Jika di Jakarta ada Taman Lawang, maka di Kota Cilegon ada Lapangan Sumampir. Meski kini Lapangan Sumampir sudah tergusur oleh pembangunan mall, namun tidak menghilangkan eksistensi para waria berkumpul setiap malam.
Sumampir yang terletak di belakang Kantor Wali Kota Cilegon itu sejak dulu sudah dikenal tempat "mangkal" para waria. Lokalisasi para waria ini kabarnya sudah ada sejak awal tahun 90-an.
Kini, ketika Kota Cilegon sudah banyak perubahan dan pembangunan. Lokalisasi waria ini tetap eksis dibandingkan tempat lokalisasi atau tempat yang biasa digunakan untuk prostitusi wanita malam yang banyak tergusur, seperti Sangkanila Merak hingga warung remang-remang Jalan Lingkar Selatan.
Sebutan bencong (waria) Sumampir sudah akrab di telinga masyarakat Cilegon. Sehingga kawasan lokalisasi Waria ini memang menarik dikulik untuk diceritakan. Apalagi penulis kerap melintas di kawasan itu ketika hendak pulang ke rumah setiap malam.
Setelah mendapatkan respon komentar pembaca pada artikel Cilegon Undercover pertama, banyak pembaca yang minta mengulas tentang kondisi para waria ketika sedang mangkal di Sumampir.
Menjelang tengah malam, saya melakukan perjalanan dengan menaiki sepeda motor berdua bersama kawan. Dari Landmark Cilegon kemudian ke arah lampu merah ADB, ambil jalur kanan ke jalan Yasin Beji.
Dua orang waria sudah tampak di depan mall. Kemudian ambil jalur kiri arah Hotel The Royale Krakatau, disana ditemukan satu orang waria sedang ngobrol dengan pengendara motor di trotoar Junggel Park. Di jalanan yang minim penerangan lampu jalan itu terlihat ada lebih banyak waria.
Perjalanan kemudian putar balik, dua waria masih ada di depan mall. Tak disangka waria itu tepuk tangan memanggil. Namun kita tidak peduli dengan tetap jalan, kemudian belom ke kiri menuju kampung Sumampir, ambil arah jalan bawah menuju Simpang, ada tiga waria sudah mangkal di tempat cuci motor pinggir sungai.
Diperkirakan malam itu ada belasan waria yang sudah tampil cantik layaknya perempuan tulen.
Agak ngeri sebenarnya mengulik cerita mereka. Namun kemudian saya mencari tahu dari pedagang warung yang berada di wilayah tersebut. Mamang warung memberikan informasi biasanya para waria sudah muncul sejak pukul 20.00 WIB.
Jika dilihat secara kasat mata, penampilannya yang modis dengan tata rias dan busana kekinian, para waria itu tampil cantik dan mempesona.
Usia masih cukup muda. Biasanya para senior atau yang sudah tak lagi muda datang hanya untuk kumpul-kumpul atau sekedar bagi alat kontrasepsi untuk pencegahan penyakit menular.
Keberadaan para waria memang tak ada yang mengusik selama ini. Biasanya jika mendapatkan pelanggan langsung dibawa naik motor atau mobil.
"Di belakang hotel kosong itu ada banyak kontrakan, biasanya di bawa kesitu para pelanggan. Atau jika minim budget, bisa dilakukan di bawa pohon yang gelap," kata Mamang warung.
Soal pelanggan, tak main-main, biasanya yang membawa para waria itu pergi adalah pengendara mobil mewah atau motor sport. Tapi ada juga pelanggan orang biasa yang eksekusinya bisa dilakukan di kebun kosong.
Saat asik ngobrol dengan Mamang warung, tiba-tiba muncul dua orang waria dengan membawa motor metik. Awalnya sempat kikuk, eh ternyata salah satunya kenal saat turnamen bola voly. Oh iya, mereka punya tim voly yang suka ngadain latihan bersama di kampung-kampung.
Sebut saja namanya Putri, kisaran usia sudah di atas 30 tahun, punya usaha catering. Penampilannya tidak terlalu feminim atau full make up. Ia hanya kebetulan mampir untuk mengantar pesanan alat make up dan alat kontrasepsi.
Dari Putri saya mendapatkan banyak cerita, bahwa tidak semua waria yang mangkal mau melayani syahwat pelanggannya, tapi ada yang merasa ingin menunjukkan eksistensi dan kebebasan menjadi seperti perempuan.
"Siang berpenampilan laki-laki tulen, eh pas malam pengen jadi cong (bencong/waria). Baju seksi, make up cantik. Itu kebahagiaan bagi sisi waria yang terkurung tubuh laki-laki," kata Putri.
Uniknya lagi, ada beberapa waria sebenarnya bukan butuh uang, tapi mereka juga butuh kehangatan laki-laki. Secara pekerjaan sudah cukup sejahtera seperti membuka salon, make up artis, hingga kerja profesional. Mereka juga butuh sensasi tubuh laki-laki yang bisa didapat dengan ikut mangkal.
Cerita kehidupan para waria memang unik. Bahkan dari background kehidupan sosial yang beragam. Ada yang berpendidikan hingga terbuang dari keluarga sejak belia.
Kawasan Sumampir sebagai lokalisasi adalah tempat para waria menunjukan eksistensinya. Sadar keberadaan mereka tidak dianggap dalam kehidupan masyarakat. Namun eksistensi tetap bertahan di berbagai kondisi.
Seperti hukum pasar, ada permintaan pasti ada barang. Ada pelanggan, waria akan selalu mangkal karena banyak pesanan.
Obrolan bersama Putri lanjut di artikel Cilegon Undercover 3, ya.
Â