Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Refleksi Hari Santri: Dari Lantunan Doa ke Jedag Jedug Hiburan Malam

22 Oktober 2024   20:34 Diperbarui: 22 Oktober 2024   20:41 231 2


Ulama dan santri di Kota Cilegon memiliki peristiwa pertumpahan darah yang abadi dalam catatan sejarah Perjuangan Geger Cilegon 1888.

Peristiwa heroik yang dimaknai sebagai jihad terhadap perbuatan kesewenang-wenangan pejabat kolonial Belanda yang melarang pembacaan shalawat dan doa-doa lainnya dengan suara keras di masjid. Serta kedzoliman kolonial Belanda memeras pajak dan kebijakan yang merugikan warga lokal.

Perjuangan kemerdekaan di pesisir utara tanah Banten penuh cerita peristiwa heroik dari para ulama yang berhadapan langsung dengan pasukan penjajah. Sederet peperangan terjadi, mati satu tumbuh seribu, di tanah Banten terus lahir para pejuang dari kalangan santri hingga kemerdekaan Negara Indonesia.

Hingga kemudian di tanggal 22 Oktober, perjuangan para ulama dan santri diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Peringati ini untuk mengenang jihad para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan dan mempertahankan nilai-nilai keislaman.

Di Cilegon, sebuah kota yang terkenal dengan kehidupan industrinya, Hari Santri memiliki warna tersendiri yang mencerminkan dinamika sosial masyarakatnya. Namun, di balik kekhidmatan lantunan doa dan kegiatan religius lainnya, suasana kota ini juga dipenuhi dengan dentuman musik di berbagai tempat hiburan malam, menciptakan kontras yang mencolok antara dua sisi kehidupan.

Wilayah yang dulu diperjuangkan para ulama dan santri untuk mendapatkan kemerdekaan kehidupan dan menjalankan ibadah, kini siring berkembangnya jaman, cita-cita para leluhur tidak lagi sejalan oleh para keturunannya yang membiarkan kemaksiatan dari kafe-kafe hingga tempat hiburan malam.

Kini, Kota Cilegon dibanjiri oleh botol-botol minuman keras yang dipasarkan di Kafe dan Resto, ataupun tempat hiburan malam. Entahlah, darah keturunan para pejuang terdahulu apakah masih tetap mengalir? Pasalnya, adanya aktifitas di kafe dan tempat hiburan malam yang merusak moral dan kemaksiatan dianggap legal.

Melihat kembali Peringatan Hari Santri di Cilegon dirayakan dengan penuh khidmat melalui istiqosah. Suara lantunan doa dan dzikir terdengar dari jamaah yang penuh sesak, menciptakan suasana yang religius dan mendalam.

Bagi kalangan pesantren, kegiatan ini bukan hanya sebuah tradisi, melainkan bentuk refleksi spiritual dan penghormatan terhadap para ulama dan santri yang telah berjasa bagi bangsa. Suasana kekhusyukan ini memberikan kedamaian tersendiri bagi masyarakat yang merindukan nilai-nilai keagamaan di tengah arus modernitas.

Namun, di sisi lain, kehidupan malam di Cilegon tidak pernah berhenti, bahkan saat Hari Santri diperingati, kafe-kafe penyedia minuman keras dan tempat hiburan malam tetap beroprasi. Dentuman musik menandakan party minuman keras bersama para LC berlangsung hingga pagi.

Fenomena ini menunjukkan kontras yang kuat antara dua dunia yang berbeda; satu penuh dengan spiritualitas, sementara yang lain dipenuhi dengan gaya hidup hedonisme.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masyarakat sedang berada di persimpangan antara mempertahankan nilai-nilai tradisional yang religius dengan mengikuti arus modernitas.

Pada akhirnya, peringatan Hari Santri di Cilegon mencerminkan dualitas yang ada dalam kehidupan masyarakat modern: antara kebutuhan akan spiritualitas dan hasrat akan hiburan penuh kemaksiatan.

Ketika kafe-kafe dan tempat hiburan malam dibanjiri botol miras, prostitusi, dan pembiaran kemaksiatan, disitulah muncul harapan lahirnya keberanian para pewaris Geger Cilegon 1888 sebagai pejuang nahi munkar.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun