Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Pilihan

Perantau

8 Juli 2020   08:51 Diperbarui: 8 Juli 2020   09:04 76 4
Malam telah melenggang kaki sirna pada pangkuan siang
Kabut-kabut penjerat ulung kembali kukut dari gelanggang
Si jago penguasa kandang berkokok lantang, menyuarakan dalil-dalil penyambung nafas kehidupan
Sementara toa usang itu memecah kesunyian, mengembalikan kesadaran setiap pribadi yang tenggelam dalam kematian sementara beralas dipan

Niat terhujam, mengakar akut di relung hati yang terdalam
Tekad mengukuh seiring dahaga menyapa hiruk-pikuk dunia
Langkah pembuka dipermulaan hari adalah bagian penting yang harus ditafsiri
Lambaran baik selalu terlantun dalam perinci  bagian doa

Tak ada getir teruntuk mengukir cerita
Tak ada ketakutan teramat dalam pungkasan usaha
Hampir-hampir, tak ada kehendak menopang dagu barang sekejap mata
Yang ada, hanya sebongkah pertanyaan aus giat melayang-melayang dalam kepala
Mengusir kejengahan hidup yang melulu jadi bahan ratapan di penghujung menutup mata

Terpejam namun bukan berarti akalnya sirna
Tergeletak tidak bermakna kedamaian sedang memeluknya
Diam akan tetapi jiwanya terus mengelana
Dalam benaknya meluap-luap dipenuhi tanda tanya
Bahkan, rentetan pertanyaan itu kian menggebu dan menyerang kewarasan dirinya sebagai manusia

Kesibukan dunia yang dipuja-puja manusia seantero jagat itukah yang kukejar?
Kegilaan akan nilai tukar yang berjejal di saku itukah yang hendak diraup?
Gemilang intan permata yang menghiasi setiap jengkal tubuh itukah yang diidam-idamkan?
Ataukah segunung hasrat kemaruk yang tak pernah berujung itu yang hendak kau keruk?

Jika memang iya, lantas engkau mau apa?
Tertegun sejenak di bahu keraguanmu yang tak berujung?
Menjegal kehendakku dengan selongsong peluru persis di bagian jidat kepala?
Atau mungkin, malah engkau tertarik bergabung menjelajahi dunia?
Melalang buana, menelanjangi kebodohanmu yang terus bergemuruh di dalam dada

Dalam dadaku memang terselubung beribu-ribu kehendak
Tak ada manusia yang mampu tersucikan nihil dari tamak
Segumpal rasa kasat mata tak tampak
Mengalir dalam nadi kehidupan melintas almanak

Isian kepalaku memang dikuasai tipu muslihat
Dipenuhi akal bulus teruntuk membenarkan apa-apa sesuka hati dengan bejat
Mencari tameng terkuat untuk mengeksploitasi kekayaan alam hingga tamat riwayat
Memberondong penghakiman setiap penghalang dengan skakmat

Lantas apa yang kau khawatirkan dalam hidup ini wahai manusia?
Sekalipun engkau beriman kepada Tuhan, bukankah dalam hati kecilmu merasa suci?
Sujudmu memang bersama golongan yang taat, tapi niat riamu tak pernah kaukuliti!
Kerap kali membaca Kalam ilahi, namun hobimu hanya mencaci

Mencibir kanan-kiri,
Menebar benci sana-sini
Menilai semua hal dengan picik tak dapat dipungkiri
Menegaskan kebenaran hakiki hanya milik dirimu pribadi
Menandaskan diri sebagai penghuni sejati surgawi

Ah, bukankah itu wujud tamak yang hakiki?
Bagaimana mungkin manusia papa mampu menduduki singgasana ilahi Robbi?

Selanjutnya engkau kukuhkan kebenaran pandanganmu dengan menyitir satu-dua firman
Kau tunggangi dalil Naqli itu sesuai kepentingan
Engkau kelabui kejahatanmu mengatasnamakan titah Tuhan
Engkau jadikan sakralitas dalil-dalil itu berbicara tentang kebohongan

Di manakah letak ketaqwaanmu wahai kawan?
Bagaimanapun yang kau cetuskan hanya membual tentang kebobrokan dan kedustaan
Itulah yang kusebut akal bulus, tipu muslihat yang memperdayakan.

Ingat kawan,
Tak perlu kau telan mentah-mentah apa-apa yang telah kusebutkan
Cukup direnungkan dalam kesendirian terliput niat tulus berlambar keinsyafan
Dunia yang kita injak ini hanya wujud distorsi kefanaan
Kesejatian dirimu hanyalah sedang berada di alam persinggahan
Tanah yang kusebut sebagai tempat rantauan

Tertanda hamba-Mu yang hina dina,
Tulungagung, 8 Juli 2020

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun