Dari kejauhan, suasana pegunungan di Suralaya saat musim hujan selalu menghadirkan pemandangan yang memukau. Hamparan hijau yang segar dan rindang seperti lukisan hidup yang menawarkan ketenangan bagi siapa saja yang memandangnya.
Namun, keindahan ini seolah menjadi ilusi ketika mendekat. Di balik keheningan dan harmoni alam itu, terlihat bayang-bayang kesibukan industri yang perlahan mengubah wajah pegunungan di ujung utara Kota Cilegon.
Bukit-bukit diratakan, laut diurug, dan pabrik-pabrik baru terus berdiri menjulang. Kontras ini bukan hanya soal pemandangan, tetapi juga cerita tentang perjuangan alam melawan perubahan zaman.
Di antara hiruk-pikuk mesin dan polusi, warga yang hidup di pegunungan Suralaya berusaha tetap kuat, menyimpan jejak keindahan yang semakin tergerus.
Keindahan pegunungan itu, ketika dijejaki hingga atas, akan berbeda melihat ke bawah. Seperti kesunyian yang dulu menjadi ciri khas Kampung Kopi dan Kampung Buah Dodol yang kini terusik. Warga setempat hidup di bawah bayang-bayang kebisingan mesin Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya Unit 9 dan 10.
Ironisnya, meski pabrik belum beroperasi penuh, dampaknya sudah begitu nyata dirasakan.
"Suara bisingnya itu, Kang, seperti raungan yang nggak ada habisnya," keluh Wandi, pemuda setempat yang sudah cukup pusing mendengar deru mesin dari Pabrik yang berada di bawah kaki gunung itu.
Ia mengenang awal mula gangguan itu saat mesin-mesin pabrik mulai diuji coba. Sejak itu, katanya, kenyamanan warga terganggu. Lingkungan jadi tidak tenang. Mau protes juga tidak ada yang berani, kompensasi pun tidak pernah dirasakan.
"Lebih sakit hati, banyak pemuda yang tidak mendapatkan kesempatan kerja, setiap hari harus menonton cerobong-cerobong asap hitam. Sementara orang-orang jauh menjadi pekerjaannya, " ungkapnya lirih.
Kebisingan yang tak kenal waktu
Sejak mesin dinyalakan, suara meraung-raung seolah memecah kesunyian perkampungan yang berjarak hanya sekitar satu kilometer dari lokasi pabrik.
Ketenangan malam yang dulu menjadi waktu istirahat bagi warga, kini menjadi mimpi yang sulit diraih. Bahkan, aktivitas sehari-hari, seperti bersantai di teras rumah atau menikmati waktu bersama keluarga, tak lagi senyaman dulu.
"Katanya pabrik itu masih uji coba belum produksi. Nggak tau deh jadinya nanti, setelah beneran produksi dengan bahan bakar batu bara, apa jadinya kampung ini? " katanya.