Tidak mudah karena sangat dimungkinkan prosesnya akan panjang, terjal dan jatuh bangun. Seorang yang belajar menjadi penulis akan berkali-kali gagal dalam menuangkan ide dengan tepat dan baik. Maksud hati membuat diksi "mengigit" namun tak jarang jatuhnya terjebak dalam permainan kata yang pelik. Gaya bahasanya mulekisasi dari awal hingga buntut. Andai kata tulisan itu jadi terkadang logika berpikirnya tidak runtut. Belum ditambah dengan typo di banyak tempat.
Rentetan kegagalan itu tentu menguras energi di dalam diri, utamanya pikiran dan mental. Akan tetapi pembelajar yang baik senantiasa belajar dari setiap kesalahan. Pantang baginya terjerumus di lubang yang sama. Jika yang demikian terjadi bukan menandakan dirinya ceroboh, tetapi menunjukkan diri yang terlampau bebal. Tak sedikit, seseorang harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk bangkit dari kegagalan yang sama. Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan Anda akan menemukan bahwa terus berproses adalah kunci utama.
Tidak murah sebab prosesnya harus ditebus dengan pengorbanan. Pengorbanan materi, waktu dan kesempatan. Di zaman sekarang, pengorbanan itu kian memudar. Pelatihan menulis kilat kian marak. Mereka hadir dengan berbagai tagline. "Mampu menulis buku dalam hitungan detik", adalah salah satu tagline yang menghipnotis. Tarif pelatihan pun cukup terjangkau. Pemanfaatan Artificial Intellegence (AI, kecerdasan buatan) untuk kepentingan menulis adalah agenda yang digalakan.
Inovasi fantastis namun sesungguhnya memudarkan potensi literasi alami di dalam diri. Mungkin benar melalui AI semacam Gemini, Chat GBT dan sebagainya seseorang dapat menciptakan berbagai karya dengan sistem kerja yang lebih instan namun hakikatnya yang membuat itu mesin. Mesinlah yang berusaha mengobok-ngobok dan menjahit data yang tersimpan di bank data digital hingga mejelma suatu karya. Itu artinya hak cipta karya melekat pada mesin, bukan manusia yang menjalankan mesin.
Mesin itulah yang merangkai kata menjadi kalimat hingga mewujud naskah utuh. Jika prosesnya demikian apakah seseorang layak disebut penulis? Apakah layak karyanya didaftarkan ke HAKI atas nama orang yang menjalankan AI? Apakah karyanya layak untuk dibanggakan? Tentu masih banyak pertanyaan kesangsian lain yang tidak akan pernah habis digelontorkan ke muka.
Dampak buruknya, seseorang yang terbiasa bergantung menggunakan AI untuk menulis akan memudarkan potensi alami dan kreativitas literasi di dalam diri. Tidak menutup kemungkinan pula sikap kritis di dalam dirinya akan melemah. Pendekatan pemecahan masalah pun akan tampak lebih kering, kehilangan touch sisi manusiawi. Berpikir instan dan membenarkan plagiarisme adalah ancaman jangka panjang yang menjadi ironi di era mutakhir kini.
Lantas, bagaimana cara menggunakan fitur AI untuk kegiatan menulis dengan bijak? Bisa saja. Misalnya menggunakan AI untuk mencari inspirasi kerangka tulisan yang baik. Mencari inspirasi kerangka naskah buku yang menarik. Atau mungkin memanfaatkannya untuk melihat contoh alur cerita yang asyik, dan sub topik pembahasan yang runtut dan logis. Bisa pula untuk meminta saran pengembangan pembahasan atas topik yang hendak digarap. Selebihnya dikerjakan secara tradisional, mengetik mandiri.
Tentu saja apa yang dipaparkan di atas bersifat subjektif. Mungkin padangan Anda bersebrangan dengan saya. Entah itu berseberangan yang terlampau jauh ataupun masih dekat. Selebihnya selebihnya, mari diskusi di kolom komentar. He
Tulungagung, 11 November 2024