Nah, momen yang paling mengena banget adalah sesanjan ke rumah-rumah tetangga di kampung. Sesanjan atau berkunjung ini biasanya dilakukan bersama teman-teman dari Remaja Masjid. Tujuannya untuk silaturahmi ke rumah warga dari ujung ke ujung. Saling salam-salaman dan maaf-maafan.
Namanya remaja yang masih punya sifat kanak-kanak, kelakuannya memang konyol membuat ramai rumah yang dikunjungi. Apalagi jumlahnya bisa mencapai 10 orang.
Senang sekali ketika tuan rumah mempersilahkan masuk dan duduk terlebih dahulu. Ini merupakan kesempatan buat icip-icip aneka macam kue.
Biasanya jika di rumah yang kita kunjungi berasal dari luar daerah, makanan yang disajikan pun akan berbeda.
Tempat favorit bagi kita semua tentu saja rumah Mamak Ena. Ibu asal Padang ini memang sangat baik sekali. Ketika rombongan remaja masjid datang, Mamak Ena menyambutnya dengan heboh sekali.
"Wah, cakep-cakep ya anak Mamak. Bajunya bagus-bagus," kata Mamak Ena yang suka berlebihan ketika memuji.
Kemudian kami dibawa ke ruang tengah rumah. Di atas meja makan, wadaw... Semua makanan khas padang tersaji begitu menggoda.
Saya sendiri paling suka makan lontong sayur dan ati ayam goreng bumbu balado, kadang ada juga jengkol goreng kering yang enak banget. Ya, meski perut rasanya udah cukup kenyang, tapi kalo dihadapkan makan enak kaya gini hayo aja.
Kami tetap mengharagai tawaran makan dari tuan rumah hanya sekedarnya saja. Jangan sampai menghabiskan semua makanan. Oh iya, ini yang paling seru. Habis makan jangan lupa bantu-bantu cuci piring ya. Meski pun tamu, kita tetap bertanggungjawab sama piring yang dibuat kotor.
Setelah berburu makanan, tempat favorit lainnya adalah rumah mantan perwira TNI. Rumahnya besar dan penuh dengan barang-barang antik khas militer.
Kami memanggilnya dengan sebutan Kakek Suryo. Meski sudah pensiun, tubuh tegap khas tentara masih terlihat kokoh.
Oh, iya, ini yang paling asik di rumah Kakek Suryo, kita mendapatkan cerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan, bergerilia di tengah hutan Irian Jaya (sekarang Papua), serta sangat emosionak ketika melepas Timor Timur menjadi negara sendiri.
Keberanian seorang tentara yang tidak takut mati. Kakek Suryo seperti dalang yang mahir menceritakan kisah pewayangan. Itu semua membuat kita kagum.
Rumah Kakek Suryo penuh dengan makanan. Sebenarnya makanan kue pemberian dari warga. Beliau orang yang baik, suka bagi-bagi sedekah tidak hanya saat ramadan saja, jadi setiap malam takbiran banyak warga yang mengirimkan makanan.
Setelah Kakek Suryo bercerita, kemudian menyuruh kami berbaris memanjang ke belakang. Dari sakunya, Kakek Suryo membagikan uang persenan. Setiap anak mendapatkan Rp20.000. Tentu saja kami girang banget.
Berburu persenan hanya bisa di rumah Kakek Suryo saja. Warga kampung masih memiliki tradisi memberi persenan hanya pada keluarga sendiri saja yang masih ada ikatan adik dan keponakan.
Nah, berhubung di Kota Cilegon tidak bisa berburu persenan, maka pulang ke Ibu Kota adalah kebahagiaan yang tak terkira. Maaf-maafan hanya seremoni lebaran saja, bagi seorang anak persenan adalah yang paling utama dan sakral.
Mengunjungi rumah nenek di Jakarta biasanya dilakukan pada siang hari. Perjalanan Cilegon-Jakarta saat lebaran hanya butuh waktu satu jam saja.
Jika di Cilegon persenan mulai tidak berlaku ketika usia sudah remaja atau sekitar SMP, maka keluarga betawi memberlakukan persenan sampai kuliah atau belum menikah.
Begitu matrealistisnya saya saat itu? Tapi emang siapa pun bakal nagih mintak persenan. Keluarga di Jakarta lumayan royal dalam hal memberi persenan. Bahkan total uang terkumpul bisa mencapai Rp 4 juta.
Saya sih girang aja dapet uang banyak. Babe dan Nyak juga harus nyiapin persenan buat keponakannya juga. Istilahnya, uang dari masing-masing orang tua akan berputar ke anak dan cucu juga.
Itulah sepenggal kisah saat lebaran. Ada maaf dibalik persenan. Momen yang bakal dirindukan saat ini. Dulu rasanya panen persenan saat lebaran, kini sudah berganti dikejar-kejar keponakan untuk dimintak persenan.