbon dari PLTU ini secara signifikan memperburuk kualitas udara di Jakarta dan sekitarnya.

"Anak-anak kami sering batuk dan sesak napas. Tapi kepada siapa kami harus mengadu?" keluh seorang warga Suralaya.

Dampaknya dirasakan hampir semua lapisan masyarakat. Penyakit pernapasan seperti asma hingga infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) semakin sering dilaporkan.

Hak atas Lingkungan yang Sehat

Dalam perspektif hak asasi manusia, hak atas lingkungan sehat adalah bagian dari hak atas kesehatan. Pasal 12 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (EKOSOB) menggarisbawahi hak setiap individu untuk menikmati standar kesehatan tertinggi, termasuk lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Namun, realitas di Suralaya menunjukkan bahwa hak ini masih jauh dari terpenuhi.

Meskipun Indonesia telah meratifikasi kovenan tersebut dan memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, implementasinya masih menghadapi kendala besar. Penegakan hukum yang lemah dan kurangnya regulasi ketat terhadap emisi PLTU membuat masyarakat terus dirugikan.

"Polusi bukan hanya melanggar hak kami atas lingkungan yang sehat, tetapi juga mencuri masa depan anak-anak kami," ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya.

Polusi udara juga membawa dampak ekonomi yang besar. Biaya pengobatan akibat penyakit yang ditimbulkan menjadi beban tambahan bagi masyarakat. Menurut CREA, kerugian kesehatan dari emisi PLTU ini setara dengan Rp14,2 triliun per tahun, mencakup biaya medis, hilangnya produktivitas, hingga dampak ekonomi lainnya.

Di tengah meningkatnya tekanan masyarakat dan komunitas internasional, Indonesia telah menyatakan komitmen untuk menurunkan emisi karbon sesuai Perjanjian Paris. Namun, transisi menuju energi bersih masih berjalan lambat.

Operasional unit 9 dan 10 seharusnya menjadi refleksi bagi pemerintah dan industri. Dengan teknologi yang lebih modern, diharapkan dampak polusi bisa diminimalkan. Tetap saja, pembakaran batu bara akan menjadi ancaman besar bagi lingkungan.

Kini, dengan bayang-bayang operasional unit baru, satu pertanyaan besar mengemuka: kapan suara rakyat yang terabaikan ini akan benar-benar didengar?


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun