Tepat di sebelah selatan masjid Al-Azhar Sukoanyar itu terdapat bangunan PAUD Taam dan madrasah Diniyah Al-Azhar. Â Pelataran bangunan itu jelas dihiasi dengan permainan khas kesukaan anak-anak, di antaranya; ayunan, selorotan, kursi berputar, bola dunia panjat dan jembatan panjat.
Dari kejauhan tampak jelas, salah satu ciri yang menandakan bahwa bangunan itu tempat belajar anak-anak ialah dekorasi dinding yang mulai tampak usang termakan zaman. Bahkan, beberapa paruh waktu, saya sering membuang wajah sejenak ke arahnya. Entah itu tatkala saya sedang beristirahat sejenak di serambi masjid ataupun di kala masih menduduki jok motor di parkiran.
Ah, tapi bukan potret sarana itu yang hendak saya ceritakan pada tulisan ini. Melainkan tentang cerita saya mengamati khotbah Jumat di masjid Al-Azhar. Salah satu kebiasaan baru semenjak saya mendapatkan pekerjaan di daerah Pinka.
Sedari awal menunaikan salat Jumat di masjid Al-Azhar, saya beberapa kali sempat berinisiatif untuk memastikan isi khotbah yang disampaikan berjentre apa. Sederhananya saya tertarik untuk mengidentifikasi, mengoleksi intisari dan mendikotomikan materi khotbah yang disampaikan sang Khotib pada setiap sesi salat Jumat.
Terhitung mulai bulan Januari akhir sampai Jumat pertama di bulan September, mayoritas isi khotbah yang disampaikan pada jamaah ternyata lebih cenderung bersifat normatif dan tekstualis. Semua materi khotbah Jumat yang disampaikan lebih nampak melangit tanpa dibenturkan dengan realitas kehidupan sosial yang ada di zaman serba modern ini.
Walapun memang ada materi khotbah yang berusaha disampaikan dengan berpijak pada bingkai problematika dan tantangan dalam menjalani kehidupan di era disrupsi ini, itupun hanya satu-dua saja. Selebihnya monoton. Â
Saya pikir, sejauh ini yang saya pahami, setiap racikan isi khotbah Jumat yang disampaikan itu sepenuhnya memang menjadi tanggung jawab Khotib. Alhasil ke mana muara persoalan materi khotbah itu dialirkan, ya sesuai dengan kehendak Khotib.Â