Pada masa Orde Baru, mulai Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 sampai dengan 1997, perolehan partai Islam yang direpresentasikan oleh PPP (sebagai hasil fusi 4 partai Islam: NU, PSII, Parmusi dan Perti pada tanggal 5 Januari 1973) malah menurun di kisaran 15,97 % – 29,29 % (Suryadinata, 2002).Awal masa reformasi menjadi salah satu momentum kebangkitan partai berhaluan Islam, meskipun direpresentasikan oleh banyak partai Islam, mulai dari PKB, PAN, PK, PNU, PPP, PBB, PSII, Masyumi dan lain-lain. Perolehan suara partai Islam mencapai 37,59%, dipimpin oleh PKB (12,61%) dan PPP (10,72%). Dan prestasi yang cukup membanggakan saat itu adalah ketika kelompok ‘Poros Tengah’ yang bisa dikatakan sebagai ‘Poros Islam’ berhasil menggolkan Gus Dur sebagai presiden pertama dari kalangan pesantren.
Tahun 2004, suara partai Islam naik tipis menjadi 38,35%, dengan kontribusi terbesar disumbang PKB (10,57%), PPP (8,15%), dan PKS (7,34%). Namun, ketika Pilpres digelar, suara partai Islam terpecah oleh koalisi yang bersebrangan. PKB dengan PDIP mengusung Mega-Hasyim, PKS sempat gamang antara memilih pasangan Golkar(Wiranto-Wahid) atau Amin-Siswono (PAN), PPP maju dengan pasangannya sendiri Agum-Hamzah. Yang diuntungkan adalah pasangan SBY-JK dari Partai Demokrat yang akhirnya menjadi pemenang pilpres 2004.
Tahun 2009, perolehan partai Islam merosot tajam menjadi hanya sekitar 24,15%. Hanya PKS yang membukukan kenaikan perolehan suara menjadi 7,88%. PKB mengalami penurunan yang paling tajam menjadi sekitar 4,94%. Uniknya, pada pilpes 2009, seluruh partai Islam berkoalisi dengan Partai Demokrat, sehingga pilpres pun hanya berlangsung satu putaran karena koalisi yang gemuk bila dibanding kedua rivalnya.
Bagaimana dengan 2014? Just wait and see! Meskipun akumulasi suara partai berbasis Islam sudah memenuhi untuk mengajukan pasangan capres-cawapres sendiri, belum tentu akan terwujud Poros Tengah baru. Hal ini dikarenakan kepentingan yang dibangun tidak seideologis di masa Orde Baru, saat umat Islam mengalami tekanan dalam dunia politik sehingga terkonsentrasi di satu partai. Sementara hari ini, tarikan kepentingan oportunistis nampaknya masih menjadi faktor dominan dalam menjalin sebuah koalisi.
Mudah-mudahan koalisi partai Islam dengan sesama partai Islam maupun yang lainnya masih dibingkai semangat ‘ta’awun ala al-birr wat-taqwa’, saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, dan bukan dalam rangka ‘ta’awun ala al-itsm wal-’udwaan’ saling berkoalisi dalam melakukan dosa dan permusuhan. Semoga saja. Wallahu a’lamu.